Home Fiqih Sebab Dibolehkan Jihad (perang) Militer (Jihad-Bagian 3)

Sebab Dibolehkan Jihad (perang) Militer (Jihad-Bagian 3)

0
sebab dibolehkan jihad

Berkaitan dengan Jihad militer Ulama Mu’ashirin semisal al-Buthi menyatakan bahwa ulama berbeda pendapat dalam hal sebab orang kafir harus diperangi dengan kekuatan militer. Pendapat al-azhhar dari Syafi’iyyah dan Ibn Hazm menyatakan sebab orang kafir wajib diperangi menggunakan kekuatan militer adalah karena kekufurannya. Sementara Jumhur yang terdiri dari ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan pendapat muqabil al-azhhar dari ulama Syafi’iyyah menyatakan, sebab orang kafir harus diperangi bukan karena kekufuran dan penolakannya terhadap ajaran Islam, melainkan karena mengantisipasi atau menghadapi serangan militer yang mereka lakukan.[1]

Melihat dua pendapat ini, penjelasan jihad dalam kitab-kitab Syafi’iyah identik dengan pendapat al-Azhhar. Namun pendapat yang lebih  ideal dalam konteks sekarang, khususnya di Indonesia yang sangat majemuk adalah pendapat muqabil al-azhhar, sesuai pendapat  Jumhur ulama dari Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah.[2]

Dalil Pendapat al-Azhhar dari Syafi’iyyah dan Ibn Hazm

Dalil al-Qur’an dan al-Hadits pendapat pertama adalah sebagaimana berikut:

فَإِذَا انسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُواْ لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ  (التوبة: 5)

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. at-Taubah: 5)

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (التوبة: 29)

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya, dan yang tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberi Kitab, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan menunduk.” (QS. at-Taubah: 29)

Kedua ayat di atas menunjukkan, bahwa sebab wajibnya memerangi orang kafir adalah karena kekafirannya bukan karena penyerangannya terhadap Islam.[3] Perintah memerangi orang kafir dalam kedua ayat tersebut tidak dibatasi dengan adanya penyerangan dari orang kafir terlebih dahulu. Jadi, sebab memeranginya adalah kekafirannya bukan karena ia menyerang orang Islam.

اُقْتُلُوا شُيُوخَ الْمُشْرِكِينَ وَاسْتَبْقُوا شَرْخَهُمْ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ)[4]

“Bunuhlah orang-orang tua dari golongan kaum musyrikin dan biarkanlah hidup orang-orang belum dewasa mereka. (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Shahih)

Dalam hadits ini Rasulullah Saw memerintahkan membunuh orang- orang tua dari kaum musyrikin, sehingga hal ini menunjukkan bahwa membunuh kaum musyrikin dilakukan karena kekufurannya, bukan karena adanya penyerangan dari mereka. Sebab orang yang sudah tua (syuyukh) sudah tidak mampu menyerang atau berperang.[5]

Dalil Pendapat Jumhur Ulama

Adapun di antara dalil al-Qur’an dan al-Hadits pendapat kedua, yakni pendapat Jumhur Ulama adalah sebagaimana berikut:

وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُواْ إِنَّ الله لَا يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ (البقرة: 190)

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. al-Baqarah: 190)

Baca Juga: Hakikat dan Macam – Macam Jihad

Dalam ayat di atas diperintahkan perang terhadap orang-orang yang memerangi orang Islam, namun tidak boleh melebihi batas.

