Home Fiqih Hukum Jenazah (Muslim) Dikuburkan Secara Non Islam

Hukum Jenazah (Muslim) Dikuburkan Secara Non Islam

0
Dikuburkan Secara Non Islam

Muallaf adalah seorang yang baru memeluk Agama Islam dikarenakan mendapat hidayah dari Allah SWT. Tidak jarang seorang muallaf karena membela aqidah dan keyakinannya dikucilkan bahkan dimusuhi oleh keluarganya yang berbeda agama, karena banyak sanak saudara dari muallaf tersebut yang masih memegang teguh aqidah agama non Islam yang mengharapkan agar si muallaf kembali ke agama asal. Bahkan ketika si muallaf meninggal urusan merawat jenazah dan mengkuburkannya pihak keluarga yang bukan muslim bersikeras agar jenazah dirawat dan dikuburkan sesuai agama asal si muallaf.

Bagaimanakah hukumnya muallaf  yang meninggal dunia dan jenazahnya dirawat serta dikuburkan secara non Islam karena permintaan pihak keluarga ?

Untuk memandikan dan mengkafani sudah dianggap cukup. Sedangkan mensholati dan memakamkan belum mencukupi.

Catatan :

  • Tercukupinya memandikan jenazah oleh orang non muslim dengan meratakan air suci dan mensucikan keseluruh tubuh jenazah, karena tujuan dari memandikan sudah tercapai yaitu membersihkan tubuh jenazah.
  • Tercukupinya mengkafani jenazah dengan tertutupnya aurot
  • Belum tercukupinya mensholati jenazah karena belum ada pelaksanaan sholat jenazah
  • Belum tercukupinya memakamkan jenazah karena tidak menghadapkan jenazah kearah qiblat.

NB : Sesuai dengan arahan sail bahwa yang dikehendaki non muslim sebagaimana dalam deskripsi adalah agama nasrani.

Bagaimana sikap kaum muslimin di wilayah tersebut jika merawat jenazah dan mengkuburnya secara non Islam tidak diperbolehkan ?

Mengupayakan mengurus jenazah secara islami dengan cara melapor pada aparat setempat. Bila tidak memungkinkan untuk mengupayakannya, maka untuk sholat dapat dilakukan dengan cara sholat ghoib baik sebelum atau sesudah dimakamkan, namun memakamkan jenazah sebelum disholati hukumnya tidak boleh dan bila sudah terlanjur maka bisa sholat diatas makam.

Memakamkan jenazah muslim wajib menghadapkan kearah qiblat, jika tidak demikian, mengikuti pendapat al Qodli abu Toyyib yang mengatakan bahwa hukum menghadapkan mayyit kearah qiblat adalah sunnah.

Baca Juga: Kumpulan Artikel Hukum Islam dan File Bahtsul Masail


Judul Asli: Merawat Jenazah Muallaf (MWC NU Mojowarno)

Keputusan Bahtsul Masail Putaran Ke II LBM PCNU Jombang
di Masjid Jami’ Al Ikhlas, Mojowangi, Mojowarno, Jombang
28 Januari 2018 M

Klik Untuk Referensi Lengkap

Referensi Jawaban ke-1:

سَفِيْنَةِ النَّجَا (ص: 237)

(فصل) الَّذِي يَلْزَمُ لِلْمَيِّتِ أَرْبَعُ خِصَالٍ غُسْلُهُ وَتَكْفِيْنُهُ وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ وَدَفْنُهُ

Terjemah :
Kewajiban terhadap orang mati ada empat, yaitu memandikan, mengkafani, mensholati dan memakamkan

حَاشِيَتاَ قَلْيُوْبِيّ وَعُمَيْرَةَ (1/ 376)

