Home Akidah Siapa yang Mewariskan Pemikiran An-Nahdliyah?

Siapa yang Mewariskan Pemikiran An-Nahdliyah?

0
Siapa yang Mewariskan Pemikiran An-Nahdliyah?

Oleh: Amin Ma’ruf*

Terbentuknya suatu budaya tentu melalui proses yang panjang. Negara tercinta kita ini sangat kaya akan budayanya. Adanya ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga lahir dari rahim asli Indonesia. Artinya kedua ormas ini, meskipun memiliki kekhasan masing-masing yang berbeda, merupakan produk budaya Indonesia.

NU memiliki khashaish (ciri-ciri) fikrah (pemikiran) yang sangat luhur, sebagaimana tertuang di dalam keputusan Muktamar NU ke-27 tahun 1984, yakni tawassuth, i’tidal, tawazun, dan tasamuh.

Tawassuth dan i’tidal artinya sikap menjunjung tinggi berlaku adil di tengah-tengah kehidupan bersama yang plural, dan menghindari segala bentuk sikap ekstrem.

Tawazun artinya sikap seimbang dalam berkhidmah. Seimbang dalam dua dimensi: hablum minalloh dan hablum minannas. Artinya antara urusan ibadah kepada Allah Swt. dan sikap sosial kepada sesama manusia harus sama-sama dijalankan dengan baik dan seimbang.

Terakhir yaitu sikap tasamuh, yakni toleran terhadap perbedaan baik dalam masalah keagamaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan. Khashaish ini merupakan ciri khas NU yang sungguh luar biasa dan sangat bermanfaat dalam kehidupan bernegara terutama di Negara tercinta ini.

KH Zulfa Mustofa, Waketum PBNU saat ini menggubah syair khusus menguraikan khashaish ini di dalam al-mandzumah an-nawawiyyah :

وحبذا الطريقة النهضية * تهدي الى فكرتها السامية

تـوسـط تـوازن اعتـدال * تسـامــح فادر كـما يقــال

Sungguh luar biasa ajaran NU

yang menunjukkan kepada pemikiran yang mulia

Yaitu tawassuth, tawazun, i’tidal

tasamuh, maka ketahuilah, seperti halnya disampaikan.

(KH. Zulfa Mustofa, Tuhfah al-Qashi wa al-Daniy, [Jakarta Selatan: Mayang Publishing,2021] hlm. 9)

Yang jadi pertanyaan, dari mana dan dari siapa fikrah (pemikiran) semacam ini diwariskan, yang kemudian menjadi khasaish NU dan diresmikan dalam Muktamar ke-27 ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita ketahui dulu bahwa pemikiran semacam itu tidak mungkin hasil dari ruang kosong, pasti hasil dari pemahaman yang mendalam atas ajaran agama, sebagaimana disampaikan oleh KH. Zulfa di dalam masterpiece-nya, Tuhfah al-Qashi wa al-Daniy:

فالوسطية في شخص وفي مذهب من المذاهب لا تنال عند الشيخ نووي إلا بالعلم والعمل. فكثرة العلم يوجب التسامح والإعتدال والتوازن, فهذه الثلاثة هي نفس التوسط أو الوسطية

“Sikap moderat pada pribadi seseorang atau suatu madzhab menurut Syekh Nawawi Banten tidak dapat diperoleh tanpa ilmu dan amal. Luasnya ilmu akan memberi konsekuensi sikap tasamuh, i’tidal, dan tawazun. Ketiga ini lah yang dimaksud sikap tawasuth sebenarnya, atau sikap moderat.” (KH. Zulfa Mustofa, Tuhfah al-Qashi wa al-Daniy, [Jakarta Selatan : Mayang Publishing, 2021] hlm. 191).

Lantas siapa yang mewariskan fikrah ini? Jawabannya adalah Syekh Nawawi Banten dan para muridnya, terutama KH. Hasyim Asy’ari. Beliau-beliau lah yang tanpa lelah menyebarkan fikrah ini sampai menjadi mapan dan terbentuk sebuah organisasi keagamaan bernama Nahdlatul Ulama. Yang hasilnya dan ajarannya dapat kita rasakan saat ini.

والنووي مع تلامذته ما زالوا في نشر هذا المنهاج الوسطي في إندونيسيا حيث أن تلامذته أسسوا المنظمات الإسلامية وجعلوا الوسطية من أهم مبدء منظماتهم لا سيما تلميذه الشيخ هاشم أشعري مؤسس نهضة العلماء

“Syekh Nawawi Banten dan para muridnya selalu menyebarkan faham moderat di Indonesia, hingga para muridnya mendirikan organisasi islam yang menjadikan prinsip moderat sebagai prinsip organisasi, terutama KH. Hasyim Asy’ari,  founder Nahdlatul Ulama.” (KH Zulfa Mustofa, Tuhfah al-Qashi wa al-Daniy, [Jakarta Selatan : Mayang Publishing, 2021] hlm. 191).

Wallohu a’lam

*Santri PP Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah; Mahasiswa Tafsir Pascasarjana UNSIQ Wonosobo, Jawa Tengah.