أَلاَ تُقَاتِلُونَ قَوْمًا نَّكَثُواْ أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّواْ بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُم بَدَؤُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ أَتَخْشَوْنَهُمْ فَالله أَحَقُّ أَن تَخْشَوْهُ إِن كُنتُم مُّؤُمِنِينَ  (التوبة: 13)

“Mengapakah kalian tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kalian? Mengapakah kalian takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kalian takuti, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. at-Taubah: 13)

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9) (الممتحنة)

Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Mumtahanah: 8-9)

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ  (التوبة: 36)

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat (4) bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat (4) itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kalian semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. at-Taubah: 36)

Keempat ayat di atas secara ekplisit menunjukkan, bahwa sebab perintah perang dengan kekuatan militer adalah karena adanya penyerangan dari orang-orang kafir terhadap orang-orang Islam.[6] Di selain kondisi seperti itu, tidak ada larangan dari Allah untuk berbuat baik dan menjadikan kawan terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi agama Islam dan tidak mengusir orang-orang Islam dari negerinya.

عَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَأَى اِمْرَأَةً مَقْتُولَةً فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَأَنْكَرَ قَتْلَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Diriwayatkan dari Ibn Umar Ra, sungguh Rasulullah Saw dalam sebagian peperangannya melihat perempuan terbunuh, lalu beliau mengingkari pembunuhan terhadap perempuan dan anak-anak.” (Muttafaq ‘Alaih)

عَنْ حَنْظَلَةَ الْكَاتِبِ: غَزَوْنَا مَعَ رَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم، فَمَرَرْنَا عَلَى امْرَأَةٍ مَقْتُولَةٍ قَدِ اجْتَمَعَ عَلَيْهَا النَّاسُ فَأَفْرَجُوا لَهُ، فَقَالَ: مَا كَانَت هَذِهِ تُقَاتِلُ فِيمَنْ يُقَاتِلُ. ثمَّ قَالَ لِرَجُلٍ: اِنْطَلِقْ إِلَى خَالِد بْنِ الْوَلِيدِ فَقُلْ لَهُ: إِنَّ رَسُولَ  اللهِ يَأْمُركَ بِقُولِ: لَا تَقْتُلَنَّ ذُرِّيَّةً وَلَا عَسِيفًا (رواه ابن ماجه وأبو داود وأحمد. صحيح على شرط البخاري )

“Diriwayatkan dari Handhalah al-Katib: ‘Kami perang bersama Rasulullah Saw, lalu melewati perempuan yang terbunuh dimana orang-orang berkumpul padanya, lalu mereka membubafrkan diri karenanya. Beliau bersabda: ‘Apa-apaan ini? Kenapa ia dibunuh?.’ Lalu beliau bersabda kepada seorang lelaki: ‘Pergilah kepada Khalid bin al-Walid, katakana kepadanya: ‘Sungguh Rasulullah memerintahkanmu dengan sabda: ‘Jangan anda bunuh benar wanita dan buruh pekerja.’” (HR. Ibn Majah, Abu Dawud dan Ahmad. Shahih sesuai syarat al-Bukhari) 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: اِنْطَلِقُوا بِاسْمِ اللَّهِ وَلاَ تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا وَلاَ طِفْلاً صَغِيرًا وَلاَ امْرَأَةً، وَلاَ تَغَلُّوا وَضُمُّوا غَنَائِمَكُمْ وَأَصْلِحُوا وَأَحْسِنُوا، إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (رواه أبو داود)

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda: ‘Pergilah berperang dengan bismillah, dan jangan kalian bunuh orang tua renta, anak kecil dan perempuan. Jangan kalian korupsi harta rampasan, kumpulkanlah. Berpatutlah dan dan berbuat baiklah kalian, sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.’” (HR. Abu Dawud)    

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw melarang perang terhadap orang-orang yang tidak menentang dan menyerang umat Islam meskipun mereka adalah orang-orang kafir. Hal ini telah menjadi etika perang yang wajib dipatuhi oleh kaum muslimin, sebagaimana sejarah peperangan yang terekam jelas dalam kitab-kitab tarikh.[7]

Jawaban atas Pendapat al-Azhhar dari Syafi’iyyah dan Ibn Hazm

Selain itu, dalil-dalil yang diajukan pendapat pertama pun terbantahkan. Pertama, berkaitan dalil dari ayat:

فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ …  (التوبة: 5)

“Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka …” (QS. at-Taubah: 5)

Penggunaan ayat ini sebagi dalil bahwa perintah memerangi orang kafir disebabkan kekafirannya tidak tepat, sebab justru terbantahkan dengan ketiga ayat setelahnya, yaitu:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ (6) كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكِينَ عَهْدٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ رَسُولِهِ إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ (7) كَيْفَ وَإِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لَا يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً يُرْضُونَكُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَى قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ (8)  (التوبة)

“Dan jika di antara kaum musyrikin ada orang yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar ia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu karena sungguh mereka adalah kaum yang tidak mengetahui. Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik, kecuali dengan orang-orang yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram (Hudaibiyah), maka selama mereka berlaku jujur kepada kalian hendaklah kalian berlaku jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. Bagaimana mungkin (ada perjanjian demikian), padahal jika mereka memperoleh kemenangan atas kalian mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan dengan kalian dan tidak pula mengindahkan (perjanjian). Mereka menyenangkan hati kalian dengan mulut-mulut mereka sedangkan hatinya menolak. Kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. at-Taubah: 6-8) 

Ketiga ayat ini secara terang-terangan menafikan anggapan bahwa sebab perintah memerangi orang kafir adalah karena kekafirannya. Ayat ke-6 menegaskan, bila ada orang kafir yang meminta perlindungan maka harus dilindungi, bahkan kesempatan tersebut dapat digunakan untuk memperdengarkan firman Allah kepadanya yang bisa jadi menjadi sebab keimanannya. Bila mereka enggan beriman dan hendak pergi, maka diperintahkan mengantarkan mereka ke tempat yang aman bagi mereka. Andaikan sebab perintah memerangi orang kafir adalah kekafirannya niscaya tahapan-tahapan ini tidak perlu disampaikan dalam ayat tersebut.

Ayat ke-7 secara jelas menerangkan kebolehan melakukan perjanjian terhadap orang kafir. Andaikan sebab perintah memerangi orang kafir adalah kekafirannya tentu tidak boleh membuat perjanjian dengannya. Sementara ayat ke-8 mengingkari perjanjian terhadap orang kafir ketika mereka tidak lagi memelihara hubungan baik dan menjaga perjanjian yang sudah ada. Andaikan sebab perintah memerangi orang kafir adalah kekafirannya maka kalimat-kalimat dalam ayat ini tidak akan pernah ada sama sekali.

Dari ketiga ayat ini menjadi sangat jelas bahwa sebab perintah memerangi orang kafir bukan karena kekafirannya, akan tetapi karena tindakan mereka memerangi kaum muslimin.[8]

Kedua, berkaitan dengan ayat:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (التوبة: 29)

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya, dan yang tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberi Kitab, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan menunduk.” (QS. at-Taubah: 29)

Dalam ayat ini justru Allah menjadikan batas perintah memerangi orang kafir adalah sampai membayar jizyah. Bila mau membayarnya maka tidak masuk Islam tidak apa-apa. Sebab itu, andaikan sebab perintah memerangi orang kafir adalah kekafirannya, niscaya kesanggupan membayar jizyah tidak dapat mengganti posisi masuk Islamnya.[9]

Ketiga, berkaitan dengan hadits:

اُقْتُلُوا شُيُوخَ الْمُشْرِكِينَ وَاسْتَبْقُوا شَرْخَهُمْ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ)

“Bunuhlah orang-orang tua dari golongan kaum musyrikin dan biarkanlah hidup orang-orang belum dewasa mereka. (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Shahih)