(وَأَقَلُّ الْغُسْلِ تَعْمِيمُ بَدَنِهِ) مَرَّةً (بَعْدَ إزَالَةِ النَّجَسِ) عَنْهُ إنْ كَانَ، كَذَا فِي الرَّوْضَةِ كَأَصْلِهَا أَيْضًا فَلَا يَكْفِي لَهُمَا غَسْلَةٌ وَاحِدَةٌ، وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى مَا صَحَّحَهُ الرَّافِعِيُّ فِي الْحَيِّ أَنَّ الْغَسْلَةَ لَا تَكْفِيهِ عَنْ النَّجَسِ وَالْحَدَثِ، وَصَحَّحَ الْمُصَنِّفُ أَنَّهَا تَكْفِيهِ كَمَا تَقَدَّمَ فِي بَابِ الْغُسْلِ، وَكَأَنَّهُ تَرَكَ الِاسْتِدْرَاكَ هُنَا لِلْعِلْمِ بِهِ مِنْ هُنَاكَ (وَلَا تَجِبُ نِيَّةُ الْغَاسِلِ) أَيْ لَا تُشْتَرَطُ فِي صِحَّةِ الْغُسْلِ (فِي الْأَصَحِّ) لِأَنَّ الْقَصْدَ بِغُسْلِ الْمَيِّتِ النَّظَافَةُ، وَهِيَ لَا تَتَوَقَّفُ عَلَى نِيَّةٍ وَالثَّانِي يَجِبُ لِأَنَّهُ غُسْلٌ وَاجِبٌ كَغُسْلِ الْجَنَابَةِ فَيَنْوِي عِنْدَ إفَاضَةِ الْمَاءِ الْقَرَاحِ الْغُسْلَ الْوَاجِبَ أَوْ غُسْلَ الْمَيِّتِ ذَكَرَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ (فَيَكْفِي) عَلَى الْأَصَحِّ (غَرَقُهُ) عَنْ الْغُسْلِ (أَوْ غُسْلُ كَافِرٍ) لَهُ

Terjemah :
Paling sedikitnya memandikan orang mati dengan memeratakan air pada seluruh anggota badannya satu kali setelah menghilangkan najis bila ada. Dan dalam memandikan orang mati tidak diwajibkan niat, karena tujuan memandikannya adalah membersihkan tubuh, sehingga pemandian yang dilakukan oleh orang kafir tianggap cukup.

فَتْحُ الْمُعِيْنِ (1/ 91)

(وَ) ثَانِيهِمَا (تَعْمِيْمُ) ظَاهِرِ (بَدَنٍ حَتَّى) الأَظْفَارِ وَمَا تَحْتَهَا وَ (الشَّعَرِ) ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَإِنْ كَثُفَ وَمَا ظَهَرَ مِنْ نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتْ قَبْلَ غَسْلِهَا وَصَمَاخٍ وَفَرْجِ امْرَأَةٍ عِنْدَ جُلُوْسِهَا عَلَى قَدَمَيْهَا وَشُقُوْقٍ (وَبَاطِنِ جُدَرِيٍّ) اِنْفَتَحَ رَأْسُهُ لاَ بَاطِنِ قُرْحَةٍ بَرِئَتْ وَارْتَفَعَ قَشْرُهَا وَلَمْ يَظْهَرْ شَيءٌ مِمَّا تَحْتَهُ وَيَحْرُمُ فَتْقُ الْمُلْتَحِمِ …. الى ان قال …. (بِمَاءٍ طَهُوْرٍ) وَمَرَّ أَنَّهُ يَضُرُّ تَغَيُّرُ الْمَاءِ تَغَيُّرًا ضَارًّا وَلَوْ بِمَا عَلَى الْعُضْوِ خِلَافًا لِجَمْعٍ

Terjemah :
Rukun mandi yang kedua adalah memeratakan seluruh badan dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan

حَاشِيَةُ الْبُجَيْرِمِي عَلَى شَرْحِ الْمَنْهَجِ (1/ 463)

(فَصْلٌ) .فِي تَكْفِينِ الْمَيِّتِ وَحَمْلِهِ (يُكَفَّنُ) بَعْدَ غُسْلِهِ (بِمَا لَهُ لُبْسُهُ) حَيًّا مِنْ حَرِيرٍ أَوْ غَيْرُهُ فَيَحِلُّ تَكْفِينُ أُنْثَى بِحَرِيرٍ وَمُزَعْفَرٍ وَمُعَصْفَرٍ بِخِلَافِ الرَّجُلِ وَالْخُنْثَى إذَا وُجِدَ غَيْرُهَا

