Oleh: Ahmad Muntaha AM
Ibn ‘Athaillah as-Sakandari menyampaikan kalam hikmah:
لَا تَتْرُكِ الذِّكْرَ لِعَدَمِ حُضُورِكَ مَعَ اللهِ فِيهِ، لِأَنَّ غَفْلَتَكَ عَنْ وُجُودِ ذِكْرِهِ أَشَدُّ مِنْ غَفْلَتِكَ فِي وُجُودِ ذِكْرِهِ. فَعَسَى أَنْ يَرْفَعُكَ مِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجُودِ غَفْلَةٍ إِلَى ذِكْرٍ مَعَ وُجُودِ يَقْظَة، وَمِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجُودِ يَقْظَةٍ إِلَى ذِكْرٍ مَعَ وُجُودِ حُضُورٍ، وَمِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجُودِ حُضُورٍ إِلَى ذِكْرٍ مَعَ غَيْبَةٍ عَمَّا سِوَى الْمَذْكُورِ، وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللهِ بِعَزِيزٍ (إبراهيم: 20)
“Jangan tinggalkan zikir karena ketidakhadiranmu bersama Allah di dalamnya, sebab kelalaianmu dari berzikir kepada-Nya (tidak zikir) lebih parah daripada kelalaianmu dalam berzikir kepada-Nya (berzikir meskipun masih disertai kelalaian). Semoga karenanya Allah akan mengangkatmu dari zikir dengan kelalaian menuju zikir dengan kesadaran, dari zikir dengan kesadaran menuju zikir dengan kehadiran, dan dari zikir dengan kehadiran menuju zikir disertai pergi dari selain Allah yang dizikirkan. ‘Dan yang demikian itu tidak sulit bagi Allah.’ (QS. Ibrahim 20)”
‘Zikir dengan kelalaian’ adalah zikir dengan lisan saja tanpa memahami maknanya; ‘zikir dengan kesadaran’ adalah zikir dengan memahami makna-makna dari kalimat zikir yang diucapkan; ‘zikir dengan kehadiran’ adalah zikir yang membawa pengaruh rasa takut, cinta, kagum kepada Allah sesuai zikir yang dilakukan; dan ‘zikir disertai pergi dari selain Allah yang dizikirkan’ adalah hanya mengingat Allah yang dizikirkan, tidak selainnya.
Baca Juga: Menumbuhkan Amal yang Berkualitas (Hikam-45)
Tingkatan pertama zikirnya orang awam, tingkat kedua zikirnya orang berakal, tingkat ketiga zikirnya para ulama dan tingkat keempat zikirnya para wali.
Zikir merupakan jalur strategis meraih ridha Allah, karena merupakan ibadah yang murah, sederhana dan efektif. Bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, tanpa batas ruang dan waktu. Karenanya, kelalaian dalam berzikir tidak dapat menjadi alasan justru untuk meninggalkannya.
Bisa jadi sebaliknya, dengan istiqamah berzikir meskipun masih disertai kelalaian, orang dapat dinaikkan derajatnya menjadi mampu berzikir dengan kesadaran memahami maknanya; berzikir dengan kehadiran rasa cinta, takut dan kagum terhadap Allah; hingga berzikir hanya mengingat Allah saja, seiring firman Allah:
وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللهِ بِعَزِيزٍ (إبراهيم: 20)
“Dan yang demikian itu tidak sulit bagi Allah.” (QS. Ibrahim 20)
Baca Juga: Seri Artikel Kajian Hikam
Sumber:
1. Ibn ‘Ibad an-Nafazi ar-Randi, Syarh al-Hikam, (Indonesia: al-Haramain, tth.), 40-41.
2. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Hikam al-‘Athaiyyah Syarh wa Tahlil, (Bairut-Damaskus: Dar al-Fikr, 1424 H/2003 M), II/199-200.
Ilustrasi: islaam