Home Fiqih Penyelewengan Dana ACT, Pencederaan Sebuah Amanah

Penyelewengan Dana ACT, Pencederaan Sebuah Amanah

0

Oleh: M. F. Falah Fashih*

Beberapa waktu lalu, beredar kabar tentang penyelewengan dana oleh lembaga ACT (Aksi Cepat Tanggap). Tentu hal ini mengagetkan banyak pihak, apalagi lembaga tersebut dikenal sebagai badan yang mengusung dan mengkampanyekan filantropi, namun justru melakukan hal yang bertolak belakang. Bukan hanya mengagetkan, hal tersebut juga mengakibatkan kekecewaan yang meluas di masyarakat. Pasalnya, masyarakat telah memberikan kepercayaan kepada lembaga tersebut untuk membantu menyalurkan bantuan kepada korban-korban yang membutuhkan. Akan tetapi, dana tersebut justru disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan yang tidak seharusnya. Mulai dari kepentingan pribadi hingga kepentingan kelompok tertentu, yang jauh dari tujuan donasi masyarakat.

Jika dinilai dari sudut pandang kemanusiaan, tentu tindakan semacam itu merupakan bentuk kejahatan. Tidak hanya jahat, tetapi juga tidak menghargai serta mencederai nilai-nilai kemanusiaan.

Berdasarkan hukum positif negara, tentu ini merupakan sebuah pelanggaran yang harus diproses dan ditindak secara tegas. Begitu pula di hadapan kacamata syariat, penyelewengan dana oleh lembaga ACT juga merupakan sebuah pelanggaran dan tindakan yang ilegal. Pasalnya, tindakan penyelewengan tersebut menyalahi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syariat.

Analisa Syariat Terhadap Status ACT

Untuk memahami hal tersebut, ada beberapa analisis yang harus dipahami. Pertama, status lembaga ACT di hadapan syariat. Hal ini penting untuk dipahami, pasalnya status lembaga ACT berkaitan erat dengan batasan kewenangannya. Sebatas penelusuran yang telah dilakukan, ada dua opsi yang bisa digunakan. Opsi pertama adalah wakil, sehingga transaksi (akad) yang dilakukan antara donatur dengan lembaga tersebut adalah wakalah. Implikasinya, jika lembaga ACT adalah wakil dan bekerja berdasarkan transaksi wakalah, maka lembaga ACT hanya berwenang menyalurkan dana yang terkumpul dari para donatur tanpa boleh mengambil bagian sedikitpun. Lebih lanjut lagi, jika status lembaga ACT adalah wakil dari para donatur, maka penyaluran dana juga harus sesuai dengan tujuan donatur. Segala penyaluran dana di luar tujuan donatur yang dilakukan tanpa izin dan sepengetahuan donatur merupakan tindakan ilegal yang menyalahi prinsip transaksi wakalah.

Opsi kedua, lembaga ACT diberikan status layaknya man jama’a maalan li fakki asrin, orang yang mengumpulkan harta untuk menebus dan membebaskan tawanan. Dari sudut pandang fikih, status tersebut memiliki konsekuensi yang sama dengan wali atau pengelola harta anak yatim dalam segi legalitas mengambil sebagian harta yang dikelola untuk kepentingan pribadi. Artinya, opsi kedua ini lebih longgar bagi lembaga ACT daripada opsi pertama. Pasalnya, opsi kedua ini melegalkan lembaga ACT untuk mengambil sebagian dari dana yang terkumpul dari para donatur. Meski demikian, legalitas mengambil sebagian dari dana tersebut bukan berarti tanpa batasan dan bisa dilakukan secara bebas serta sesuka hati. Merujuk pada pernyataan Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj

وَقِيسَ بِوَلِيِّ الْيَتِيمِ فِيمَا ذُكِرَ مَنْ جَمَعَ مَالًا لِفَكِّ أَسْرِ فَلَهُ إنْ كَانَ فَقِيرًا الْأَكْلُ مِنْهُ

“Dan orang yang dapat dikiaskan dengan wali anak yatim, dalam segi legalitas mengambil harta yang dikelolanya, adalah orang yang mengumpulkan harta untuk menebus dan membebaskan tawanan. Sehingga, jika orang tersebut fakir maka orang tersebut boleh memakan (memanfaatkan) sebagian dari harta (yang dikelolanya) tersebut”

Baca juga: Ma’had Aly, Strategi Mi’raj Pesantren

Jika konsisten dengan konsep tersebut, maka lembaga ACT hanya boleh mengambil bagian dari harta yang dikelola jika dia memang tergolong fakir dan tidak bisa mencari penghasilan lain sebab disibukkan dengan tugas mengelola harta tersebut. Lebih lanjut lagi, bagian yang boleh diambil pun tidak bisa sembarangan. Berdasarkan konsep yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami, cara menghitung bagian yang legal diambil adalah dengan membandingkan nominal kebutuhannya dan nominal gaji pada umumnya, dan bagian yang legal digunakan adalah nominal terkecil. Jika kebutuhannya lebih kecil dibanding gaji pada umumnya, maka yang berhak diambil adalah nominal kebutuhannya. Begitupun sebaliknya.

