Hukum Mahar Politik dan Kontrak Politik

0
81
Mahar Politik

Indonesia yang telah memasuki tahun Pemilihan Umum (Pemilu) 2018 digemparkan dengan pernyataan seorang La Nyalla Mattalitti, yang merupakan salah satu tokoh masyarakat dari Jawa Timur kelahiran 10 Mei 1959.

“Ada saat tanggal 9 itu yang ditanyakan uang saksi. Kalau siapkan uang saksi, saya direkom tapi kalau uang saksi dari 68.000 TPS dikali Rp 200.000 per orang dikali 2 berarti Rp 400.000. Itu sekitar Rp 28 miliar. Tapi, yang diminta itu Rp 48 miliar dan harus diserahkan sebelum tanggal 20 Desember 2017. Nggak sanggup saya, ini namanya saya beli rekom, saya nggak mau,” ujar La Nyalla dalam konferensi pers di Restoran Mbok Berek, Jl Prof Dr Soepomo, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa  (11/1/2017).

La Nyalla yang ingin bertarung dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur menyebutkan bahwa Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) melalui Ketua Umumnya, Letjend (Purn) H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo meminta mahar politik kepada dirinya untuk memperoleh Rekomendasi. Berita Mahar Politik inipun kemudian berhembus kencang dan menjadi pembicaraan yang menarik di tengah masyarakat, seperti yang tersiar di beberapa media televisi Indonesia.

Mahar Politik

Mahar Politik sendiri memiliki makna yang plural. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyatakan bahwa Mahar Politik adalah ongkos yang dikeluarkan untuk menutupi biaya menggerakkan parpol sejak dari tingkat bawah sampai ke atas. Sementara, menurut M. Imam Nasef, Pengamat Hukum Tata Negara SIGMA, pengertian Mahar Politik Hukum terbagi dua: Pertama, suatu imbalan khususnya dalam bentuk uang yang diberikan seorang calon kepada partai politik tertentu, dengan maksud agar parpol tersebut mencalonkan yang bersangkutan dalam Pilkada. Praktik semacam ini sering diistilahkan dengan ‘jual-beli perahu’; Kedua, mengacu pada sejumlah uang yang dipersiapkan untuk membantu biaya operasional keikutsertaan calon tertentu dalam suatu kontestasi Pilkada.

Keberadaan Mahar Politik masih seperti ada dan tiada. Baik dalam konteks Indonesia maupun mancanegara, sangat sulit mengetahui persis proses atau modus operandi praktik Mahar Politik. Pemberi dan penerima tidak pernah mengungkapkan bagaimana kesepakatan Mahar politik Tercipta, berapa jumlah Mahar Politik, dan apa saja yang harus dipenuhi sang calon jika ia menang kepada donor dana atau parpol pendukungnya.

Dalam praktik  politik Indonesia lebih satu dasawarsa terakhir, istilah mahar politik dipahami  publik sebagai transaksi di bawah tangan atau illicit deal yang melibatkan pemberian dana dalam jumlah besar dari calon untuk jabatan yang diperebutkan (elected office) dalam pemilu/ pilkada dengan parpol yang menjadi kendaraan politiknya, dan juga antarpartai untuk membentuk koalisi. Sejak Orde Baru tumbang, dimana Pilkada masih menggunakan pemilihan tak langsung alias dipilih para wakil rakyat yang terhormat, yang namanya rekomendasi pencalonan dari DPP partai pengusung menjadi hal paling mutlak. Kendati syarat pencalonan sebenarnya hanya cukup membawa rekomendasi DPC partai, faktanya rekomendasi DPP wajib dikantongi Paslon.

Untuk mendapatkan rekomendasi DPP, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Calon Kepala Daerah (Cakada) harus berjuang keras menyingkirkan kompetitor lainnya. Tidak ada tolok ukur yang pasti agar Paslon memperoleh rekomendasi, karena masing- masing partai memiliki mekanisme penjaringan tersendiri. Ditengarai, rekomendasi yang berhasil dikantongi juga tidak gratis. Saat pemerintah memutuskan Pilkada langsung, ternyata rekomendasi DPP partai pengusung tetap menjadi barang yang sangat berharga bagi Paslon.