Dari sisi riwayah, sebenarnya hadits ini dha’if (munqathi’) dan tidak bisa digunakan untuk menentang dalil lain. Andaikan diterima keshahihannya pun, maka wajib ditakhsis dengan sesuai prinsip ushul Imam as-Syafi’i.[10] Begitu pula dari sisi dirayah, kata syuyukh tidak bisa dipahami dengan makna orang-orang tua yang sudah tidak mampu berperang saja, sebab maknanya lebih umum dari sekedar seperti itu. Kata syaikh, bentuk  tunggal dari syuyukh, menurut mayoritas pakar bahasa bermakna orang yang telah mencapai usia 50 tahun penuh. Makna yang ditunjukkan oleh kata syaikh adalah wadha’ yang menetapkan seseorang dimuliakan dan diagungkan tanpa memandang kuat dan lemahnya. Karenanya menjadi jelas, kata syaikh menunjukkan sampainya manusia pada usia matang dan kesempurnaan akal tanpa memandang apakah ia telah mencapai batas usia 50 tahun tersebut atau tidak, serta kuat ataupun tidak. Dalam konteks perang, seorang syaikh dengan makna tersebut mampu melakukan berbagai teknik peperangan dan strateginya, tidak sebagaimana anak kecil. Terlebih dalam hadits tersebut, perbandingannya adalah dengan kata syarkh yang berarti anak kecil di bawah usia mampu berperang, sehingga maksud kata syuyukh adalah selain anak kecil yang juga memasukkan orang berusia remaja.[11]

Sementara hadits semisal:

أُمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أنْ لاَ إلهَ إلاَّ الله وَأنَّ مُحَمَّداً رَسُول الله وَيُقيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهُمْ وَأمْوَالَهُمْ إلاَّ بحَقِّ الإسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى الله تَعَالَى (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Aku (Rasulullah Saw) diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi sungguh tiada Tuhan selain Allah dan sungguh Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat dan  membayar zakat. Maka ketika mereka telah melakukannya, berarti mereka telah menjaga jiwa dan harta dariku kecuali karena hak Islam, sementara perhitungan amalnya ada pada Allah Ta’ala.” (Muttafaq ‘Alaih)

Ini justru menyebutkan batas kebolehan memerangi orang kafir, yaitu sekira mereka mau mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka haram memeranginya. Secara substantif hadits itu bermakna: “Sungguh aku tidak diperintah berperang kecuali sampai batas ini”, bukan bermakna: “Sungguh aku diperintah memerangi setiap orang sampai batas ini.” Sebab makna yang terakhir ini bertentangan dengan nash dan ijma’. Rasulullah Saw juga tidak pernah melakukannya demikian. Bahkan bila melihat sejarahnya, orang yang meminta keselamatan kepadanya pun tidak diperanginya. Juga telah ditetapkan dengan nash dan ijma’ bahwa Ahli Kitab dan kaum Majusi (padahal bukan ahli kitab) bila berkenan membayar jizyah maka haram diperangi.[12]

Baca Juga: Seri Artikel Jihad Islam di Era Modern

Andaikan yang melegalkan perang adalah kekufuran tentu dalam peperangan tidak diharamkan membunuh perempuan sebagaimana dalam kasus zina muhsan, qishash atau murtad. Sementara banyak hadits yang melarangnya sebagaimana telah disebutkan dalam dalil-dalil Jumhur Ulama di atas. Hal Ini semakin mempertegas keunggulan pendapat Jumhur, bahwa peperangan dilakukan bukan karena kekufuran (menolak ajaran Islam), namun dalam rangka menolak serangan terhadap kaum muslimin.[13]


Judul Asli: Jihad Islam di Era Modern – Sebab Dibolehkan Jihad (Perang) Militer

Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur
Komisi Maudhu’iyyah
di PP Sunan Bejagung Semanding Tuban
Sabtu-Ahad, 24-25 Jumadal Ula 1439 H /10-11 Februari 2018 M

