Home Fiqih Shalat Jumat Dalam Kondisi New Normal

Shalat Jumat Dalam Kondisi New Normal

0
Shalat Jumat Dalam Kondisi New Normal

Hasil Bahtsul Masail Lembaga Bahtsul Masail PBNU
Jakarta, 5 Juni 2020

Pandangan Fikih tentang Pelaksanaan Shalat Jum’at dalam Kondisi New Normal

Penularan virus covid 19 masih terus terjadi. Belum kelihatan bahwa persebaran virus akan segera berakhir, bahkan di sebagian daerah menunjukkan adanya grafik kenaikan orang-orang yang terjangkit virus covid 19. Sejumlah daerah yang beberapa bulan lalu masih masuk zona kuning sekarang sudah naik menjadi zona merah–jumlah orang yang terpapar virus meningkat sangat tajam.

Sementara di sisi lain, dampak ekonomi dari persebaran virus ini juga perlu mendapatkan perhatian. Jangan sampai virus covid 19 ini memukul bangsa Indonesia dari sudut kesehatan dan dari sudut ekonomi secara sekaligus. Untuk tujuan itu, pemerintah menganjurkan agar masyarakat Indonesia mulai mengadaptasikan diri dengan virus covid 19 ini. Artinya, masyarakat bisa tetap menjalankan aktivitas perekonomian dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, di antaranya dengan menjaga jarak antar orang dan pakai masker. Itulah yang disebut dengan new normal.

Tak hanya aktivitas perekonomian yang perlu menyesuaikan diri, melainkan juga aktivitas keagamaan. Kaidah fikih menyatakan:

Dalam konteks new normal ini, maka bagaimana misalnya melaksanakan shalat jum’at yang meniscayakan berjemaah? Apakah dimungkinkan umat Islam memperbanyak ruang-ruang pelaksanaan shalat jum’at ()تعدد الجمعة فى محلین أو محال dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan? Atau bahkan, bisakah melaksanakan shalat jum’at secara bergelombang/bergantian di satu tempat تعددالجمعةفىمحلواحدأومسجدواحد

Ada dua hal yang penting diketahui terlebih dahulu. Pertama, bahwa di samping berbasis individu ( ),فردي shalat Jum’at sesungguhnya juga berbasis komunitas ( ).جماعي Artinya, secara individual, setiap individu muslim harus shalat Jum’at. Dengan demikian, seseorang yang tidak shalat Jum’at, maka dosanya hanya ditanggung oleh yang bersangkutan. Dan secara sosial, shalat Jum’at mengandung nilai syi’ar. Karena itu, masyarakat Islam yang tidak mendirikan shalat Jum’at akan mendapatkan dosa kolektif.

Kedua, menurut jumhur fuqaha ( ),من الائمة و الاصحاب shalat Jum’at harus dilaksanakan satu kali di satu tempat di setiap kawasan, desa atau kota. Ini artinya, menurut jumhur, tidak boleh ada shalat Jum’at lebih dari satu kali ( عدم جواز تعدد),الجمعة baik di tempat yang sama maupun tempat yang berbeda. Sebab, kalau ta’addud al-jum’at itu terjadi, maka yang sah hanya shalat Jum’at yang pertama.

Namun, ketidak-bolehan ta’addud al-jum’at ini tidak bersifat mutlak. Para ulama mengajukan beberapa alasan dibolehkannya ta’addud al-jum’at di banyak tempat. Pertama, keterbatasan daya tampung tempat shalat Jum’at. Kedua, adanya pertikaian ( )وجود النزاعyang tak memungkinkan dilaksanakannya shalat Jum’at di satu tempat. Ketiga, jauhnya jarak ( )بعد المسافة antara penduduk yang tinggal di ujung sebuah kawasan (balad) dengan masjid yang menjadi tempat shalat Jum’at.

Pandangan fikih ulama terdahulu itu bisa dijadikan acuan hukum perihal pelaksanaan shalat Jum’at di era new normal ini. Secara teknis, umat Islam misalnya bisa memanfaatkan musalla-musalla yang selama ini hanya dipakai sebagai tempat shalat maktubah menjadi tempat shalat Jum’at. Ini karena pelaksanaan shalat Jumat tidak harus dilakukan di masjid sebagaimana pendapat mayoritas ulama.