Lantas, apakah seluruh Cakada hukumnya wajib menyerahkan “mahar”? Jawabnya tidak seluruhnya. Bila yang maju adalah kader partai tingkat DPD (Provinsi) apa lagi level DPP, maka akan diputihkan kewajiban menyerahkan“mahar”. Di luar kader yang sudah teruji loyalitasnya, maka “mahar” adalah halyang mutlak. Dalam Pilkada langsung, pergerakan politik sedikit saja, pasti ada biaya yang timbul. Tanpa dana, operasional partai politik terganggu. Bukankah dalam kampanye Dari mulai sekedar mengumpulkan foto copi KTP dukungan, rekomendasi, panggung, kampanye alat peraga dan semuanya tidak ada yang gratis. Belum lagi, biaya lobi untuk meraih suara. Dana untuk mahar politik itu sangat besar, karena di situ bekerja mesin-mesin pencitraan.

Agaknya, Mahar Politik merupakan sebuah konsekuensi dari sistem demokrasi yang ada di Indonesia, yaitu setiap warga negara dapat memilih langsung pemimpinnya. Akibat dari sistem itu, muncul biaya untuk membayar ongkos kampanye dan saksi pada pemungutan suara.  Namun, banyak kalangan tampak lebih mempersepsikan soal mahar dengan praktik “jual beli” dukungan antara calon dalam pilkada atau pilgub (juga dalam pileg dan pilpres) dengan parpol. Karena itu, mereka memandang negatif praktik “mahar” dalam percaturan politik.

Selain Mahar Politik, pembicaraan yang menarik di tengah masyarakat Indonesia memasuki tahun Pemilihan Umum (Pemilu) 2018 ini adalah Kontrak Politik.

Kontrak Politik

Secara umum kontrak politik dapat didefinisikan sebagai perjanjian yang melibatkan para elite partai koalisi, capres dan cawapres dengan partai pengusung, caleg dengan pemilih, dan rakyat dengan pemimpinnya.Misal, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dari sejumlah partai politik bergerak untuk menjalin komunikasi dengan berbagai pihak. Elite partai politik yang lain juga beradu lari melakukan safari politik untuk menjajaki kemungkinan membangun koalisi. Tidak ketinggalan, sejumlah elite organisasi massa (ormas) keagamaan juga melakukan serangkaian pertemuan untuk menyamakan persepsi jelang pemilihan presiden (pilpres) yang akan diselenggarakan setahun mendatang. Nah, usaha elite partai untuk membangun kesepahaman politik itulah yang kemudian populer disebut kontrak politik.

Budaya kontrak politik menjadi trend sejak pemilu langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden, caleg, serta calon dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Jika ditengok ke belakang, budaya kontrak politik dimulai sejak Pemilu 2004. Kontrak politik juga mewarnai dinamika politik lokal seiring proses pilkada mulai provinsi, juga pilkada kabupaten dan kota. Bukan hanya saat pilpres dan pilkada, kontrak politik juga dilakukan calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu legislatif lalu. Modusnya, sebagian caleg melakukan kontrak politik dengan para calon pemilihnya. Misalnya, ada caleg yang berani meneken kontrak politik dengan janji memberikan seluruh gaji yang akan diperoleh pada rakyat jika terpilih sebagai legislator. Juga ada kontrak bercorak money politics dengan menjanjikan imbalan uang dalam jumlah tertentu sesuai dengan perolehan suara.

Sayangnya dalam kontrak politik yang dilakukan elite, posisi rakyat sering hanya sebagai pemandu sorak (cheer leaders) dan sasaran mobilisasi. Dalam posisi ini rakyat tetap mengalami marginalisasi baik secara sosial maupun ekonomi. Bahkan secara politik rakyat mengalami tuna kuasa (powerlessness).