Berdasarkan kedua opsi di atas, penyaluran dana yang dilakukan oleh lembaga ACT, baik berupa gaji yang sampai bernilai puluhan bahkan ratusan juta, ataupun berupa gelontoran dana untuk kepentingan kelompok yang tidak seharusnya, merupkan tindakan yang melewati batas dan ilegal. Artinya, status apapun yang disematkan kepada lembaga ACT, tidak ada celah untuk melakukan pembenaran di hadapan fikih dan syariat.

Konsekuensi Penyelewengan Dana ACT

Analisis kedua, berkaitan dengan tindakan yang dilakukan oleh lembaga ACT. Sesungguhnya, analisis ini tidak bisa dipisahkan dengan analisis pertama. Tindakan yang dilakukan oleh lembaga ACT, berdasarkan analisis sebelumnya, jelas merupakan tindakan yang ilegal. Selain itu, tindakan yang dilakukan oleh lembaga ACT juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah dan kepercayaan. Dari sisi manapun, jika ditampakkan, transaksi (akad) yang dilakukan oleh donatur dengan lembaga ACT memiliki basis amanah. Sehingga, segala tindakan yang ilegal dan menyalahi prinsip-prinsip amanah dianggap sebagai pengkhianatan. Dari sudut pandang ini pun, akhirnya dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh lembaga ACT merupakan hal yang haram. Akibatnya, dana yang dihasilkan dari perkara yang haram juga haram untuk digunakan.

Lalu bagaimana konsekuensi yang harus diterima lembaga ACT akibat telah melakukan tindakan dan penyelewengan dana yang ilegal secara syariat?

Untuk menjawab pertanyaan ini, salah satu konsep dasar yang bisa digunakan adalah pernyataan Imam An-Nawawi, yang menegaskan bahwa segala hal yang haram diambil, karena merupakan hak orang lain, wajib dikembalikan kepada yang berhak. Bahkan, jika barang yang diambil dengan cara yang haram tersebut sudah rusak, maka wajib diganti. Hal ini disampaikan Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’

ما حرم أخذه لحق الغير إذا أخذه وجب رده إلى مالكه كالمغصوب وان هلك عنده وجب عليه الجزاء لانه مال حرام.

“Sesuatu yang haram diambil karena merupakan hak orang lain, jika diambil maka wajib dikembalikan pada pemiliknya, seperti barang yang digasab. Jika barang tersebut rusak ketika di sisinya, maka dia wajib menggantinya, karena barang tersebut adalah barang yang haram.”

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali juga menambahkan bahwa bertaubat dari tindakan penyelewengan dan penggunaan dana secara ilegal tidak cukup hanya dengan penyesalan dan iktikad untuk tidak akan mengulangi tindakan tersebut untuk kedua kalinya. Akan tetapi juga harus disertai dengan pengembalian dana tersebut dan/atau memberikan ganti rugi.

قال الغزالي إذا كان معه مال حرام وأراد التوبة والبراءة منه فان كان له مالك معين وجب صرفه إليه أو إلى وكيله فان كان ميتا وجب دفعه إلى وارثه وان كان لمالك لا يعرفه ويئس من معرفته فينبغي أن يصرفه في مصالح المسلمين العامة

“Imam Al-Ghazali menyatakan: ‘Ketika dia memiliki harta haram dan ingin bertaubat serta terbebas dari harta haram tersebut, konsekuensinya, jika pemiliknya diketahui maka wajib diserahkan pada pemiliknya atau wakilnya. Jika pemiliknya telah mati maka harta tersebut wajib diserahkan pada ahli warisnya. Jika pemiliknya tidak diketahui dan sulit untuk dilacak, maka seyogyanya harta tersebut digunakan untuk kemaslahatan umat muslim secara umum.”

Simak video-video kajian islam kami di fanpage aswajamuda.com

Dari pemaparan ini, dapat dipahami bahwa taubat yang tidak disertai dengan pengembalian harta yang diselewengkan atau tidak digunakan sebagaimana mestinya belum bisa dianggap cukup secara syariat. Dalam konteks kasus yang menjerat lembaga ACT, untuk benar-benar menebus kesalahan dan pengkhianatan yang telah dilakukan, selain diproses berdasarkan hukum positif negara, segala pihak yang telah menerima dana yang diselewengkan tersebut wajib mengembalikannya. Dan wajib mengganti rugi jika dana tersebut telah digunakan. Bahkan jika pihak-pihak tersebut tidak mau mengembalikan atau melakukan ganti rugi, maka berdasarkan sudut pandang syariat, negara berhak melakukan penyitaan terhadap aset-aset yang dimiliki pihak terkait sebagai bentuk pertanggungjawaban dan pengembalian serta ganti rugi.

*Founder IBIDISM (Inspiration Base, Initiators and Developers Institution for Santri of Ma’had Aly)Mahasantri Pascasarjana Ma’had Aly Lirboyo – Kedirifajreyfalah@gmail.com.