Home Fiqih Dilema Puasa Rajab: Tidak Dilakukan Meninggalkan Sunnah, Dilakukan Malah Makruh

Dilema Puasa Rajab: Tidak Dilakukan Meninggalkan Sunnah, Dilakukan Malah Makruh

0
Diskusi super sehat

Seorang kawan saya menelpon. Dia bimbang. “Besok jadi puasa Rajab atau tidak ya, enaknya?”

Memang masyarakat di desa sudah mulai memperbincangkan bulan Rajab, yang tanggal satunya jatuh pada Sabtu besok pagi. Hatinya dilanda dilema: Tidak puasa, nanti meninggalkan sunah. Kalau puasa, ada yang bilang haram berpuasa di hari Sabtu.

Pertama-tama, perlu saya tegaskan bahwa kesunahan berpuasa pada bulan Rajab—terlepas dari perdebatan bid’ah, status hadis dlaif ataupun maudlu‘—sudah cukup kuat dalam redaksi Syafi’iyah melalui pendekatan beberapa dalil. Di antaranya, bulan Rajab termasuk dari bulan yang dimaksud Nabi dengan istilah “asyhur al-hurum”. Juga jelas perintah Nabi akan kesunahan berpuasa pada setiap awal, akhir dan pertengahan bulan—tepatnya tanggal 13, 14, 15 yang kemudian disebut “ayyam al-bidl”. 

Al-Ghazali menyinggung itu dalam Ihya’-nya, bahwa kesunahan berpuasa bervarian macamnya. Datangnya kesunahan berpuasa ada yang bersifat bulanan, ada pula yang bersifat mingguan.

وأما ما يتكرر في الشهر فأول الشهر وأوسطه وآخره ووسطه الأيام البيض وهي الثالث عشر والرابع عشر والخامس عشر وأما في الأسبوعفالإثنين والخميس والجمعة فهذه هي الأيام الفاضلة فيستحب فيها الصيام وتكثير الخيرات لتضاعف أجورها ببركة هذه الأوقات. إحياء علوم الدين – (ج 1 / ص 237)

Adapun puasa sunah yang berulang dalam setiap bulan adalah awal, tengah, dan akhir bulan. Puasa tengah bulan adalah ayyam al-bidl, yakni puasa setiap tanggal 13, 14, dan 15. Adapun puasa sunah tiap pekan, adalah hari Senin, Kamis dan Jumat. Inilah waktu-waktu utama yang disunahkan di dalamnya untuk berpuasa dan banyak-banyak berbuat baik, agar pahalanya berlipat ganda dengan berkah waktu-waktu tersebut. (al-Ghazali, Ihyau Ulum ad-Din, vol. 1 hlm. 237.)

Maka dari sini puasa bulan Rajab besok pagi sangat disunahkan. Pertama karena ada di awal bulan, kedua karena bulan Rajab termasuk bulan-bulan mulia.

Namun satu masalah kemudian muncul di benak saya: bukankah ifrad al-jum’ah bi as-shaum (hanya puasa di hari Jumat saja), juga di hari Sabtu dan Ahad saja, adalah hal yang dimakruhkan oleh mayoritas Syafi’iyah?

Pertama, untuk puasa khusus hari Jumat, makruh karena hakikat puasa adalah melemahkan rasa semangat dalam beribadah. Orang puasa faktanya suka tidur, mager dan lain sebagainya. Padahal hari Jumat adalah waktu yang tepat untuk memperbanyak pahala. Persis dengan alasan kenapa jamaah haji tidak disunahkan puasa di hari Arafah. Jauh-jauh ke mekah untuk haji, eh pas Arafah tidur karena lemes sebab berpuasa. Hehe.

Adapun hari Sabtu dimakruhkan juga, sebab hari Sabtu adalah hari raya umat Yahudi. Sementara hari Ahad juga dimakruhkan berpuasa karena hari Ahad adalah iednya umat Nasrani. Mereka sangat mengagungkan, bahkan berpuasa khusus hari itu. Sementara Nabi Saw. tidak suka meniru adat mereka. Alasan inilah yang membuat puasa di hari Sabtu saja maupun Ahad saja dimakruhkan. Ingat ya,  “makruh”. Tidak sampai haram seperti yang dibilang orang kampung saya di atas. Hehe.

Lalu, bagaimana dengan puasa Sabtu besok, tetap sunah atau gimana?

Menurut saya, besok tetap disunahkan puasa Rajab dengan berbagai alasan yang disebutkan. Tapi, jangan lupakan kemakruhan berpuasa hanya di hari Sabtu saja. Maka dari itu, jangan puasa cuma sehari saja. Ditambah dua hari kek, sampai Senin atau sampai akhir bulan juga ndak papa. Kalau cuma puasa besok saja, nanti malaikatnya bingung: dapat pahala puasa sunah Rajab, tapi juga dapat hukum makruh ifrad as-sabt bi as-shaum. Nahloh.

Atau gimana kalo ikut saya saja. Besok ndak usah puasa. Diniati menghindari kemakruhan berpuasa tadi. Asli berpahala tanpa ada kemakruhan. Gimana?

Penulis: Muhammad Aqil, alumni PP Lirboyo (2017), Kediri. Tinggal di Sumenep, Jawa Timur. Aktif di berbagai kegiatan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama.