Home Kajian Sirah Nabawiyah : Logika yang Seharusnya Dipakai dalam Mempelajari Kehidupan Nabi saw.

Sirah Nabawiyah [12]: Logika yang Seharusnya Dipakai dalam Mempelajari Kehidupan Nabi saw.

0
Logika yang seharusnya dipakai dalam mempelajari kehidupan nabi

Logika dalam mempelajari kehidupan Nabi jika hanya dari aspek kemanusiaan semata—tanpa menguraikan misi utama beliau menunjukkan dirinya pada manusia (klaim nubuwah dan risalah)—dia pasti akan menemui jalan buntu ketika mendapati misteri dan teka-teki.

Semisal teka-teki tentang bagaimana Islam mampu melakukan ekspansi (perluasan wilayah) pada wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh penguasa yang saling berperang. Yakni imperium berperadaban tinggi Persia, dan imperium berkekuatan militer besar Romawi.

Juga teka-teki tentang konstitusi yang rapi sempurna di jazirah Arabia tanpa didahului proses pembentukan sebuah peradaban maju. Dalam kondisi masyarakat yang pengetahuan dan pengaturan struktur sosialnya masih terbelakang, bagaimana mungkin konstitusi yang diatur oleh Nabi begitu sesuai dengan prinsip yang komprehensif menurut pakar sosial? Padahal umumnya, konstitusi yang rapi adalah pencapaian sebuah komunitas yang berproses menuju kematangan kecerdasan dan kemajuan peradaban.

Keduanya adalah teka-teki tak terpecahkan. Orang yang tidak memperhitungkan faktor kenabian tidak akan bisa menguraikan alasan-alasan wajar di balik dua fenomena tersebut.  Banyak sekali peneliti yang mengabaikan kenabian menjadi kebingungan tanpa mendapatkan penjelasan.

Jalan keluar satu-satunya adalah peneliti-peneliti yang memakai logika dan objektif dalam mempelajari kehidupan Nabi saw. harus menjadikan misi kenabian Muhammad sebagai materi pembahasan—sebagaimana sudah dijelaskan dalam tulisan-tulisan sebelumnya.

Baca juga: Sirah Nabawiyah [9]: Hubungan Sains dan Akidah serta Kekonyolan Husein Haikal

Sehingga jika penelitian ini berhasil meyakinkan kita bahwa beliau adalah seorang utusan Allah Swt., kita akan mendapat jalan keluar dari kebingungan akan teka-teki ini. Seseorang yang benar-benar Nabi pasti didukung oleh Allah Swt. yang mengutusnya, dan Al-Qur’an pasti wahyu dari Allah Swt. Jadi konstitusi yang sempurna itu diturunkan langsung oleh Allah Swt. dan bukan susunan sebuah komunitas buta huruf yang menimbulkan kebingungan.

Allah sendiri berkata pada orang-orang yang mengimani Muhammad:

وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ 

“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.” (Qs. Ali Imran: 139)

وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى ٱلَّذِينَ ٱسْتُضْعِفُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ ٱلْوَٰرِثِينَ

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi) [Al-Qashash: 5]

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَٱسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّى مُمِدُّكُم بِأَلْفٍ مِّنَ ٱلْمَلَٰٓئِكَةِ مُرْدِفِينَ . وَمَا جَعَلَهُ ٱللَّهُ إِلَّا بُشْرَىٰ وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِۦ قُلُوبُكُمْ ۚ وَمَا ٱلنَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut. Dan tidaklah Allah menjadikannya melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. [Al-Anfal: 9-10]

Jelaslah sudah kekaburan. Masalah menjadi terurai, dan tabir sudah terkuak.  Adalah sebuah kewajaran Allah Swt. yang menciptakan kemampuan dan maha kuasa menolong dan memberi kesuksesan pada hamba-Nya yang teguh pada jalur yang ditetapkan-Nya.

Justru yang paling membingungkan adalah jika Allah Swt. menetapkan pertolongan dan dukungan pada utusan dan hamba-Nya, lalu keajaiban pertolongan itu tidak terjadi.

Wallahu a’lam.

Referensi: Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, (Mesir: Dar al-Salam, 2021), Hal. 41-42