Home Fiqih Utang Barang Tetapi Harus Dibayar Uang

Utang Barang Tetapi Harus Dibayar Uang

0
Hutang Barang Dibayar dengan Uang

Di daerah pedesaan, masih sering kita jumpai praktek utang-piutang dengan cara yang hanya berbekal “suka sama suka.” “Ridla bi ridla.” Seperti kasus berikut.

Di sebuah desa yang terletak di barat kota Magelang ada seseorang yang kaya raya. Oleh warga setempat, ia biasa dipanggil dengan sebutan Pak Haji. Pak Haji ini memiliki banyak usaha yang setiap hari ia tekuni. Salah satunya ialah beternak kambing. Pada suatu hari, ada tetangganya bertamu ke rumah Pak Haji. Pak Kamil namanya. Pak Kamil mengeluh. Ia terdesak kebutuhan yang tidak sedikit. Segala usaha sudah ia lakukan untuk mendapatkan uang yang cukup, namun usahanya belum juga membuahkan hasil. Akhirnya ia berniat meminjam uang kepada Pak Haji.

Pak Haji berkenan memberi pinjaman uang kepadanya. Hanya saja, ia mau memberi pinjaman dengan bentuk kambing yang ia punya. 

Pak Kamil berkata, “Pak Haji, saya mau pinjam uang Bapak.” Pak Haji menjawab, “Bawa saja kambingku satu ekor. Jual. Nanti kamu membayarkan utang padaku sebesar Rp2.000.000.” Pak Kamil setuju. Ia segera membawa satu ekor kambing dari peternakan Pak Haji.

Padahal, Pak Kamil sudah mengetahui jika harga kambing tersebut paling mahal bisa terjual Rp1.500.000.

Apakah praktek hutang piutang seperti deskripsi di atas bisa dibenarkan?

Baca Juga: Jangan Asal Menghukumi, Ini Konsep Dasar Tasyabbuh

Utang Barang Dibayar dengan Uang

Dalam akad utang piutang (qardh), orang yang berutang (muqtaridh) wajib mengembalikan barang yang jenis dan kadarnya sama dengan yang ia utang. Ini apabila barang yang ia utang adalah barang mitsli.  Apabila yang diutang berupa barang yang mutaqawwam, maka ia wajib mengembalikan barang yang bentuknya sama. Dalam kasus di atas, kambing termasuk barang yang mutaqawwam.

Maka, sudah semestinya Pak Kamil mengembalikan utangnya berupa kambing. Bukan uang tunai.

Memang, ada pendapat yang memperbolehkan mengembalikan utang dengan qimah, atau harga barang yang diutang. Bukan dengan bentuk barang. Dan ada perkhilafan dalam kadar harga yang harus dikembalikan. Pendapat pertama menyatakan bahwa harga yang harus dikembalikan adalah harga kambing pada saat Pak Kamil menerima kambing tersebut. Pendapat kedua menyatakan bahwa Pak Kamil harus mengembalikan dengan harga yang paling tinggi di waktu mulai dari penerimaan kambing sampai penjualan.

Meski ada pendapat yang memperbolehkan mengembalikan utang barang mutaqawwam dengan uang tunai, kasus di atas tetap tidak bisa dibenarkan. Karena dalam kasus ini, Pak Haji menentukan nominal yang harus dikembalikan melebihi kadar maksimal dari harga kambing yang ia utangkan.

Jika sudah terjadi, adakah solusinya?

Baca selengkapnya di Hasil Bahtsul Masail Forum Bahtsul Masail Santri Magelang (FORBASMA). File bisa didownload di sini.