Namun, persoalan berikutnya muncul. Misalnya bagaimana jika tak ditemukan tempat lain yang memungkinkan untuk ditempati shalat jum’at? Bolehkah mendirikan shalat jum’at secara bergelombang di satu tempat? Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama, ulama yang mengacu pada ketentuan ( )ضابط berikut: Dalam kondisi darurat di mana lokasi jum’atan yang ada hanya bisa menampung sebagian jama’ah akibat penerapan phyisical distancing dan secara riil tidak ditemukan lokasi lain yang bisa ditempati shalat jum’at, maka dibolehkan mendirikan shalat jum’at secara bergelombang/bergantian.

Dhobith atau acuan tersebut masih bersifat normatif dan umum (.)تخریجالمناط Karena itu, untuk melaksanakan shalat bergelombang dibutuhkan verifikasi lapangan ( ).تحقیقالمناط Ini untuk memastikan bahwa suatu kawasan sudah memenuhi syarat bagi dilaksanakannya ta’addud al-jum’at di satu kawasan. Sebab, ta’addud aljum’at di satu kawasan ini hanya bisa dilaksanakan dalam kondisi darurat atau atas dasar kebutuhan yang mendesak ().الحاجةالملحة

Dan sekiranya shalat jum’at secara bergelombang itu dilaksanakan, maka ia harus mempertimbangkan hal berikut. Pertama, jumlah orang yang ikut shalat Jum’at pada setiap gelombang harus dipastikan tak kurang dari 40 orang, sebagaimana dipersyaratkan para ulama terkuat.

Kedua, karena dilaksanakan dalam kondisi darurat, maka jumlah gelombang pelaksanaan Jum’atan itu harus berdasarkan kebutuhan. Artinya, jika pelaksanaan shalat Jum’at cukup dilakukan dengan dua gelombang, maka tak boleh membuat gelombang ketiga dan seterusnya. Kaidah fikih mengatakan:

Pendapat Kedua, sebagian ulama berpendapat demikian; sekiranya ta’ddud al-jum’ah di banyak tempat tak memungkinkan, maka solusinya bukan dengan mendirikan shalat Jum’at secara bergelombang di satu tempat, melainkan mempersilahkan umat Islam yang tidak mendapatkan kesempatan shalat Jum’at di satu tempat untuk shalat zuhur di rumah masing-masing. Dengan ini, target pelaksanaan shalat Jum’at di satu wilayah sudah terpenuhi, sementara mereka yang tak kebagian shalat Jum’at di tempat itu dianggap sebagai orang uzur (ma’dzur) yang berhak mendapatkan dispensasi hukum (rukhsoh). Pendapat ini didasarkan pada keumuman teks “man lahu ‘udzrun” dalam pernyataan Imam Syafi’i berikut:

Pandangan fikih di atas bisa menjadi acuan umat Islam dalam melaksanakan shalat Jum’at bagi umat Islam di daerah yang persebaran virus covid 19 telah terkendali dan sudah memberlakukan kehidupan new normal. Namun, bagi umat Islam yang tinggal di zona merah virus covid 19, maka mereka bisa tetap merujuk pada pandangan LBM PBNU sebelumnya, yaitu umat Islam dilarang melakukan aktivitas berkumpul termasuk melaksanakan shalat Jum’at ( )ترك الجمعة بالكلیة yang menyebabkan tersebarnya virus covid 19. Sekali lagi, pelarangan bukan pada shalat
Jum’atnya melainkan pada aktivitas berkumpulnya
().أمر خارجى

Baca Juga: Kumpulan Hasil Bahtsul Masail

Demikian hasil bahtsul masail tentang Pelaksanaan Shalat Jum’at dalam Kondisi New Normal ini disampaikan untuk menjadi pegangan warga NU khususnya serta umat Islam Indonesia umumnya. Seraya berdoa, meminta pertolongan Allah SWT, semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
segera bebas dari pandemi Covid-19

– Download File Hasil Bahtsul Masail Disini –


Photo by Pixabay from Pexels