Elite agama (kiai) dan tokoh ormas keagamaan yang pada masa sebelumnya hanya berjuang di ranah kultural. Apalagi saat ini banyak elite agama dan ormas keagamaan yang menjadi pejabat publik di lembaga eksekutif dan legislatif. Kondisi ini tentu sangat memungkinkan mereka menjadi pemain dalam budaya kontrak politik. Sebagian elite agama dan ormas keagamaan bahkan telah sedemikian jauh bermain dalam ranah politik praktis. Realitas inilah yang kemudian menyebabkan munculnya suarasuara sumbang pada hampir setiap ada kontrak politik.

Bagaimana pandangan fikih mengenai mahar politik tersebut (status dan hukumnya) ?

Pemerintah melalui UU No 31 tahun 2002 telah memberikan hak keikutsertaan dalam pemilihan umum pada partai politik. Hal ini membuktikan bahwa partai politik punya kuasa (wilayah) dari merekomendasikan paslon tertentu dalam proses pencalonan. Karena itu, mahar politik adalah suap (risywah) dan hukum memberi dan menerima hukumnya haram.

NB: Jawaban di atas selaras dengan pasal 27 ayat (I) UU No 8 th. 2018.

LARANGANSAKSI PIDANA
Pasal 47 ayat (1) UU NO 8 TH 2015
Partai politik atau gabungan partai politik dilarang memerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, serta Walikota, dan Wakil Walikota.                
PASAL 187B (UU NO 10 TH 2016)
Anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hokum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, serta Walikota, dan Wakil Walikota. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp. 300.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00.

Referensi :

  1. Ihya’ ‘Ulum ad-Din, vol. 2, h. 152-153.
  2. Fatawa as-Subkiy, h. 207.
  3. Az-Zawajir, vol. 2, h. 264.
  4. Dan lain-lain

Bagaimana pandangan fikih mengenai kontrak politik tersebut (status dan hukumnya) ?

Mauquf.

Baca Juga:Kumpulan Hasil Bahtsul Masail

Klik Untuk Referensi Lengkap

Referensi jawaban

  • إحياء علوم الدين الجزء الثانى ص : 152- 153 دار إحياء الكتب

مسألة سئل عن الفرق بين الرشوة و الهدية مع أن كل واحد منهما يصدر عن الرضا ولا يخلو عن غرض وقد حرمت إحداهما دون الأخرى فقلت باذل المال لا يبذله قط إلا لغرض ولكن الغرض إما آجل كالثواب وإما عاجل والعاجل إما مال وإما فعل وإعانة على مقصود معين وإما تقرب إلى قلب المهدى إليه بطلب محبته إما للمحبة فى عينها وإما للتوصل بالمحبة إلى غرض وراءها فالأقسام الحاصلة من هذه خمسة -إلى أن قال- الثالث أن يكون المراد إعانة بفعل معين كالمحتاج إلى السلطان يهدى إلى وكيل السلطان وخاصته ومن له مكانة عنده فهذه هدية بشرط ثواب يعرف بقرينة الحال فلينظر فى ذلك العمل الذى هو الثواب فإن كان حراما كالسعى فى تنجيز إدرار حرام أو ظلم إنسان أو غيره حرم الأخذ وإن كان واجبا كدفع ظلم متعين على كل من يقدر عليه أو شهادة متعينة فيحرم عليه ما يأخذه وهى الرشوة التى لا يشك فى تحريمها وإن كان مباحا  لا واجبا ولا حراما وكان فيه تعب بحيث لو عرف لجاز الاستئجار عليه فما يأخذه حلال مهما وفى بالغرض وهو جار مجرى الجعالة كقوله أوصل هذه القصة إلى يد فلان أو يد سلطان ولك دينار وكان بحيث يحتاج إلى تعب وعمل متقوم أو قال اقترح على فلان أن يعيننى فى غرض كذا أو ينعم على بكذا وافتقر فى تنجيز غرضه إلى كلام طويل فذلك جعل كما يأخذه الوكيل بالخصومة بين يدى القاضى فليس بحرام إذا كان لا يسعى فى حرام وإن كان مقصوده يحصل بكلمة لا تعب فيها ولكن تلك الكلمة من ذى الجاه أو تلك الفعلة من ذى الجاه تفيد كقوله للبواب لا تغلق دونه باب السلطان أو كوضعه قصة بين يدى السلطان فقط فهذا حرام لأنه عوض من الجاه ولم يثبت فى الشر ع جواز ذلك بل ثبت ما يدل على النهى عنه كما سيأتى فى هدايا الملوك

