Home Fiqih Nekat Membatalkan Puasa

Nekat Membatalkan Puasa

0
Cups of coffee and plate of dates.

NEKAT MEMBATALKAN PUASA
Kerugian Sepanjang Masa

Puasa Ramadhan tentu harus dilakukan sebaik mungkin, meski dalam beberapa kondisi orang dibolehkan tidak berpuasa, seperti karena sakit, dalam perjalanan, hamil, menyusui, dan semisalnya. Lalu bagaimana bila orang nekat membatalkan puasa atau bahkan tidak berpuasa sama sekali tanpa alasan yang dibenarkan?

Dalam konteks ini Syaikh al-Islam Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H/1504-1567 M) Mujtahid Ahli Fatwa Mazhab Syafi’i menyatakan, orang yang membatalkan puasa atau tidak berpuasa tanpa halangan yang dibenarkan, berarti telah melakukan dosa besar. Dalam karyanya az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair (Pencegah Menerjang Dosa Besar, II/10-11) beliau menegaskan:

اَلْكَبِيرَةُ الْأَرْبَعُونَ وَالْحَادِيَةُ وَالْأَرْبَعُونَ بَعْدَ الْمِائَةِ تَرْكُ صَوْمِ يَوْمٍ مِنْ أَيَّامِ رَمَضَانَ، وَالْإِفْطَارُ فِيهِ بِجِمَاعٍ أَوْ غَيْرِهِ بِغَيْرِ عُذْرٍ مِنْ نَحْوِ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ.

“Dosa besar ke-140 dan 141 adalah meninggalkan puasa sehari dari hari-hari bulan Ramadhan dan membatalkannya dengan bersetubuh atau selainnya tanpa sebab uzur seperti sakit atau dalam perjalanan.”

Di antara dalil yang menunjukakkannya adalah beberapa hadits berikut ini:

1. Riwayat Abu Ya’la (1):

عَنِ ابْنِ عَبَّاسَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عُرَى الْإِسْلَامِ وَقَوَاعِدُ الدِّينِ ثَلَاثَةٌ، عَلَيْهِنَّ اُبْتُنِيَ الْإِسْلَامُ: مَنْ تَرَكَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ فَهُوَ بِهَا كَافِرٌ حَلَالُ الدَّمِ: شَهَادَةُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَالصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَصَوْمُ رَمَضَانَ. (رواه أبو يعلى بإسناد حسن، وقال الذهبي: هذا حديث صحيح)

“Diriwayatkan dari Ibn Abbas, Nabi Saw bersabda: “Pedoman Islam dan kaidah agama ada tiga. Islam dibangun di atasnya. Orang yang meninggalkan salah satunya maka ia berstatus kafur dan halal darahnya, yaitu: (1) kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, (2) shalat fardhu, dan (3) puasa Ramadhan.” (HR. Abu Ya’la dengan sanad hasan, sedangkan ad-Dzahabi mengatakan: “Ini hadits shahih.”)

Namun demikian, maksud “berstatus kafir dan halal darahnya” ini untuk bagian yang pertama saja, yaitu syahadat; sedangkan untuk shalat fardhu dan puasa Ramadhan ungkapan itu hanya merupakan peringatan keras, tidak makna sebenarnya. Atau bisa pula dipahami dengan makna sebenarnya namun bagi orang yang meninggalkannya disertai menghalalkannya. Demikian penjelasan al-Munawi dalam Faidh al-Qadir (IV/410).

2. Riwayat Abu Ya’la (2):

مَنْ تَرَكَ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً فَهُوَ بِاللهِ كَافِرٌ، وَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلَا عَدْلٌ وَقَدْ حَلَّ دَمُهُ وَمَالُهُ. (رواه أبو يعلى سَنَدُهَا حَسَنٌ)

“Orang yang meninggalkan salah satunya maka ia kufur terhadap Allah, tidak diterima darinya ibadah fardhu dan sunnah, dan halal darah dan hartanya.” (HR. Abu Ya’la. Sanadnya hasan)

3. Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan selainnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ لَمْ يُجْزِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ. (رواه أبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه باسناد غريب لكن لم يضعفه أبو داود) 

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra: “Sungguh Nabi Saw bersabda: “Orang yang membatalkan puasa satu hari dari Ramadhan tanpa rukhshah, maka tidak cukup baginya puasa sepanjang masa.” (HR. Abu Dawud at-Tirmidz, an-Nasa’i, dan Ibn Majah dengan sanad gharib, tapi Abu Dawud tidak mendha’ifkannya)

4. Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan selainnya:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ وَإِنْ صَامَهُ. (رواه التِّرْمِذِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ وَأَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ خُزَيْمَةَ فِي صَحِيحِهِ وَالْبَيْهَقِيُّ)

“Orang yang membatalkan puasa satu hari dari Ramadhan tanpa rukhshah dan tanpa sakit, maka tidak cukup baginya mengqadha puasa sepanjang masa, seluruhnya, walaupun ia memuasainya.” (HR. at-Tirmidzi dan redaksi ini merupakan riwayatnya, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibn Majah, Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya, dan al-Baihaqi)

Maksud kedua hadits terakhir adalah ia tidak akan memperoleh keutamaan, kesucian, dan keberkahan Ramadhan sebab telah meninggalkan sehari puasanya, meskipun ia menggantinya dengan puasa sepanjang masa. Namun hal ini tidak menafikan bahwa untuk menggugurkan kewajibannya, qadha sehari tetap mencukupinya (as-Shiyam, 14).

Bahkan menurut al-Imam Abdul Wahhab bin Ahmad as-Sya’rani (898-973 H/1493-1565 M), ulama Sufi yang sekaligus pakar fikih, ushul dan hadits asal Mesir, dalam karyanya al-‘Uhud al-Muhammadiyyah (307), hadits tersebut sebenarnya merupakan pesan Rasulullah Saw kepada kita agar tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan membatalkan berpuasa dan untuk menjaga kesehatan agar dapat melakuan puasa Ramadhan secara sempurna.

Bagaimanapun, sehari puasa Ramadhan merupakan kesempatan beribadah yang sangat luar biasa, dan meninggalkannya tanpa alasan yang dibenarkan adalah kerugian sepanjang masa.

Oleh :
Ahmad Muntaha AM

Referensi :

  1. Ibn Hajar al-Haitami, az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair, Juz I, h. 339 dan Juz II, h. 10-11.
  2. Al-Munawi, Faidh al-Qadir, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H/1994 M), Juz IV, h. 410.
  3. Abdullah Sirajuddin al-Husaini, as-Shiyam Adabuh wa Mathalibuh wa Fawaiduh wa Fadhailuh, (Halab: Maktabah Dar al-Falah, tth.), h. 14.
  4. As-Sya’rani, al-‘Uhud al-Muhammadiyyah, h. 307.
  5. An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, Juz VI, h. 329.

Ilustrasi : Huffpost