Transaksi dengan segala macamnya merupakan keniscayaan, sebab itulah cara untuk menunjang kebutuhan primer dan sekunder manusia. Macam-macam kebutuhan yang harus terpenuhi di waktu yang tidak bisa dipastikan mengharuskan orang untuk melakukan transaksi tanpa mengenal waktu dan tempat, bahkan di waktu Jum’at sekalipun. Padahal sudah jelas larangan bertransaksi di waktu Jum’at sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surah al-Jumu’ah ayat 9 berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian unutuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”
Dari terjemah tersebut dapat disimpulkan larangan jual beli di hari Jum’at. Namun untuk mengetahui kandungan al-Qur’an tak semudah membaca terjemahan. Oleh karenanya sangat perlu kiranya membaca literatur turats, supaya didapat pemahaman yang komprehensif. Beginilah pemahaman ulama yang kredibilitasnya tidak diragukan lagi terkait larangan jual beli di hari Jum’at.
Yang Dilarang Bertransaksi
Tidak semua orang di waktu Jum’at dilarang melakukan transaksi. Imam al-Qurtubi dalam menafsirkan (وَذَرُوا الْبَيْعَ) “dan tinggalkanlah jual beli”, Allah Aza wa Jalla melarang jual beli saat sholat Jum’at dan mengharamkannya bagi yang berkewajiban melaksanakan sholat Jum’at. Meskipun di dalam ayat hanya menyebutkan kata “jual” tanpa menyebutkan kata “beli”, sudah dirasa cukup sebab kata “jual” mengharuskan “beli”. Seperti firman Allah:
سَرابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ
“Pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan.” (QS Annahl: 81)
Kata الْبَيْعَ “jual” secara khusus disebutkan karena transaksi jual beli merupakan paling banyaknya perkara yang menyibukan orang-orang di pasar.
Barang siapa yang tidak wajib menghadiri Sholat Jum’at maka tidak dilarang untuk melakukan transaksi jual dan beli. (Syamsudin al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, [Dar-Kutub Al-Misriyah, Al-Qohiroh,1384 H/1964 M], jus,18 hal,107).
Taransaksi yang dilakukan oleh orang yang tidak berkewajiban melaksanakan sholat Jum’at dan yang berkewajiban tetap dihukuki haram, karna tindakan tersebut dianggap membantu melakukan perkara haram. Sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Bakri Syatho,
أما إذا تبايع مع من تلزمه حرم عليه أيضا، لإعانته على الحرام. وقيل: كره له ذلك.
“Adapun bila transaksi jual beli dilakukan dengan orang yang wajib melaksanakan sholat Jum’at hukumnya juga haram karna membantunya melakukan perkara haram. Demikian itu ada yang mengatakan makruh.” (Sayyid Abu Bakar Syatho al-Dimyathi, I’anatu Thalibin , [Beirut, Dar Fikr,1418 H/1997 M], jus 2, hal 110.)
Keharaman ini berlaku bagi orang yang duduk untuk melakukan transaksi di selain Masjid. Adapun orang yang mendengar adzan, kemudian berdiri dengan tujuan melakukan sholat Jum’at kemudian membeli sesuatu di jalan atau duduk di Masjid kemudian membeli, demikian itu, tidak diharamkan. Namun jual beli di Masjid hukumnya makruh. Keharaman ini berlaku bagi yang mengetahui larangannya. (Sayyid Abu Bakar Syatho al-Dimyathi, I’anathu Thalibin , [Beirut, Dar Fikr,1418 H/1997 M], jus 2, hal 110.)
Apakah Hanya Jual Beli yang Diharamkan?
Ayat tersebut secara tekstual hanya menyebutkan jual beli namun yang maksudnya adalah segala macam transaksi. Seorang Mufasir kontemporer Syaikh Ali Assobuni dalam menafsirkan {وَذَرُواْ البيع} mengutip pendapat Al-Alusi berkata: “Tinggalkanlah mua’amalah, mencakup jual beli, ijaroh dan lain sebagainya dari berbagai macam transaksi”. Al-Qurtubi berkata: “Kata الْبَيْعَ “jual” secara khusus disebutkan karena transaksi jual beli merupakan paling banyaknya perkara yang menyibukan orang-orang di pasar”. (Muhammad Ali Assobuni, Rowa’iulbayan, [Damsyik, Maktabah Al-Ghozali, 1980 M/1400H], jus 2 hal 571.)
