Home Akhlak What, Menyakiti Non Muslim Lebih Berat Dosanya?

What, Menyakiti Non Muslim Lebih Berat Dosanya?

0
menyakiti non muslim

Oleh: Ahmad Muntaha AM
Pagergunung, 29 Desember 2019

Dosa menzalimi non muslim lebih berat resikonya daripada menzalimi seorang muslim. Tidak percaya?

Sebab seorang muslim masih diharapkan maafnya di akhirat kelak. Lain halnya dengan non muslim, ia akan lebih serius menuntut keadilan terhadap orang yang menzaliminya. Bahkan tidak ada penghalang apapun dosa-dosanya selain dosa kekufurannya justru akan ditimpakan kepada orang yang menzaliminya. Dalam konteks inilah pakar fikih Hanafi asal desa Tahta, Asyuth Mesir, Ahmad bin Muhammad bin Ismail at Tahtawi (w. 1231 H/1816 M), sebagaimana dikutip Ibn ‘Abidin dalam kitab Radd al Muhtar ‘ (VI/402) menjelaskan:

قوله: أشد من المسلم، لأنه يشدد الطلب على ظالمه ليكون معه في عذابه. ولا مانع من طرح سيئات غير الكفر على ظالمه فيعذب بها بدله. ذكره بعضهم. ط.

“Ungkapan ‘Alauddin al Hashkafi: ‘Menzalimi seorang non muslim dzimmi lebih berat resikonya daripada menzalimi seorang muslim’, sebab non muslim dzimmi akan memberatkan tuntutan terhadap orang yang menzaliminya, agar menemaninya dalam menerima siksa Allah Swt di neraka. Tidak ada penghalang sedikitpun dosa-dosanya selain dosa kekufuran justru akan ditimpakan kepada orang yang menzaliminya. Sehingga ia akan disiksa sebagai ganti darinya. Demikian disebutkan oleh sebagian ulama. Keterangan ini dikutip dari at Tahtawi.”

Karenanya, sangat wajar bila di berbagai kesempatan Rasulullah Saw sering mewanti-wanti umatnya agar jangan sesekali menyakiti mereka, dan siapapun yang nekat melakukannya, ia akan menjadi musuhnya kelak di hari kiamat. Rasulullah Saw menegaskan:

من آذى ذميا فأنا خصمه ومن كنت خصمه، خصمته يوم القيامة. (خط) عن ابن مسعود (ح).

“‘Siapa saja yang menyakiti non muslim dzimmi, maka Aku menjadi musuhnya. Siapa saja yang diriku menjadi musuhnya, maka aku akan memusuhinya di hari kiamat.’ Diriwayatkan oleh al Khatib dari Ibn Mas’ud Ra. Sandanya hasan.”

Na’ufzubillah. Semoga kita terhindarkan darinya.

Sumber:
1. ‘Alauddin al Hashkafi, ad Durr al Muhtar, (Beirut: Dar al Fikr, 1386 H), VI/402.
2. Ibn ‘Abidin, Hasyiyyah Radd al Mukhtar ‘ala ad Durr al Muhtar, (Beirut: Dar al Fikr, 1421 H/2000 M), VI/402.
3. Abdurrahman bin Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiq as Suyuthi, al Jami’ as Shaghir min Hadits al Basyir an Nadzir, II/301.
4. Isma’il bin al Jarahi al ‘Ajluni, (Beirut: Dar Al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1408 H/1988 M), II/218-219.

Ilustrasi: pexels