Home Kebangsaan Kalimat Tauhid di Bendera Pusaka (Merah Putih)

Kalimat Tauhid di Bendera Pusaka (Merah Putih)

0

aswajamuda.com (21042017), Bangkalan – Geger bendera merah putih bertuliskan lafal Arab masih hangat diperbincangkan masyarakat. Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak) menganggap jika kalimat tauhid yang ada dalam  yang dibawa Nurul Fahmi itu bermakna bagus.

“Bukankah kalimat tauhid itu sesuai dengan sila pertama Pancasila? Bagus ‘kan?” ujar Lieus Sungkharisma, sebagaimana dikutip dari kantor berita politik.

Ia juga mengaku sependapat dengan pandangan mantan ajudan Presiden Soeharto, Irjen Pol (Purn) Anton Tabah yang menyebut menempatkan kalimat tauhid ‘La Illaha Illallah’ di bendera merah putih bukan termasuk unsur perbuatan pidana yang melawan hukum, apalagi penghinaan atau penodaan. Itu karena, kalimat tauhid bukanlah sesuatu yang hina. Lieus menilai tindakan aparat kepolisian terhadap Nurul Fahmi terlalu berlebihan.

“Hanya karena ia pendukung Habib Rizieq Shihab, maka dia ditangkap. Sedangkan band Metallica dan pendukung Ahok yang mencoret-coret merah putih, justru tak diapa-apakan,” sesalnya.

Lieus meminta Presiden Joko Widodo turun tangan dan tidak boleh diam dan membiarkan kepolisian melakukan upaya penegakan hukum yang tidak fair ini.

Bendera Merah Putih bertuliskan kalimat tauhid serta gambar pedang seperti bendera Arab Saudi pada aksi unjuk rasa Front Pembela Islam (FPI) di Mabes Polri, Senin (16/1/2017) kemarin, membuat Kapolri Tito Karnavian memerintahkan jajarannya untuk menyelidiki bendera tersebut. Tito menilai bendera itu penghinaan.

“Sekarang kami melakukan penyelidikan. Siapa yang membuat, siapa yang mengusung, penanggung jawab, korlapnya, akan kami panggil. Siapa ini?” kata Tito di Mapolda Metro Jaya, hari ini Rabu (18/1/2017).

Ada pasal yang mengatur, kata Tito, bagaimana memperlakukan lambang negara, termasuk bendera. Ia mengatakan hukuman memperlakukan bendera dengan tidak laik ini berupa satu tahun penjara.

Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr. Tongat, SH., M.Hum menjelaskan, dalam perspektif hukum pidana, fenomena penodaan terhadap bendera merah putih telah memiliki tafsir yang jelas. Sehingga, menurutnya tidak perlu ada distorsi apalagi reduksi makna, karena kata ‘menodai’ dalam tafsir secara sosiologispun sudah demikian jelas adanya.

Kata menodai, lanjutnya, bermakna melakukan perbuatan dengan sengaja untuk menghina. Karena itu, secara yuridis pembuktian terhadap perbuatan yang dapat dikonstruksi sebagai perbuatan sengaja menghinapun sangat mudah.

“Memang seringkali diperdebatkan ukuran ‘menghina’ itu. Tetapi secara umum, menurut pandangan masyarakat, apa yang disebut perbuatan ‘menghina’ itu sudah demikian jelas,” katanya kepada MalangTODAY.net.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, menegaskan, jika pihaknya mendukung tindakan tegas yang akan diambil pihak kepolisian kepada pelaku yang menambahkan tulisan Arab di Bendera Merah Putih saat demo di Jakarta beberapa waktu.

“Ya, harus ditindak tegas,” tegas Wiranto di Gedung MUI, Jakarta, Rabu, 18 Januari 2017, sebagaimana dikutip dari kantor berita Aktual.

Ia berpendapat jika dugaan penodaan terhadap simbol negara itu sudah dipastikan masuk pada pelanggaran peraturan yang berlaku, maka pencoret Bendera Merah Putih tersebut sudah seharusnya dikenakan hukuman.

Pertanyaan:
1. Dapatkah Dibenarkan tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisisan dengan menangkap pembawa bendera pusaka bertuliskan kalimat tauhid dengan dalih melecehkan negara?
2. Sebatas mana kita di anggap menghina ketika di arahkan ke permasalahan di atas (seakan akan kita di klaim salah menempatkan kalimat tauhid di kain bendera merah putih)?

Download: Hasil Bahtsul Masail Kubro Ke-XVII PP Nurul Cholil Bangkalan Maret 2017

Jawaban:
1. Dibenarkan.
2. Disesuaikan dengan undang – undang.

Referensi:

التشريع الجنائي الإسلامي مقارنا بالقانون الوضعي (1/ 252)

– الحق الأول: حق التحريم والإيجاب والعقاب: لولي الأمر أن يحرم إتيان أفعال معينة أو يوجب إتيان أفعال معينة، وأن يعاقب على مخالفة الأمر الذي حرم الفعل أو أوجبه. وإذا كان لولي الأمر حق العقاب فله أن يعاقب على الجريمة بعقوبة واحدة أو بأكثر، وأن يحدد مبدأ العقوبة ونهايتها. وولي الأمر مقيد في استعمال هذا الحق بعدم الخروج على نصوص الشريعة، أو مبادئها العامة، أو روحها التشريعية، وبأن يكون قصده في التحريم والإيجاب والعقاب تحقيق مصلحة عامة، أو دفع مضرة أو مفسدة.