Mushahih: KH. Arsyad Bushairi; KH. Shofiyulloh

Perumus: KH. Azizi Hasbullah; KH. Suhaeri Idrus; KH. Fauzi Hamzah Syam

Moderator: Ahmad Muntaha AM; KH. Ali Maghfur Syadzili

Notulen: K. Ma’ruf Khozin; KH. Fariz Khairul Anam

Klik Untuk Referensi Lengkap

[1] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Jihad fi al-Islam, (Damaskus-Bairut: Dar al-Fikr dan Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1414 H/1993 M), 94:

هل الجهاد القتالي لدرء الحرابة ام للقضاء على الكفر؟ ذهب الجمهور وهم الحنفية والمالكية والحنابلة الى ان علة الجهاد القتالي هي درء الحرابة وذهب الشافعي في الاظهر من قوليه الى ان العلة هي الكفر وهو مذهب ابن حزم.

Wahbah az-Zuhaili, Atsar al-Harb fi Fiqh al-Islam, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1419 H/1998 M), 106:

تحقيق الخلاف في الباعث على القتال: قرر جمهور الفقهاء من مالكية وحنفية وحنابلة: أن مناط القتال هو الحرابة والمقاتلة والاعتداء وليس الكفر. فلا يقتل شخص لمجرد مخالفته للإسلام، وإنما يقتل  لاعتدائه على الإسلام. فغير المقاتل لا يجوز قتله، وإما يلتزم جانب المسلم. ويدل على ذلك نصوص الكتاب والسنة والاعتبار …

[2] Abdul Wahab as-Sya’rani, al-Mizan, (Bairut: ‘Alam al-Kutub, 1409 H/1989 M), III/399:

… وكذلك إذا قصد في مواطن الخلاف ترجى ما عليه الأكثر منهم والعمل بما قاله الجمهور دون الواحد، فإنه يأخذ بالحزم مع جواز عمله بقول الواحد إلا أنني أكره له أن يكون مقتصرا في حكمه على اتباع مذهب أبيه أو شيخه مثلا.

[3] Al-Buthi, al-Jihad fi al-Islam, 96-97:

دليل الآخرين وهم الشافعية ذهابا منهم إلى أظهر القبولين للشافعي والظاهرية وفي مقدمتهم ابن حزم الآيات والأحاديث التالية. 1- قول الله عز وجل: فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُواْ لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ  (التوبة: 5) … قال أصحاب هذا المذهب: إن كلا من الآيتين والثانية دل على أن مناط وجوب قتل الكافرين هو الكفر لا الحرابة، بدليل أنه جعل غاية هذا الحكم الإيمان والتوبة كما في الآية الأولى، أو الخضوع للجزية كما دلت الآية الثانية. وقد أجابوا عن التعارض القائم بين دلالة هتين الآيتين والآيات الأخرى التي استدل بها الجمهور بأن هاتين الآيتين من أواخر ما نزل من القرآن، فهما ناسختان لكل ما قد عارصهمت من قبل.

[4] Ibn Hajar al-‘Asqallani, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, 508.

[5] Al-Buthi, al-Jihad fi al-Islam, 97:

قالوا: وقد أمر رسول الله بقتل الشيوخ من المشركين. ولو كانت علة القتل الحرابة لما أمر بذلك، إذ الشيوخ لا يتأتى مهم المبادرة بالعدوان. ومثل ذلك أمره بقتل عبد الله بن خطل وأمثاله من الذين أهدر رسول الله دماءهم.

[6] Al-Buthi, al-Jihad fi al-Islam, 94-95:

دليل الجمهور آيات صريحة في كتاب الله تعالى تنص على أن موجب قتال المسلمين لغيرهم إنما هو العدوان الصادر منه. وهي آيات كثيرة نزلت في سور وأوقات متفرقة، وأحادث كثيرة من قتال من لا يواجهون المسلمين بأي عدوان أو من لا يتأتى مهم القتال. وأم الآيات فنذكر منها ما يلي:

1- قول الله تعالى: وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُواْ إِنَّ الله لَا يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ (البقرة: 190)