(قَوْلُهُ: بِمَا لَهُ لُبْسُهُ) أَيْ: مِمَّا يَجُوزُ لَهُ لُبْسُهُ لَا لِحَاجَةٍ فَلَا يُكَفَّنُ بِالْحَرِيرِ مَنْ لَبِسَهُ لِحَكَّةٍ أَوْ قَمْلٍ بِخِلَافِ مَنْ لَبِسَهُ لِضَرُورَةِ الْقِتَالِ كَمَا قَالَهُ شَيْخُنَا تَبَعًا لِشَيْخِهِ م ر. وَيُقَدَّمُ الْحَرِيرُ عَلَى الْجِلْدِ وَهُوَ عَلَى الْحَشِيشِ وَهُوَ عَلَى الطِّينِ، وَكُلُّ كَفَنٍ نَقَصَ عَنْ جَمِيعِ الْبَدَنِ تُمِّمَ مِمَّا بَعْدَهُ وَيُكَفَّنُ بِالنَّجِسِ بَعْدَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ عَارِيًّا إنْ لَمْ يُوجَدْ نَحْوُ طِينٍ وَسِتْرُ التَّابُوتِ كَالتَّكْفِينِ ق ل عَلَى الْجَلَالِ وَنَقَلَ ح ل عَنْ شَيْخِهِ تَقْدِيمَ الْحِنَّاءِ الْمَعْجُونَةِ عَلَى الطِّينِ.

Terjemah :
Kain kafan orang mati adalah kain yang boleh ia pakai ketika ia masih hidup.

فَتْحُ الْمُعِيْنِ (ص: 215)

وَتَكْفِيْنُهُ بِسَاتِرِ عَوْرَةٍ مُخْتَلِفَةٍ بِالذُّكُوْرَةِ وَالْأُنُوْثَةِ دُوْنَ الرِّقِّ وَالْحُرِّيَّةِ فَيَجِبُ فِي الْمَرْأَةِ وَلَوْ أَمَةً مَا يَسْتُرُ غَيْرَ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَفِي الرَّجُلِ مَا يَسْتُرُ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَالْإِكْتِفَاءُ بِسَاتِرِ الْعَوْرَةِ هُوْ مَا صَحَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِي أَكْثَرِ كُتُبِهِ وَنَقَلَهُ عَنِ الْأَكْثَرِيْنَ لِأَنَّهُ حَقٌّ للهِ تَعَالَى وَقَالَ آخَرُوْنَ يَجِبُ سَتْرُ جَمِيْعِ الْبَدَنِ وَلَوْ رَجُلًا

Terjemah :
Wajib mengkafani orang mati dengan penutup aurot yang disesuaikan jenis kelaminya, maka bagi mayit perempuan wajib penutup selain wajah dan kedua telapak tangan, dan bagi mayit laki-laki wajib penutup anggota antara pusar dan lutut. Pendapat ini adalah pendapat yang di tashhih oleh Imam Nawawi dalam kebanyakan kitabnya dan ia nuqil dari banyak Ulama, karena merupakan hak yang berkaitan dengan Allah SWT. Dan Ulama yang lain berpendapat wajib menutup seluruh badan mayit meskipun mayit laki-laki.

أَسْنَى الْمَطَالِبِ فِي شَرْحِ رَوْضِ الطَّالِبِ (1/ 326)

(وَالِاسْتِقْبَالُ بِهِ) الْقِبْلَةَ (وَاجِبٌ) تَنْزِيلًا لَهُ مَنْزِلَةَ الْمُصَلِّي

Terjemah :
Dalam pemakaman wajib menghadapkan orang mati kearah kiblat, karena menempatkannya seperti orang shalat.

