Home Fiqih Shalat Hadiah, Hukum, Cara dan Keutamaannya (Hujjah-5)

Shalat Hadiah, Hukum, Cara dan Keutamaannya (Hujjah-5)

2
shalat hadiah

Oleh: Ahmad Muntaha AM

Di antara masalah yang disinggung oleh KH. Ali Maksum dalam pembahasan hadiah pahala pada kitab Hujjah Ahlussunnah wal Jama’ah (8-10) adalah Shalat Hadiah. Yaitu shalat dua rakaat yang dihadiahkan kepada mayit dalam rangka mengupayakan kenyamanan di kuburnya.

Shalat Hadiah Perspektif KH. Ali Maksum dan Syaikh Nawawi Banten

Shalat yang juga popular dengan nama Shalat Anisil Qabri termasuk salah satu shalat ala sufi yang memang dipertentangkan keabsahannya oleh ulama. Dalam konteks ini Kiai Ali Ma’shum termasuk ulama yang menyetujui legalitasnya.  Beliau mengutip keterangan dari Syaikh Nawawi Banten (w. 1316 H/1898 M) dalam kitab Nihayah az-Zain yang menganggapnya sebagai salah satu dari sekian banyak shalat sunnah.

Teknis dan Keutamaan Shalat Hadiah

Selain itu, Kiai Ali Maksum juga mengutip hadits yang menjelaskan teknis detail dan keutamaannya. Di antaranya disebutkan , hendaknya orang mewujudkan rasa belas kasih kepada mayit dengan meringankan beban kuburnya pada hari pertamannya, yaitu dengan bersedekah. Bila tidak bisa maka dengan shalat dua rakaat dengan membaca al-Fatihah 1 x, ayat Kursi 1 x, at-Takatsur 1 x dan al-Ikhlas 11 x setiap rakaatnya. Kemudian berdoa:

اَللهم إِنِّي صَلَّيْتُ هَذِهِ الصَّلَاةَ وَتَعْلَمُ مَا أُرِيدُ. اَللهم ابْعَثْ ثَوَابَهَا إِلَى قَبْرِ فُلَانِ ابْنِ فُلَانٍ.

“Ya Allah, sungguh aku melaksanakan shalat ini dan Engkau tahu apa yang ku kehendaki. Ya Allah, kirimkanlah pahalanya ke kuburan Fulan bin Fulan.”

Kemudian juga disebutkan keutamannya, yaitu bila shalat tersebut dilakukan maka pada saat itu pula Allah akan mengirimkan ke kubur mayit yang dimaksud 1.000 malaikat yang masing-masing membawa cahaya dan hadiah yang dapat membuatnya nyaman sampai hari kiamat.

Selain itu, pelakunya akan mendapatkan pahala yang sangat besar, yaitu tidak akan keluar dari dunia hingga melihat tempatnya di surga. Karenanya ada pula ulama yang menyatakan, sangat beruntung orang yang melakukannya setiap malam dan menghadiahkan pahalanya kepada seluruh orang Islam yang sudah meninggal.

Baca Juga: Hadiah Pahala Untuk Mayit Menurut Ibn Taimiyah (Hujjah-2)

 Pendapat Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

Namun demikian, shalat ini diperselisihkan, bahkan ditentang secara cukup keras oleh Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pendiri NU. Argumentasi beliau sebagaimana terdokumentasikan dalam buku NU Menjawab (I/12-17) adalah:

  1. Tidak ada dasarnya dalam syariat. Terbukti dalam kitab-kitab fikih yang mu’tabar (otoritatif) semisal Taqrib, Fath al-Mu’in dan semisalnya tidak disebutkan.
  2. Haditsnya berstatus maudhu’ (palsu).

Karenanya menurut Kiai Hasyim, tidak boleh mengajak-ajak orang lain atau melakukannya sendiri.

Namun demikian, banyak pula kalangan Nahdliyyin yang tetap melakukannya. Lalu bagaimana kita menyikapinya?

