Home Fiqih Ada Anak Durhaka, Apakah juga Ada Orang Tua Durhaka?

Ada Anak Durhaka, Apakah juga Ada Orang Tua Durhaka?

0

Kita sering mendengar istilah anak durhaka. Anak yang tidak taat, patuh ataupun tidak memperlakukan orang tuanya dengan baik, akan dilabeli dengan “durhaka”. Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadis yang menjelaskan kewajiban berbuat baik terhadap orang tua. Bahkan ketika berbeda keyakinanpun, anak tetap wajib untuk berbuat baik terhadap orang tuanya.

Kewajiban ini pun disertai dengan ancaman serius. Seretnya rejeki, karma yang berbalik, suulkhatimah, dan ujung-ujungnya masuk neraka. Narasi agama seperti ini menggambarkan betapa anak tidak punya hak apa-apa terhadap dirinya ketika dihadapkan dengan orang tua. Apapun yang terjadi, anak harus selalu berada dalam posisi mengabdi, melayani dan ‘mendewakan’ orang tua. 

Namun sebagai orang tua pernahkah terpikir, apakah kita layak mendapatkan perlakuan seperti itu dari anak-anak? Sudahkah kita menjalankan amanat sebagai orang tua secara baik? Sudahkah kita memberikan hak anak-anak seperti yang seharusnya mereka dapatkan? Atau malah selama ini kita terlalu percaya diri dan terlena dengan ajaran bahwa orang tua memang selayaknya diagungkan seperti itu. Demikian pula dengan ajaran bahwa perjuangan dan pengorbanan orang tua untuk anak tidak akan mampu terbalas hanya dengan birrul walidain mereka. 

Baca juga: Dilema Orang Tua Menafkahi Anak

Ulama besar kelahiran Khurasan, Imam Abul Laits As-Samarqandi (wafat 373 H), dalam kitab Tanbihul Ghafilin mengutip riwayat Abu Hurairah r.a. di mana Nabi Muhammad saw. bersabda:

حقُّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهُ إِذَا وَلَدَ وَيُعَلِّمَهُ الْكِتَابَ إِذَا عَقَلَ وَيُزَوِّجَهُ إِذَا أَدْرَكَ. (رواه أبو الليث السمرقندي)

“Hak anak yang harus dilaksanakan oleh orangtua (ada tiga), yaitu memberinya nama yang baik ketika lahir, mengajarinya Al-Qur’an ketika berakal, dan menikahkannya ketika telah dewasa (baligh).”(HR. Abul Laits As-Samarqandi) 

Dalam kesempatan lain Imam Abu Laits mengisahkan seorang lelaki yang mengadukan kelakuan anaknya kepada sayyidina Umar bin Khattab r.a. Beliau pun menghadirkan anak itu kehadapannya dan memperingatkannya agar tidak durhaka terhadap orang tua. Tak terduga, anak tersebut berkata kepadanya: 

“Wahai Amirul Mukminin, apakah seorang anak tidak mempunyai hak yang wajib dipenuhi oleh ayahnya?” Sayyidina Umar r.a. pun menjawab, “Ya, haknya yang harus dipenuhi oleh ayahnya adalah memilihkan ibu yang baik—maksudnya ayahnya tidak menikahi perempuan yang hina agar anaknya kelak tidak menghinanya—, memberinya nama yang baik dan mengajarinya Al-Qur’an.” 

Sejurus kemudian anak itu berkata, “Demi Allah, dia tidak memilihkan untukku ibu yang baik. Ia hanya seorang budak yang dibelinya seharga 400 dirham. Dia tidak memberiku nama yang baik, aku dinamainya dengan  ‘kelelawar’, dan aku tidak diajari Al-Qur’an walau satu ayat.” 

Sayyidina Umar r.a. pun menoleh kepada ayahnya dan menghardik, “Kamu telah berkata bahwa anakmu durhaka kepadamu. Sungguh sebenarnya kamu telah durhaka kepadanya sebelum ia durhaka kepadamu. Menyingkirlah dariku.” (Abul Laits Nashr bin Muhammad al-Hanafi as-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, [Manshurah, Maktabatul Aiman: 1415 H/1994 M], tahqiq: As-Sayyidul ‘Arabi, cetakan pertama, hlm. 95).

Baca juga: Calon Suami Pilihan Orang Tua

Dari hadis dan kisah di atas dapat diambil hikmah, bahwa tidak hanya anak yang berkewajiban untuk birrul walidain terhadap orang tua. Namun orang tua pun juga wajib memenuhi hak-hak anak  anak sebaik mungkin baik dari aspek nama, pendidikan dan pernikahannya, seiring firman Tuhan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ، عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (التحريم : 6)

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”  (QS. At-Tahrim: 6)

Artinya, bila seseorang telah ditakdirkan menjadi orang tua dan diberi amanat berupa anak oleh Allah Ta’ala, maka ia wajib menjaganya dari api neraka. Baik buruknya tergantung bagaimana cara orang tua mendidiknya. Keselamatan dunia akhiratnya terletak pada pondasi awal yang dibangun orang tua dalam dirinya. Bukannya kelak di akhirat orang tua akan dimintai pertanggungjawaban atas amanat yang telah dibebankan oleh Allah swt. kepadanya? Nabi saw. bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتهِ. اَلْإمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، والرَّجُلُ رَاعٍ في أَهْلِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأةُ رَاعِيَةٌ في بيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، … (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pemimpin negara adalah pemimpin bagi warganya dan akan ditanya dari kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan ditanya dari kepemimpinanya. Istri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Karena itu, alangkah baiknya orang tua selalu introspeksi, membenahi diri dan terus belajar meningkatkan ilmu dan ibadah, utamanya yang berkaitan dengan pendidikan dan masa depan anak. Bukan justru jumawa menjadi orang tua yang ingin disegani oleh anak-anak hanya karena beban kewajiban mereka.

Orang tua tidak boleh sembarangan mengucapkan kata durhaka kepada anak. Namun sebaliknya benar-benar berupaya seoptimal mungkin untuk menjadi orang tua yang layak dihormati, ditaati, dan mampu menjadi teladan terbaik bagi mereka. Bukankah kemauan berupaya menjadi orang tua yang semakin baik sama halnya merupakan upaya untuk menjadi hamba yang bertakwa dan terhindar dari menjadi orang tua yang durhaka? Wallahu a’lam.

Baca juga: Peradaban Dunia Dimulai dari Rumah

Penulis: Ning Ummy Atika, PP As-Sa’idiyyah Kota Kediri dan narasumber Aswaja Muda.