Referensi Jawaban ke-2:

مُغْنِي الْمُحْتَاجِ إِلَى مَعْرِفَةِ مَعَانِي أَلْفَاظِ الْمِنْهَاجِ (4/ 210)

(وَ) مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ (الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ) مِنْ وَاجِبَاتِ الشَّرْعِ (وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ) …. الى ان قال ….. وَالْإِنْكَارُ يَكُونُ بِالْيَدِ. فَإِنْ عَجَزَ فَبِاللِّسَانِ، وَيَرْفُقُ بِمَنْ يَخَافُ شَرَّهُ وَيَسْتَعِينُ عَلَيْهِ إنْ لَمْ يَخَفْ فِتْنَةً، فَإِنْ عَجَزَ رَفَعَ ذَلِكَ إلَى الْوَالِي. فَإِنْ عَجَزَ أَنْكَرَ بِقَلْبِهِ

Terjemah :
Tahapan melakukan inkar, pertama menggunakan tangan, kemudian lisan. Dan apabila tidak mampu, maka melapor pada aparat setempat

نِهَايَةُ الْمُحْتَاجِ إِلَى شَرْحِ الْمِنْهاَجِ (2/ 485)

وَلَوْ تَعَذَّرَ عَلَى مَنْ فِي الْبَلَدِ الْحُضُورُ لِحَبْسٍ أَوْ مَرَضٍ لَمْ يَبْعُدْ جَوَازُ ذَلِكَ كَمَا بَحَثَهُ الْأَذْرَعِيُّ، وَجَزَمَ بِهِ ابْنُ أَبِي الدَّمِ فِي الْمَحْبُوسِ لِأَنَّهُمْ قَدْ عَلَّلُوا الْمَنْعَ بِتَيَسُّرِ الذَّهَابِ إلَيْهِ،

Terjemah :
Apabila seseorang di daerah sulit untuk hadir karena dipenjara atau sakit, maka diperbolehkan melakukan sholat ghoib

نِهَايَةُ الْمُحْتَاجِ إِلَى شَرْحِ الْمِنْهاَجِ (2/ 485)

وَقَدْ أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ أَجَازَ الصَّلَاةَ عَلَى الْغَائِبِ بِأَنَّ ذَلِكَ يُسْقِطُ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إلَّا مَا حُكِيَ عَنْ ابْنِ الْقَطَّانِ، وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّ السُّقُوطِ بِهَا حَيْثُ عَلِمَ بِهَا الْحَاضِرُونَ

Terjemah :
Para Ulama yang memperbolehkan sholat ghoib sepakat bahwa sholat ghoib bisa menggugurkan fardlu kifayah, kecuali pendapat yang diceritakan dari Ibnu Al Qhotthon. Dan gugurnya fardlu kifayah ketika orang-orang mengetahuinya

تُحْفَةُ الْمُحْتَاجِ (3/ 150)

(وَيَجِبُ تَقْدِيمُهَا) أَيْ الصَّلَاةِ (عَلَى الدَّفْنِ) لِأَنَّهُ الْمَنْقُولُ فَإِنْ دُفِنَ قَبْلَهَا أَثِمَ كُلُّ مَنْ عَلِمَ بِهِ وَلَمْ يُعْذَرْ وَتَسْقُطُ بِالصَّلَاةِ عَلَى الْقَبْرِ (وَتَصِحُّ) الصَّلَاةُ (بَعْدَهُ) أَيْ الدَّفْنِ لِلِاتِّبَاعِ قِيلَ: يُشْتَرَطُ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ الْمَيِّتِ اهـ وَفِيهِ نَظَرٌ لِأَنَّ عَجْبَ الذَّنَبِ لَا يَفْنَى كَمَا هُوَ مُقَرَّرٌ فِي مَحَلِّهِ

Terjemah :
Wajib mendahulukan sholat atas pemakaman, namun sholat diatas makam hukumnya sah dan bisa menggugurkan kewajiban.

اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ الْمُهَذَّبِ (5/ 293)

وَقَالَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ فِي كِتَابِهِ الْمُجَرَّدِ اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ بِهِ مُسْتَحَبٌّ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَالصَّحِيحُ الْأَوَّلُ وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُضْجَعَ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ فَلَوْ أُضْجِعَ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْسَرِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ جَازَ وَكَانَ خِلَافَ الْأَفْضَلِ لِمَا سَبَقَ فِي الْمُصَلِّي مُضْطَجِعًا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Terjemah :
Dalam kitan Al Mujarrod Al Qodli Abu Al Thoyyib berpendapat bahwa menghapadkan orang mati kearah kiblat hukumnya tidak wajib

Ilustrasi: pixabay