2- قول الله تعالى: أَلاَ تُقَاتِلُونَ قَوْمًا نَّكَثُواْ أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّواْ بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُم بَدَؤُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ … (التوبة: 13)

3- قول الله تعالى: لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9) (الممتحنة)

4- قول الله تعالى: وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً (التوبة: 36)

فهذه الآيات صريحة الدلالة على أن علة الجهاد القتالي للكافرين هي الحرابة. وقد تفرق نزولها في آماد مختلفة من العهد المدني، وفيها ما بقد نزل قبل وفاة رسول الله صلى الله عليه وسلم بأشهر. ومن ثم بفهي الحجة الأةل بمذهب الجمهور.

[7] Al-Buthi, al-Jihad fi al-Islam, 95-96:

ومناط الاستشهاد في هذه الأحاديث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن مقاتلة غير الذين يواجهون المسلمين بالعدوان والقتال وإن كانوا كافرين. ألا ترى إلى قوله عن المرأة التي وجدت مقتولة: ما كانت هذه تقاتل فيمن يقاتل، إي ففيم قتلت إذن؟ ولقد كان هذا أدبا من آداب القتال يلتزم المسلمون من بعد في حروبهم وغزواتهم. نقرآ ذلك في كتب التواريخ والمغازي. والشواهد على ذلك مستفيضة كثيرة.

[8] Al-Buthi, al-Jihad fi al-Islam, 98-101:

الآية الخامسة من سورة التوبة والتي هي الحجة الأولى لدى القائلين بأن علة الجهاد القتالي هي الكفر هي قوله عز وجل: فَإِذَا انسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُواْ لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ  (التوبة: 5) ولا شك أن القارئ إذا حسب فكره عند هذه الآية وحدها، يفهم منها العلة التي فهمها الشافعية ومن معهم، لا يسما وقد قضت الآية بجعل التوبة من الكفر وتوابعه غاية هذه القتال المأمور به. ولكن فلنتبع التلاوة ولننتقل إلى الآيات الثلاث التي تليها، وهي قوله عز وجل: وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ. كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكِينَ عَهْدٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ رَسُولِهِ إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ. كَيْفَ وَإِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لَا يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً يُرْضُونَكُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَى قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ. (التوبة: 6-8)

ماذا نفهم من هذه الآيات الثلاث لدى التأمل فيها؟ نفهم منه بوضوح نقيض المعنى الذي نفهمه الشافعية والظاهرية من الآية التي قبلها. ويتكرر هذا المعنى المناقض ثلاث مرات. المرة الأولى: في أمره عز وجل بإجارة المشركين مدة بقائهم بيننا على أمل الإضغاء إلى كلام الله ثم الإيمان ببه. ثم في أمره بإبلاغهم أماكن أمنهم عند ما يرغبون في الرحيل جون أن يؤمنوا. أرأيت لو أن الكفر هو السبب الحامل على قتلهم أفيسوغ نعاملهم بهذه الرعاية والحماية وهم مشركون كافرون؟ … المرة الثانية: في الاستثناء الذي نقرؤه في قوله عز وجل: إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ (التوبة: 7) أرأيت لو كان الكفر بحد ذاته موجبا للقتال، أفتسوغ معاهدة من أمرنا الله بقتالهم؟ … المرة الثالثة: في الإعلان عن العلة التي من أجلها استنكر البيان الإلهي أن يكون للمشركين عهد عند الله وعند رسولهز وإنا لنقرأ هذا الإعلان بوضوح في قوله عز وجل: كَيْفَ وَإِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لَا يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً يُرْضُونَكُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَى قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ (التوبة: 8) أي كيف يكون لهم عهد مقبول وهذه هي حالهم معكم. ما أن يشعروا بتفوق عليكم حتى يهدروا كل العهود والذمم التي عليهم والتزموا بها في ظاهر الأمر، إن قلوبهم الحاقدة تكذب السنتهم المجاملة. لو كان السبب في استنكار قيام عهد بين المسلمين والمشركين هو الكفر بحد ذاته، إذن لما ورد  هذا الكلام قط. إذ  سيان بعد الكفر الذي هو علة القتال والقطيعة أن يكونوا أمناء على العهد أو مضيعين له وخائنين فيه.