Legalitas Shalat Hadiah

Dalam hal ini, Ibn Hajar al-Haitami (Tuhfah al-Muhtaj, II/238) ulama fikih Syafi’iyah yang sebenarnya juga termasuk penentang shalat-shalat ala sufi, secara jernih menyampaikan:

نَعَمْ إنْ نَوَى مُطْلَقَ الصَّلَاةِ ثُمَّ دَعَا بَعْدَهَا بِمَا يَتَضَمَّنُ نَحْوَ اسْتِعَاذَةٍ أَوْ اسْتِخَارَةٍ مُطْلَقَةٍ لَمْ يَكُنْ بِذَلِكَ بَأْسٌ.

“ … Ya shalat-shalat ala sufi itu tidak boleh dilakukan, namun bila orang niat shalat sunnah mutlak kemudian setelahnya berdoa dengan doa yang mengandung semacam permohonan perlindungan atau istikharah secara mutlak, maka hal itu tidak mengapa (boleh dilakukan).

 Bahkan lebih lanjut, mengutip penjelasan Syaikh Bashri, Muhammad Abdul Hamid as-Syirwani (w. 1301 H/1884 M) pakar fikih Syafi’iyyah asal kota Shirvan, Azerbaijan—negeri di Kaukasus persimpangan Eropa dan Asia Barat Daya sebelah selatan Rusia—yang kemudian berkarir dan meninggal di Makkah, dalam catatannya atas kitab Tuhfah al-Muhtaj (Hasyiyyah as-Syirwani ‘ala at-Tuhfah, II/238) menjelaskan, bahwa maksud niat shalat para sufi yang tidak termaktub dalam kitab-kitab fikih dalam perspektif mereka adalah motif pemicu (ba’its) melakukan shalat tersebut, bukan niat yang dimaksud dalam istilah para alim fikih yang dilakukan bersamaan takbiratul ikhram.

Memahami niat shalat khas para sufi dalam konteks semacam ini lebih utama daripada mengkritik atau bahkan mencela mereka. Pemahaman para sufi ini juga diperkuat dengan hadits shahih yang merekam bahwa Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam— pun sering melakukan shalat sunnah ketika menghadapi berbagai hal besar yang selayaknya memerlukan doa spesial, sebagaimana diriwayatkan oleh Sahabat Hudzaifah—radhiyallahu ‘anhu—:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى. (رواه أحمد. صحيح)

“Biasanya ketika mendapatkan urusan yang berat Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—segera melakukan shalat.” (HR. Ahmad. Shahih)

Penjelasan as-Syirwani sesuai pula dengan firman Allah—subhahanu wa ta’ala—:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ. (البقرة: 45)

“Dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan kesabaran dan shalat. Sungguh shallat sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusu’.” (QS. Al-Baqarah: 45)

Kesimpulan

Dari sini menjadi jelas, bahwa Shalat Hadiah dan shalat ala ulama sufi lainnya meskipun tidak dijelaskan dalam kitab-kitab fikih hukumnya boleh dilaksanakan selama diniati sebagai shalat sunnah mutlak, kemudian diiringi dengan doa sesuai urusan penting yang dihadapi.

Baca Juga: Hadiah Pahala Untuk Mayit

Selain itu juga terdapat hikmah untuk tidak secara serampangan menyalahkan para ulama, kiai dan masyarakat luas yang menjalankan suatu ibadah yang kadang terasa asing bagi kita, namun sebenarnya mempunyai dasar agama yang melegalkannya. Wallahu a’lam.


Sumber:

  1. Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawi al-Jawi, Nihayah az-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), 107.
  2. Tim PW LBM NU Jawa Timur, NU Menjawab Problematika Umat; Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur (1979-2009), (Surabaya: PW LBM NU Jawa Timur, 2015), Edisi: Ahmad Muntaha AM, I/12-17.
  3. Ahmad Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj pada Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj, (Mesir: Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, tth.), II/238.
  4. Abdul Hamid as-Syirwani, Hasyiyah as-Syirwani pada Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj, (Mesir: Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, tth.), II/238.
  5. Muhammad bin Abdullah at-Tibrizi, Misykah al-Mashabih, IV/729.

Ilustrasi: imagologi

2 COMMENTS

  1. Maaf, di atas tertulis: abdul majid asy-syirwani. Yang benar adalah abdul hamid, seperti yang tertulis pada footnote

Comments are closed.