الحاوي في فقه الشافعي – (ج 2 / ص 440)

فَأَمَّا لُبْسُ السَّوَادِ وَالْبَيَاضِ للخطيب فَكِلَاهُمَا جَائِزٌ ، قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ الْبَيَاضَ ، وَكَذَلِكَ خُلَفَاؤُهُ الْأَرْبَعَةُ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ، وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَمُّ بِعَمَامَةٍ سَوْدَاءَ ، وَيَرْتَدِي بُرْدًا أَسْحَمِيًّا ، وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ السَّوَادَ بَنُو الْعَبَّاسِ فِي خِلَافَتِهِمْ شِعَارًا لَهُمْ ، وَلِأَنَّ الرَّايَةَ الَّتِي عُقِدَتْ لِلْعَبَّاسِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ كَانَتْ سَوْدَاءَ ، وَكَانَتْ رَايَاتُ الْأَنْصَارِ صَفْرَاءَ فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَلْبَسَ السَّوَادَ إِذَا كَانَ السُّلْطَانُ لَهُ مُؤْثِرًا لِمَا فِي تَرْكِهِ مِنْ مُخَالَفَتِهِ وَتَغَيُّرِ شِعَارِهِ .

شرح السير الكبير (ص: 72)

وَإِنَّمَا اُسْتُحِبَّ فِي الرَّايَاتِ السَّوَادُ لِأَنَّهُ عَلَمٌ لِأَصْحَابِ الْقِتَالِ، وَكُلُّ قَوْمٍ يُقَاتِلُونَ عِنْدَ رَايَتِهِمْ، وَإِذَا تَفَرَّقُوا فِي حَالِ الْقِتَالِ يَتَمَكَّنُونَ مِنْ الرُّجُوعِ إلَى رَايَتِهِمْ، وَالسَّوَادُ فِي ضَوْءِ النَّهَارِ أَبْيَنُ وَأَشْهَرُ مِنْ غَيْرِهِ خُصُوصًا فِي الْغُبَارِ. فَلِهَذَا اُسْتُحِبَّ ذَلِكَ.

فَأَمَّا مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ فَلَا بَأْسَ بِأَنْ تُجْعَلَ الرَّايَاتُ بِيضًا أَوْ صُفْرًا أَوْ حُمْرًا، وَإِنَّمَا يُخْتَارُ الْأَبْيَضُ فِي اللِّوَاءِ لِقَوْلِهِ – عَلَيْهِ السَّلَامُ -: «إنَّ أَحَبَّ الثِّيَابِ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى الْبِيضُ، فَلْيَلْبَسْهَا أَحْيَاؤُكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ» . وَاللِّوَاءُ لَا يَكُونُ إلَّا وَاحِدًا فِي كُلِّ جَيْشٍ، وَرُجُوعُهُمْ إلَيْهِ عِنْدَ حَاجَتِهِمْ إلَى رَفْعِ أُمُورِهِمْ إلَى السُّلْطَانِ. فَيُخْتَارُ الْأَبْيَضُ لِذَلِكَ لِيَكُونَ مُمَيَّزًا مِنْ الرَّايَاتِ السُّودِ الَّتِي هِيَ لِلْقُوَّادِ.

الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 8 / ص 313

ولا يجوز الخروج عن الطاعة بسبب أخطاء غير أساسية لا تصادم نصاً قطعياً، سواء أكانت باجتهاد، أم بغير اجتهاد، حفاظاً على وحدة الأمة وعدم تمزيق كيانها أو تفريق كلمتها، قال عليه الصلاة والسلام: «ستكون هَنَات وهنات ـ أي غرائب وفتن وأمور محدثات ـ فمن أراد أن يفرق أمر هذه الأمة وهي جميع، فاضربوه بالسيف كائناً من كان» وقال عليه السلام أيضاً: «من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد، يريد أن يشق عصاكم أو يفرق جماعتكم فاقتلوه» «أيما رجل خرج يفرق بين أمتي فاضربوا عنقه» (2) رواهما مسلم عن عرفجةوبديهي أن الطاعة بقدر الاستطاعة لقوله تعالى: لا يكلف الله نفساً إلا وسعها [البقرة:286/2]

 


Hasil Keputusan Bahtsul Masa’il Kubro Komisi A
B M K KE-XVII PP Nurul Cholil
Demangan Barat, Bangkalan, Madura

MUSHOHHIH

PERUMUS

MODERATOR

Ust. Hambali Zufadz

  1. Ust. Syaiful Anwar
  2. Agus Hamim HR
  3. Agus Masduqi Mahfuzh
  4. Ust. Muhsin Luki
  5. Agus Muhammad Sholeh
  6. Agus Dedi Santoso

Agus Muhammad Sholeh

NOTULIS

Ust. Hanif Ds

Ilustrasi: nationalgeographic.co.id