فهذه شواهد الثلاثة تأتي بعد الآية التي فهموا منها وجوب مقاتلة المشركين ومن في حكمهم لعلة الكفر لا الحرابة، ينطق كل منها بأوضح بيان بأن العلة هي الحرابة والغدر، لا غير ذلك.

[9] Al-Buthi, al-Jihad fi al-Islam, 101:

إما استدلالهم بالآية التاسعة والعشرين من سورة التوبة، وهي قول الله عز وجل: قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (التوبة: 29) فيرد عليه ما يلي: أولا لقد الله الغاية في الأمر بالقتل الخضوع لنظام الجزية، ولا ضير عندئذ في عدم الدخول في الإسلام. ولو كان القتال من أجل الكفر كما قالوا، لما قام الخضوع لنظام الجزية مقام الإسلام، وهذا واضح.

[10] Az-Zuhaili, Atsar al-Harb, 108-109:

وحديث اُقْتُلُوا شُيُوخَ اَلْمُشْرِكِينَ … ضعيف بالانقطاع وبالحجاج ابن أرطاة فلا يصلح للمعارضة. ولو سلمت صحته فوجب تخصيصه بحسب أصول الشافعي.

[11] Al-Buthi, al-Jihad fi al-Islam, 103-104:

ثانيا حديث سمرة بن جندب: اُقْتُلُوا شُيُوخَ اَلْمُشْرِكِينَ وَاسْتَبْقُوا شَرْخَهُمْ، لا يصلح دليلا على المدعى. وذلك لأن كلمة (شيخ) ليست نصا في اللغة على من انقطعت عنه أسباب القوة فلم يتأتى منه قتال أو دفاع كما قد فهم أصحب هذا المذهب بل الكلمة أعم من ذلك. قال في اللسان: الشيخ الذي استبانت فيه السن وطهر عليه الشيب … وأكثر اللغويين على أن الرجل يسمى شيخا إذا استكمل الخمسين من العمر. ويتضح من هذا المعنى الذي تدل عليه كلمة (الشيخ) وهو الوضع الذي يقتضي التبجيل والتقدير بقطع النظر عما قد يصاحب ذلك من قوة أو وضعف. ومن دلائل ذلك قول صاحب اللسان: وشيَّختُه، دعوته شيخا للتبجيل. وقد استبان أن كلمة الشيخ تعني بلوغ الإنسان سن الحكمة والكمال العقلي بقطع النظر عن حال من قد بلغ هذا السن واستحق التبجيل لذلك من حيث القوة أو الضعف. والشيخ بهذا المعنى في صف الأعداء والمحاربين يتأتى منه من فنون المكر والدهاء وررسم خطط العدوان ما لا يتأتى من الأحداث وصغار السن … وإنه لمما يزيد هذا المعنى من كلمة (الشيخ) هذا جلاء قوله صلى الله عليه وسلم يعد ذلك: وَاسْتَحْيُوا شَرْخَهُمْ، وقد علمت أن المراد بالشرخ الصغار، أي من هم دون سن القتال والكيد له. إن المتقابل الذي تراه بين الفريقين ولا ثالث لهم في الحديث يوضح أن المراد بالشيوخ كل من عدا الصغار فدخل فيهم حتى الشبب تبعا.

