Home Fiqih Sesatnya Pemahaman Hadis Sampaikanlah walau Satu Ayat dariku

Sesatnya Pemahaman Hadis Sampaikanlah walau Satu Ayat dariku

0
Book on Fire

Jargon trending belakangan ini بلغوا عني ولو آية, “sampaikanlah walau satu ayat dariku”. Tapi sebenarnya, siapakah yang diperintahkan oleh nabi dengan sabdanya itu? Semua orang, atau khusus orang tertentu saja?

Mari kita cari tahu jawabannya.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 973 H / 1566 M), dalam kitabnya, Al-Fatawi Al-Haditsiyah, melegitimasi sebuah maqolah (kutipan) populer yang kemungkinan diucapkan oleh Imam Ibnu Uyainah (Tabi’ut tabi’in, w. 198 H / 815 M). Kutipan itu berbunyi begini:

الحديث مضلة إلا للفقهاء

“Hadis itu menyesatkan kecuali bagi pakar fiqh.”

Mengamini kutipan tersebut, Al-Haitami meragukan kapabilitas orang-orang yang melihat Hadis hanya dari teks redaksinya saja.

ومعناه أن الحديث كالقرآن في أنه قد يكون عام اللفظ خاص المعنى وعكسه ومنه ناسخ ومنسوخ ومنه ما لم يصحبه عمل ومنه مشكل يقتضي ظاهره التشبيه كحديث ينزل ربنا الخ ولا يعرف معنى هذه إلا الفقهاء بخلاف من لا يعرف إلا مجرد الحديث فإنه يضل

“Arti kutipan ini adalah bahwa Hadis itu seperti Al-Qur’an, terkadang ada yang memakai kata umum (‘am) tetapi makna yang dikandung spesifik (khos) atau Agak. Ada yang terakhir dan ada yang dihapus. Sebagian lagi yang tidak bisa diamalkan. Hadis yang lain maknanya menyulitkan karena secara eksplisit sebagai penyamaan Allah dengan makhluk, seperti Hadis yang menyebutkan “Tuhan kita turun”. Yang dapat merumuskan arti dan hukum semacam itu hanyalah pakar fikih. Berbeda dengan orang yang hanya tahu tentang sebuah Hadis saja, karena sungguh dia bisa tersesat. ”

Beliau menjelaskan bahwa Hadis Nabi—sebagaimana Al-Qur’an—terkadang memuat kata/kalimat yang general tetapi mengandung arti spesifik atau sebaliknya. Ada yang menghapus atau dihapus oleh yang lain. Ada yang mengesankan kerancuan makna, dan sebagainya.

Maka, tentunya hanya pakar fikih yang boleh berfatwa. Mereka berkompeten dalam perihal teknis dan prosedur penggalian hukum langsung dari Hadis maupun ayat Al-Qur’an, meski tanpa mengikuti madzhab tertentu. Sedangkan orang yang hanya hafal satu Hadis tanpa mengetahui konteks dan korelasinya dengan akar dalil yang lain, tidak diperkenankan berdakwah langsung dengan Hadis. Mereka harus mengikuti pendapat ulama yang kredibel.

Hanya ulama yang kredibel dan kapabel yang boleh berdakwah langsung dengan Al-Qur’an dan Hadis. Mereka sudah menghabiskan seluruh waktunya untuk meneliti semua dalil dari Al-Qur’an dan Hadis beserta seluruh aspek-aspeknya.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa tidaklah tepat bila semua orang berhak atau boleh berdakwah dengan modal satu-dua ayat atau Hadis. Bahkan meski sudah beramar makruf nahi mungkar dengan mengikuti pendapat ulama, tetap harus memperhatikan etika dan aturan mainnya. Tidak asal hajar. Allahu a’lam.