Home Tokoh Mengenal Kitab at-Tahdzib fi Adillati Matni al-Ghoyah wa at-Taqrib dan Pengarangnya

Mengenal Kitab at-Tahdzib fi Adillati Matni al-Ghoyah wa at-Taqrib dan Pengarangnya

0

Jika membicarakan khazanah keilmuan Islam, maka secara futuristis setiap orang akan terarah pada pretense nash Alquran dan al-hadis.

Namun lebih dari itu yang perlu dipahami bahwa dua sumber hukum tersebut tidak dapat kita pahami secara konstan dan frontal tanpa adanya faktor determinan lain untuk  memfalidasi kebenaran pemahaman yang didapat dari kedua nash tersebut.

Salah satu faktor determinan klasik yang diajarkan turun temurun oleh para ilmuan Islam adalah melewati karya-karya sarjana Islam (kutubut turast) yang salah satunya adalah kitab at-Tadzhib fi Adillati Matni al-Ghoyah wa at-Taqrib karya Dr. Musthafa Dib al-Bugho, yang merespon kitab Ghoyatut Taqrib karya Syaikh Abi Syuja’. 

Mengulas sedikit tentang Syaikh Abi Syuja’ yang memiliki nama asli Syihabul Millah Abu Syuja’ Abu Thayyib Ahmad bin Husain al-Asfahani, adalah seorang sarjana Islam kelahiran Bashrah tepatnya pada tahun 433 H.

Beliau hanya dikenal dengan satu karangan monumentalnya yang bertajuk matnu At-Taqrib. Namun meski demikian karya beliau yang singkat tersebut menarik banyak perhatian ulama Islam untuk kembali menjabarkannya.

Sedangkan Dr. Musthafa Dib al-Bugho sendiri adalah seorang ilmuan muslim kelahiran Damaskus yang aktif dalam dunia keilmuan, baik dalam bidang Islamic law, ataupun besic low.

Dalam opening satatement kitab at-Tahdzib, beliau mengatakan bahwa inisiatif untuk mengarang kitab at-Tahdzib ini lahir karena adanya kesadaran akan menariknya kitab karangan Syekh Abi Suja’ dan realitas meningkatnya sifat kritisisme dari para pelajar kian menuntut adanya eksplorasi teori hukum Islam dengan dalil dari Alquran dan al-hadis.

Sehingga kitab yang beliau karang ini (at-Tahdzib) hanya sebatas memberi catatan kaki nash Alquran dan al-hadis terhadap kitab yang dikarang oleh syaikh Abi Syuja’.

Dalam pembukaan kitab at-Tahdzib sang author mengawalinya dengan nash Alquran surat at-Taubah ayat 122, yang secara ekplisit menjelasakan betapa pentingnya Ilmu pengetahuan yang berbunyi;

فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Hendaknya pergi dari setiap golongan, sekelompok orang untuk mendalami ilmu agama” (Q.S. At-Taubah: 122)

Imam al-Bidhowi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa salah satu filosofi adanya perintah mencari ilmu yang hadir bersamaan dengan perintah jihad adalah menunjukkan bahwa betapa mencari dan mempelajari ilmu bernilai jihad. Bahkan merupakan jihad al-akbar. Surat at-Taubah tersebut jika ditelaah lebih lanjut memiliki korelasi yang sangat erat dengan surat an-Nahl ayat 43 yang berbunyi 

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Dan tidak Aku mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. an-Nahl: 43.)

Frasa yang sangat perlu digaris bawahi dalam ayat tersebut adalah istilah ahludz dzikri. Kata ahludz dzikri mendapat banyak tafsiran dan pemahaman yang berbeda di kalangan para ulama. Salah satunya diartikan sebagai orang-orang yang memiliki ilmu.

Namun pada dasarnya betapapun makna ahlu tersebut diinterpretasikan oleh pemikir Islam, yaitu semua berputar dalam satu poros bahwa adanya keharusan bagi setiap orang untuk belajar dan terus mencari ilmu pengetahuan kepada orang yang berkompeten dan mumpuni dalam bidang keilmuan tersebut.

Selaras dengan ayat tersebut Dr. Musthafa juga mengutip sebuah hadis yang sangat kental akan advis keilmuannya sebagaimana yang diriwayatkan oleh sayyidina Muawiyyah Radhiyallahu’anhu;

حدثنا سعيد ابن عفير قال حدثنا ابن وهب عن يونس عن ابن شهاب قال حميد بن عبد الرحمن سمعت معاوية خطيبا يقول سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول مَن يُرِدِ اللَّهُ به خَيْرًا يُفَقِّهْهُ في الدِّينِ، وإنَّما أنا قاسِمٌ واللَّهُ يُعْطِي، ولَنْ تَزالَ هذِه الأُمَّةُ قائِمَةً علَى أمْرِ اللَّهِ، لا يَضُرُّهُمْ مَن خالَفَهُمْ، حتَّى يَأْتِيَ أمْرُ اللَّهِ 

“diceritakan dari Said bin Ufair dia berkata saya mendapat cerita dari ibnu Wahab dari Yunus dari ibnu Syihab Hamid bin Abdurrahman mendengar Muawiyah berkata dalam keadaan berkhutbah bahwa dia mendengar nabi bersabda, ‘barang siapa diharapkan kebaikan oleh Allah maka ia akan dipahamkan dalam urusan agama. Dan sesungguhnya aku hanya membagi dan Allahlah yang memberi serta umat ini akan selau mendirikan perintah Allah dan tidak akan berbahaya bagi mereka orang menyelisihi mereka sehingga datang takdir Allah.’”

Imam Ibnu Hajar memberikan sebuah diagram terkait hadis tersebut sebagaimana berikut;

أن من لم يتفقه فى الدين اي – يتعلم قواعد الاسلام وما يتصل بها من الفروع فقد حرم الخير

bahwa seseorang yang tidak berusaha faham dalam agamanya – yakni tidak berusaha mempelajari kaidah-kaidah Islam dan hal yang menjadi perantara untuk memahami kaidah-kaidah tersebut dari beberapa bagian kecil maka ia benar-benar dihalangi kebaikan

Kebutuhan akan ilmu agama terlebih yang menyangkut kegiatan yang sering kita lakukan merupakan implikasi logis dan sikap etis dari tujuan penciptaan manusia yang secara mutatis mutandis menjadi kewajiban semua manusia.

Wallahu a’lam

Penulis: Shofiyyatul Ummah. P.P. Nurud Dholam Sumenep; Alumni Mubtadiaat (P3HM) Lirboyo 2017, Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.