[12] Az-Zuhaili, Atsar al-Harb, 107:

وحديث أبي هريرة فيما أخرجه البخاري ورواه مسلم: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أنْ لاَ إلهَ إلاَّ الله وَأنِّي رَسُولُ الله ، فَإِذَا فَعَلُوا ذلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إلاَّ بحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ عَلَى الله. هذا الحديث ذكر للغاية التي تبيح قتالهم إليها، بحيث إذا فعلوها حرم قتالهم. والمعنى: أني لم أؤمر بالقتال إلا إلى هذه الغاية، وليس معنى أنى أمرت أن أقاتل كل أحد إلى هذه الغاية. فإن هذا خلاف النص والإجماع، فإنه لم يفعل هذا قط. بل كانت سيرته أن من سالمه لم يقاتله. وقد ثبت بالنص والإجماع أم أهل الكتاب والمجوس – مع أنهم ليسوا أهل كتاب على ما سنحققه في عقد الذمة – إذا أدوا الجزية حرم قتالهم.

[13] Az-Zuhaili, Atsar al-Harb, 107-178:

ثم إن مقتضى الاعتبار: أنه لو كان الكفر هو الموجب للقتال، بل هو المبيح له لم يحرم قتل النساء كما لو وجب أو أبيح قتل المرأه بزنا أو قود أو ردة. فلا يجوز مع قيام الموجب للقتل أو المبيح له أن يحرم ذلك، لما فيه من تفويت المال بل تفويت النفس الحرة أعظم وهي تقتل لهذه الأمور.

Daftar Pustaka:

  1. Al-‘Asqallani, Ibn Hajar, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam.
  2. Al-Asfahani, al-Raghib. Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an.
  3. Al-Baijuri, Ibrahim. 1420 H/1999 M. Hasyiyyah al-Baijuri, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  4. Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan. 1414 H/1993 M. Al-Jihad fi al-Islam, Damaskus-Bairut: Dar al-Fikr dan Dar al-Fikr al-Mu’ashir.
  5. Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad. Tth. Ihya’ Ulum ad-Din, Bairut: Dar al-Ma’rifah.
  6. Al-Hafid, Ibn Rusyd. 1395 H/1975 M. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh.
  7. Al-Jamal, Sulaiman. Tth. Hasyiyyah al-Jamal ‘ala Syafrh al-Minhaj, ttp.: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi
  8. Al-Jauziyyah, Muhammad bin Abi Bakr Ibn Qayyim. 1415 H/1994 M. Zad al-Ma’aad fi Huda Khair al-‘Ibad, Bairut-Kuwait: Muassasah ar-Risalah dan Maktabah al-Manar al-Islamiyyah.
  9. Al-Khatib, Muhammad as-Syirbini. 1425 H. Al-Iqna’ fi Hill Alfazh Abi Syuja’,Bairut: Dar al-Fikr.
  10. Al-Maqdisi, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah. 1405 H. Al-Mughni, Bairut: Dar al-Fikr.
  11. Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad. 1414 H/1994 M. Al-Hawi fi Fiqh as-Syafi’i, ttp.: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  12. Al-Munawi. 1415 H/1994 M. Faidh al-Qadir, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
  13. Al-Qulyubi, Ahmad bin Ahmad bin Salamah. 1419 H/1998 M. Hasyiyyah Qulyubi, Bairut: Dar al-Fikr.
  14. An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. 1392 H. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Bairut: Dar Ihya Turats al-‘Arabi.
  15. As-Syirbini, Muhammad al-Khatib. Tth. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfazh al-Manhaj, Bairut: Dar al-Fikr.
  16. Az-Zuhaili, Wahbah. 1419 H/1998 M. Atsar al-Harb fi Fiqh al-Islam, Damaskus: Dar al-Fikr.
  17. Tim Aswaja NU Center Jawa Timur. 2016. Khazanah Aswaja, Surabaya: Aswaja NU Center Jawa Timur.
  18. Tim BM Himasal. 2017. Fikih Kebangsaan Merajut Kebersamaan di Tengah Kebhinnekaan, Kediri: Lirboyo Press dan LTN Himasal.
  19. Tim PW LBM NU Jawa Timur. 2015.  NU Menjawab Problematika Umat; Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur, Surabaya: PW LBM NU Jawa Timur.