Home Fiqih Hukum Pemakaian Make Up dan Riasan Ketika Berwudu

Hukum Pemakaian Make Up dan Riasan Ketika Berwudu

0
tata cara wudhu

Diakui atau tidak make up dan wanita adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Bahkan hal tersebut hampir menjadi suatu yang wajib bagi mereka. Sehingga tak sedikit dari wanita yang rela melakukan banyak hal agar nampak lebih menarik dan mempesona dengan menggunakan berbagai jenis make up misalnya. 

Mengingat jenis make up dewasa ini sangat beragam, mulai dari yang tipe waterproof (tahan air) atau yang lainnya, tren penggunaan make up ini pada gilirannya memicu polemik di kalangan wanita muslimah. Pasalnya mereka dihadapkan dengan kewajiban berwudu dengan keharusan meratakan air ke seluruh permukaan anggota wudu yang salah satunya adalah wajah.

Lalu bagaimana syariat Islam merespon fenomena pemakaian make up jika dihadapkan dengan kewajiban meratakan air tersebut? 

Para imam madzhab sepakat bahwa salah satu syarat sah dari wudu adalah meratakan air ke seluruh permukaan anggota wudu dengan bertendensi pada narasi nash Alquran surat Al-Maidah ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian hendak melaksanakan sholat maka basuhlah wajah kalian, dan tangan kalian sampai dengan kedua siku, dan usaplah kepala kalian, serta basuhlah kaki kalian sampai dengan dua mata kaki”

Dan juga berdasarkan hadis nabi:

حَدَّثَنَا هَارُونُ بنِ مَعْرُوفٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ جَرِيرِ ابن حَزْمٍ اَنَّهُ سَمِعَ قَتَادَةَ بنِ دَعَامَة قَالَ حَدَّثَنَا اَنَس اَنّ رَجُلًا جَاءَ اِلَى رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَقَدْ تَوَضَّأَ وَتَرَكَ عَلَى قَدَمِهِ مِثْلَ مَوْضِعِ الظُفْرِ فَقَالَ لَهُ رسول الله صلى الله عليه وسلم ِارْجِعْ فَاَحْسِنْ وُضُوءَكَ

Harun bin Ma’ruf bercerita pada kami, ia berkata bawa Ibnu Wahhab menceritakan dari Aziz bin Hazm ia mendengar Qotadah bin Da’amah berkata Anas bin Malik bercerita bahwa ada seorang lelaki yang datang pada nabi shallahu’alaihiwasallam. Dia telah berwudu namun ia meninggalkan (membasuh) anggota di telapak kakinya sekira (ukuran) tempat kuku. Kemudian rasulullah shallahu’alaihiwasallam bersabda padanya, ‘kembalilah dan perbaikilah wudumu’”(Abu Thayyib Muhammad Syamsyul Haq al-Adzim Abady, Aunul Ma’bud ala Sunani Abi Daud, [Tunisia, Maktabah Salafiyyah, tth.], vol. I, hal.294.)

Hadis dan ayat tersebut sebagai landasan hukum kewajiban meratakan air ke seluruh permukaan anggota wudu. Namun hal yang sering menjadi permasalahan, yaitu tidak sampainya air pada kulit bukan semata karena kecerobahan seseorang, namun juga disebabkan adanya penghalang secara kasat mata (hissy).

Membicarakan tentang penghalang Sayyid Abu Bakar Syatho Ad-Dimyati menjelaskan 

وَرَابِعُهَا اَنْ لَا يَكُونَ عَلَى الْعُضْوِ حَائِلُ اَىْ جِرْمٌ كَثِيفٌ يَمْنَعُ وُصُولَ اْلمَاءِ اِلَى اْلبَشَرَةِ

Yang keempat dari syarat wudu adalah dalam anggota wudu tidak terdapat sesuatu yang menjadi pengahalang, yakni sebuah benda yang dapat mencegah sampainya air pada kulit.” (Sayyid Abu Bakar Syatho Ad-Dimyati, Ianah At-Thalibin ala Hilli Alfadzi Fath al-Mu’in, [Surabaya, Al-Haromain, tth.], Vol I, hal. 35.)

Istilah hail (penghalang sampainya air ke anggota wudu) menurut beliau dipahami sebagai sebuah penghalang tebal pada anggota wudu yang jika dikontekstualisasikan dengan pembahasan yang ada dapat mencakup seluruh jenis make up yang digunakan secara berlebihan. Baik yang berjenis waterproof maupun waterresistant.

Namun demikian kategori adanya shap membuat kita mendapat sebuah kesimpulan bahwa make up yang tidak memiliki penghalang karena kadar ketipisannya maka tidak menghalangi sampainya air pada kulit.

Secara frontal Syaikh Abdullah al-Jurdany mencontohkan beberapa jenis dan kategori benda yang dapat menghalangi sampainya air pada permukaan kulit, serta sesuatu yang tidak menghalangi sampainya air pada kulit.

فَلَا يَصِحُّ الوُضُوءُ مَعَ وُجُودِ اْلحَائِلِ –الى ان قال- وَمِنَ الحَائِلِ اَيْضًا عَيْنُ حِبْرٍ وَنيلة وَحَنَاءٍ بِخِلَافِ اَثَرِهَا وَهُوَ مُجَرَّدُ اللَوْنِ بِحَيْثُ لَا يَتَحَصَّلُ بِالحَتِّ مَثَلًا شَيْئٌ فَلَا يَضُرُّ

Maka tidak dianggap sah wudu yang bersamaan dengan adanya penghalang. Dan termasuk penghalang adalah wujud tinta, lilin dan kutek. Berbeda halnya jika hanya bekas, yaitu sebatas warna yang sekira jika digosok tidak menghasilkan suatu apapun maka tidak berbahaya terhadap keabsahan wudu”. (Muhammad bin Abdullah Al-Jurdany, Fath al-Alam bi Syarhi Mursyidil Anam, [Beirut, Dar-Ibnu Hazm, 1997] vol I, hal.194.)

Hemat penulis, konklusi yang dapat diambil dari diskursus di atas adalah bahwa pada dasarnya setiap make up yang digunakan terlau tebal dan berpotensi mencegah sampainya air pada kulit, dapat menghalangi keabsahan wudu seseorang. Dan sebaliknya, jika make up yang digunakan tidak menyisakan bentuk jirim (kasat mata) atau hanya tersisa bekasnya saja, maka tidak menghalangi sampainya air pada anggota wudu dan wudunya dianggap sah.

Sehingga hal yang selalu perlu kita lakukan, khususnya kaum hawa adalah memperhatikan apakah make up yang menempel pada wajah kita masih memiliki tekstur tersendiri sehingga dapat mencegah sampainya air pada kulit atau sebatas bekas warna yang menempel belaka. 

Wallahu a’lam.

Editor: Muhammad Khoirul Wafa. Santri Ma’had Ali Lirboyo angkatan 2020 M. Tinggal di Wonosobo.