Syaikh Nawawi al-Bantani menambahkan bahwa yang diharamkan bukan hanya transaksi jual beli saja. Bahkan, kegiatan industri juga masuk dalam larangan tersebut.
و) حرم على من تلْزمهُ الْجُمُعَة (نَحْو مبايعة) أَي فَيحرم عَلَيْهِ التشاغل عَن الْجُمُعَة بِأَن يتْرك السَّعْي إِلَيْهَا بِالْبيعِ أَو غَيره من سَائِر الْعُقُود والصنائع وَغير ذَلِك
“Dan haram bagi orang yang berkewajiban melaksanakan sholat Jum’at, semisal jual beli. Maksudnya haram baginya tersibukkan dengan yang memalingkan dari sholat Jum’at dengan tidak melakukan upaya melaksanakan sholat Jum’at, yakni dengan melakukan transaksi jual beli atau aqad-aqad yang lain dan perindustrian dan selainnya”. (Syaikh Nawawi al-Bantani, Nihazatu Zain, [Bairut, Dar-Fikr, tt], hal 145.)
Waktu Yang Diharamkan
Ada perbedaan ulama dalam masalah kapan waktu larangan tersebut dimulai dan kapan pula berakhir. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qurtubi dalam tafsirnya,
وَفِي وَقْتِ التَّحْرِيمِ قَوْلَانِ: إِنَّهُ مِنْ بَعْدِ الزَّوَالِ إِلَى الْفَرَاغِ مِنْهَا، قَالَهُ الضَّحَّاكُ وَالْحَسَنُ وَعَطَاءٌ. الثَّانِي- مِنْ وَقْتِ أَذَانِ الْخُطْبَةِ إِلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ، قَالَهُ الشَّافِعِيُّ.
“Terkait waktu keharaman jual beli, ada dua pendapat. Pertama, dimulai sejak matahari tergelincir sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan. Ini adalah pendapat al-Dhahhak, Hasan dan Atha’. Kedua, dimulai sejak azan khutbah sampai waktu shalat. Ini adalah pendapat Imam Syafii.” (Syamsudin al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, [Al-Qohiroh, Dar-Kutub Al-Misriyah, 1384 H/1964 M], jus 18, hal 108.)
Adapun transaksi yang dilaksanakan sebelum azan khutbah namun matahari telah tergelincir dihukumi makruh, sebab telah masuk waktu pelaksanaan sholat Jum’at. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Nihayatu Zain,
وَيكرهُ ذَلِك قبل الْأَذَان الْمَذْكُور بعد الزَّوَال لدُخُول وَقت الْوُجُوب
“Dan dimakruhkan melaksanakan transaksi sebelum azan khutbah setelah tergelincirnya matahari, karena telah masuknya waktu wajib“.( Syaikh Nawawi al-Bantani, Nihayatu Zain, [Bairut, Dar-Fikr, tt], hal 145.)
Oleh sebab itu, transaksi yang diharamkan dalam ayat al-Jumu’ah ayat 9, adalah mencakup seluruh transaksi. Bahkan kegiatan industri. Karena larangan itu bersifat umum yang pada intinya adalah larangan untuk tersibukkan dengan sesuatu yang memalingkan dari melaksanakan sholat Jum’at, dengan tidak melakukan upaya untuk melaksanakan sholat Jum’at.
Sehingga tidak masuk dalam larangan ini, seorang yang melakukan transaksi dalam perjalanan untuk melaksanakan sholat Jum’at. Penyebutan secara khusus kata “bai’” dalam ayat karena transaksi jual beli merupakan perkara yang paling banyak menyibukan orang-orang di pasar. Adapun yang dilarang untuk melakukan transaksi di hari Jum’at hanya orang yang berkewajiban melaksanakan sholat Jum’at saja. Terakhir, larangan transaksi tersebut berbatas waktu, yakni sejak azan khutbah sampai waktu shalat. Demikian ulasan yang singkat ini, semoga menjadi tambahan khasanah keilmuan dan pemahaman yang komprehensif. Wallahu a’lam bissowab.
*Penulis: Hanif Rahman, Aktivis Bahtsul Masail PP Al-Iman Bulus Purworejo; Mahasiswa Tafsir Pascasarjana UNSIQ Wonosobo.