Home Fiqih Khusus Jumat Shalat Dua Rakaat, Hari Lain Shalat Dhuhur 4 Rakaat

Khusus Jumat Shalat Dua Rakaat, Hari Lain Shalat Dhuhur 4 Rakaat

0

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْأَضْحَى رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه أحمد والنسائي وابن ماجه والبيهقي. حديث حسن)

Diriwayatkan dari Umar ra, beliau berkata: “Shalat dalam bepergian itu dua rakaat, shalat Dhuha dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat, dan shalat Jumat dua rakaat yang sempurna tanpa diringkas sesuai penuturan Nabi Muhammad saw.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibn Majah, al-Baihaqi. Hadits Hasan)

Selain berdasarkan hadits ini, dua rakaat shalat jumat juga berdasarkan penukilan (pewarisan) dari generasi salaf kepada generasi selanjutnya, dan telah menjadi ijma’ ulama, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Ishaq as-Syirazi dalam al-Muhadzdzab dan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu.

Dalam disiplin ilmu Fikih kemudian terbangun kaidah:

اَلْجُمُعَةُ ظُهْرٌ مَقْصُورَةٌ أَوْ صَلَاةٌ عَلَى حِيَالِهَا؟

“Shalat Jumat, apakah shalat Zhuhur yang diringkas atau shalat mandiri (yang tidak berkaitan dengan Zhuhur)?”

Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat yang unggul dalam kasus-kasus parsialnya berbeda-beda.

Di antara contohnya adalah andaikan orang shalat Jumat namun niat shalat Zhuhur yang diringkas, maka menurut ulama yang  berpendapat bahwa shalat Jumat adalah shalat mandiri, shalatnya tidak sah karena harus niat shalat Jumat; sedangkan menurut ulama yang berpendapat shalat Jumat adalah shalat Zhuhur yang diringkas, maka ada dua pendapat: a) shalat Jumatnya sah karena pada hakikatnya ia telah niat shalat; dan b) shalat Jumatnya tidak sah, karena tujuan niat adalah membedakannya dari shalat lain, sehingga wajib membedakannya dengan shalat lain dengan cara niat shalat Jumat.

Namun demikian, menurut menurut Ibn Hajar al-Haitami, pendapat al-Ashah (yang lebih benar) adalah shalat Jumat merupakan shalat mandiri, dan mayoritas kasus parsialnya berdasarkan kaidah ini. Andaikan ada kasus yang tidak sesuai dengan kaidah ini, maka dianggapnya sebagai pengecualian.

bersambung…

Referensi :

  1. As-Suyuthi, al-Lum’ah fi Khasa’is Yaum al-Jum’ah, h. 2;
  2. As-Suyuthi, Asybah wa an-Nazha’ir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H), h. 162-163.
  3. Abdullah bin Sa’id al-Hadrami, Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah li Thullab al-Madrasah as-Shaulitiyah, h. 95-96.
  4. Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz IV, h. 530.

 


Sumber :
Grup Whatsapp, Kajian Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Divisi KISWAH Aswaja NU Center Jatim