Home Akidah Sirah Nabawiyah : Cara yang Benar dalam Mempelajari Kehidupan Nabi saw.

Sirah Nabawiyah [11]: Cara yang Benar dalam Mempelajari Kehidupan Nabi saw.

0
Cara yang Benar dalam Mempelajari Kehidupan Nabi saw.

Kita mempelajari kehidupan Nabi saw., kepribadian dan aspek kemanusiaannya untuk dijadikan sebagai bukti yang obyektif tentang kebenaran klaim kerasulan.

Kita bisa saja berasumsi bahwa kita tidak harus berfokus pada makna kenabian dan risalah yang diharapkan Nabi agar diperhatikan oleh manusia pada dirinya. Ini bila kenabian dan risalah itu tidak ada kaitannya dengan pilihan tindakan dan tempat kembali setelah kematian kita. 

Tetapi persoalannya, klaim kenabian dan kerasulan itu—jika benar adanya—berhubungan langsung dengan pribadi kita tentang sesuatu yang harus diketahui dan dilaksanakan. Jika kita abai dan tidak memeriksa kebenaran klaim itu, bisa-bisa kita terjerembab dalam kesalahan besar dan kehancuran.

Jika sudah begitu, maka masalah ini menjadi lebih krusial untuk digambarkan dengan gamblang dan tidak bisa diabaikan begitu saja.

Baca juga: Sirah Nabawiyah [6]: Penulisan Sejarah Nabi dan Politik Imperialisme

Salah satu bentuk pengabaian adalah bila kita memalingkan fokus kita dari kenabian dan risalah yang beliau tonjolkan tentang dirinya, lalu kita berfokus pada aspek lain tentang pribadinya yang tidak ada keterkaitan dengan kenabian dan risalah itu.

Mana ada kekonyolan yang lebih konyol daripada ketika Muhammad saw. bin Abdullah berdiri di hadapan kita menunjukkan siapa dirinya, lalu memperingatkan kita dengan segenap keyakinan dan perasaan dengan berkata,

“Demi Allah, kalian pasti akan mati sebagaimana kalian tidur, dan kalian pasti akan dibangkitkan (setelah kematian) sebagaimana kalian terjaga dari tidur. Dan demi Allah, (setelah kebangkitan itu) hanya ada (dua pilihan), surga yang abadi, atau neraka yang abadi.”

lalu kita tidak memperhatikan diri dan ucapannya, malah meneliti kepintaran, gaya bicara, dan kebijaksanaannya. Sungguh konyol.

Ibarat kamu sedang berada di persimpangan, lalu ada seseorang yang menunjukkan jalan ke tempat tujuanmu dan memperingatkan tentang jalur berbahaya, tapi kamu tidak memperhatikan ucapannya, malah memperhatikan penampilan, warna baju, dan aksen bicaranya. Itu saja yang kamu pelajari dari orang itu.

Jadi secara logika, kita harus mempelajari kehidupan Nabi dari berbagai aspek. Mulai pertumbuhan, karakter, kehidupan rumah tangga, daya tahan, dan daya juangnya. Juga kehidupan masa damai dan masa perang, interaksi dengan sahabat dan musuhnya, sampai caranya menyikapi dunia dengan berbagai godaan dan kesenangannya.

Kita harus mempelajarinya dengan cara yang obyektif, jujur, dan teliti sesuai metodologi ilmiah. Metodologi ini harus mengikuti standar kaidah periwayatan dan rantai transmisi dengan berbagai kriteria validasinya.

Simak live streaming kajian islam di fanspage aswajamuda.com

Menurutku, logika mengharuskan kita mempelajari kesemuanya itu. Sehingga bisa dijadikan sebagai tangga yang mengantarkan kita pada puncak materi pembahasan tentang pengukuhan kebenaran klaim kenabian dan penjelasan hakikat wahyu.

Sampai akhirnya, setelah melalui pembahasan yang obyektif dan steril dari kepentingan dan fanatisme golongan, kita bisa mendapat kesimpulan bahwa Nabi tidak membuat-buat hukum dan syariat sendiri. Beliau adalah orang yang sangat terpercaya dalam penyampaian wahyu pada kita. Dengan begitu, kita menyadari besarnya tanggung jawab yang kita pikul untuk menjaga dan melaksanakan syariat dan hukum yang beliau bawa.

Allahu a’lam

Referensi: Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, (Mesir: Dar al-Salam, 2021), Hal. 40-41