  • الفتاوي السبكي الجزء الأول ص: 207 دار المعارف

وملخص كلام العلماء فيما يعطي الحكام الأئمة والأمراء والقضاة والولاة وسائر من ولي أمرا من أمور المسلمين أنه إما رشوة وإما هدية أما الرشوة فحرام بالإجماع على من يأخذها وعلى من يعطيها وسواء كان الأخذ لنفسه أو وكيلا وكذا المعطي سواء أكان عن نفسه أو وكيلا ويجب ردها على صاحبها ولا تجعل في بيت المال إلا إذا جهل مالكها فتكون كالمال الضائع وفي احتمال لبعض متأخري الفقهاء أنها تجعل في بيت المال والمراد بالرشوة التي ذكرناها ما يعطى لدفع حق أو لتحصيل باطل وإن أعطيت للتوصل إلى الحكم بحق فالتحريم على من يأخذها كذلك وأما من لم يعطها فإن لم يقدر على الوصول إلى حقه إلا بذلك جاز وإن قدر إلى الوصول إليه بدونه لم يجز وهكذا حكم ما يعطى على الولايات والمناصب يحرم على الآخذ مطلقا ويفصل في الدافع على ما بينا

  • الزواجر  ج 2 ص264 (دار الكتب العلمية)

ومما يدل على أن تحريم الرشوة لا يختص بالقضاة كما صرح به غير واحد خلافا للبدر بن جماعة وغيره ما رواه أحمد عن أبي حميد الساعدي رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : { هدايا العمال غلول } . وما رواه أبو داود في سننه عن أبي أمامة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : { من شفع لرجل شفاعة فأهدى له عليها هدية فقد أتى بابا كبيرا من أبواب الربا } . وقال ابن مسعود : السحت أن تطلب لأخيك الحاجة فتقضى فيهدي إليك هدية فتقبلها منه . وعن مسروق أنه كلم ابن زياد في مظلمة فردها فأهدى إليه صاحب المظلمة وصيفا فرده ولم يقبله . وقال : يعني مسروقا : سمعت ابن مسعود يقول من رد عن مسلم مظلمة فأعطاه على ذلك قليلا أو كثيرا فهو سحت ، فقال الرجل : يا أبا عبد الله ، ما كنا نظن أن السحت إلا الرشوة في الحكم فقال ذلك كفر نعوذ بالله من ذلك .


Judul Asli: Menyoal Mahar Politik dan Kontrak Politik (Al Falah Ploso)

Hasil Keputusan Bahtsul Masa’il 
FMPP Se-Jawa Madura XXXII
Di Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas Jombang Jawa Timur
07-08 Maret 2018 M/ 19-20 J.Tsaniyah 1439H.

Mushahih
K. Suhairi Badrus, K. M. Alwi Badrus, K. M. Sholeh

Perumus
Ust. M. Thohari Muslim, Ust. M. Hizbulloh Alhaq, Ust. Lutfil Hakim, Ust. Arif Ridwan, Ust. M. Ibrohim, Ust. M. Najib Yasin, Ust. Muzamil, Ust. Nasihin, Ust. Abdul Wahid, Ust. M. Sholeh

Moderator
Ust. Faidli Lukman Hakim

Notulen
Ahmad Chadiqun Nuha

Ilustrasi: Pixabay