Oleh: Ahmad Muntaha AM
Kelahiran Vs Wafat Rasulullah Saw
Sebagian orang tidak menyetujui tradisi Mauludan dengan alasan pada umumnya Mauludan dilaksanakan pada bulan Rabî’ al-Awal, sementara wafat Rasulullâh Saw pun di bulan tersebut. Mengapa di bulan yang sama kita menampakkan kegembiraan atas kelahirannya, namun tidak menunjukkan kesedihan karena wafatnya?
Baca Artikel Sebelumnya: Maulid Nabi Bid’ah, Benarkah ? Ini Penjelasan Lengkapnya
Pertanyaan ini sudah dijawab oleh Imam as-Suyûthi, beliau berkata;
أَنَّ وِلاَدَتَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْظَمُ النِّعَمِ عَلَيْنَا وَوَفَاتُهُ أَعْظَمُ الْمَصَائِبِ لَنَا، وَالشَّرِيْعَةُ حَثَّتْ عَلَى إِظْهَارِ شُكْرِ النِّعَمِ وَالصَّبْرِ وَالسّكُوْتِ وَالْكَتْمِ عِنْدَ الْمَصَائِبِ. وَقَدْ أَمَرَ الشَّرْعُ بِالْعَقِيْقَةِ عِنْدَ الْوِلاَدَةِ وَهِيَ إِظْهَارُ شُكْرٍ وَفَرَحٍ بِالْمَوْلُوْدِ وَلَمْ يَأْمُرْ عِنْدَ الْمَوْتِ بِذَبْحٍ وَلاَ غَيْرِهِ، بَلْ نَهَى عَنِ النِّيَاحَةِ وَإِظْهَارِ الْجَزَعِ. فَدَلَّتْ قَوَاعِدُ الشَّرِيْعَةِ عَلَى أَنَّهُ يَحْسُنُ فِيْ هَذَا الشَّهْرِ إِظْهَارُ الْفَرَحِ بِوِلاَدَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُوْنَ إِظْهَارِ الْحُزْنِ فِيْهِ بِوَفَاتِهِ. [1]
“Sungguh kelahiran Nabi Saw merupakan nikmat teragung dan wafatnya adalah musibah terbesar bagi kita. Sementara itu, Syarî’at menganjurkan untuk menampakkan rasa syukur atas kenikmatan dan sabar, diam serta menyimpan sendiri saat ada musibah. Syarî’at memerintah aqiqah saat kelahiran yang merupakan ungkapan rasa syukur dan bahagia atas kelahiran si bayi dan tidak memerintahkan menyembelih hewan dan selainnya saat kematian. Bahkan melarang niyâhah (meratapi mayit) dan mengungkapkan kedukaan. Maka Kaidah Syarî’at menunjukkan, sungguh bagus mengungkapkan kebahagiaan atas kelahiran Nabi Saw pada bulan (Rabî’ al-Awwal) ini, bukan mengungkapkan duka cita atas wafatnya.”
Pendapat ini didukung oleh Ibn Rajab al-Hanbali yang mengecam kaum Rafîdhah, salah satu sekte Syî’ah yang menjadikan bulan ’Asyurâ` sebagai bulan duka cita atas kematian Sayyid Husain. Beliau berkata;
“Allâh Swt dan RasulNya tidak memerintahkan hari-hari musibah dan kematian para Nabi sebagai hari duka cita, maka bagaimana dengan orang yang (derajatnya) di bawah mereka?”[2]
Pengkultusan Rasulullah SAW
Pihak menentang Mauludan juga menganggapnya sebagai bentuk pengultusan terhadap Rasulullâh Saw yang menggiring masyarakat dari sebatas mengagungkannya sebagai Rasul (baca: hanya seorang manusia), sampai menuhankannya. Contoh nyatanya, petikan kasidah al-Bushiri dalam al-Burdah;
دَعْ مَا ادّّعَتْهُ النَّصَارَى فِيْ نَبِيِّهِمِ $ وَانْسُبْ إِلَى قَدْرِهِ مَا شِئْتَ مِنْ عَظَمِ
وَانْسُبْ إِلَى ذَاتِهِ مَا شِئْتَ مِنْ شَرَفِ $ وَاحْكُـمْ بِمَــا شِئْتَ مَدْحًــا فِيْهِ وَاحْتَكِمِ
فَإِنَّ فَضْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَيْسَ لَهُ $ حَــدٌّ فَيَعــْرِبُ عَــنْهُ نَاطِــقٌ بِفَمِّ
“Tinggalkanlah pujian yang diakui Nasrani bagi Nabi-nabinya. Sematkankan keagungan semau Anda pada derajatnya (Rasulullah Saw). Predikati dzatnya dengan kemuliaan sesuka Anda. Pujilah dengan pujian yang kau puji, dan jagalah hikmahnya. Sebab, niscaya keutamaan Rasulullâh tak terbatas. Maka semesta pengucap mendemonstrasikan dengan lisannya.”
Karenanya, wajar bila mereka tidak puas membid’ahkan masyarakat yang senang dengan Mauludan, bahkan tidak segan mengafirkannya. Naûdzubillâh. Mereka berdalih dengan hadîts;
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ: سَمِعْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: لاَ تُطْرُونِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ (رواه البخاري)
“Dari Ibn ‘Abbâs, ia mendengar ‘Umar Ra berkhotbah di atas mimbar: “Aku mendengar Rasulullâh Saw bersabda; “Jangan Engkau puji aku (secara berlebihan), seperti kaum Nasrani memuji anak laki-laki Maryam, karena aku hanyalah hambaNya. Maka, ucapkanlah hamba Allâh Swt dan RasulNya.” (HR. al-Bukhâri)
Tidak Ada Pengultusan Rasulullah SAW
Di sinilah letak kesalahannya, hadîts ini tidak bisa dijadikan dalil pelarangan Mauludan karena di dalamnya terdapat pengultusan Rasulullah Saw. Sebab, pengultusan yang dilarang hadîts tersebut adalah yang menyerupai pengultusan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa As, Yaitu anggapan mereka bahwa Nabi Isa As adalah anak Allah SWT, seperti yang disampaikan al-Qurthubi (600-671 H/1204-1273 M) dalam tafsirnya;
وَأَمَّا قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ صَحِيْحِ الْحَدِيْثِ لاَ تُطْرُونِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ وَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُه فَمَعْنَاهُ لاَ تَصِفُوْنِيْ بِمَا لَيْسَ فِيَّ مِنَ الصِّفَاتِ تَلْتَمِسُوْنَ بِذلِكَ مَدْحِيْ كَمَا وَصَفَت النَّصَارَى عِيْسَى بِمَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَنَسَبُوْهُ إِلَى أَنَّهُ ابْنُ اللهِ فَكَفَرُوْا بِذلِكَ وَضَلُّوْا
“Dan sedangkan makna sabda Nabi Saw dalam Hadîts shahîh; “Jangan engkau puji aku (dengan berlebihan), seperti kaum Nasrani memuji anak laki-laki Maryam. Dan ucapkanlah hamba Allâh Saw dan RasulNya” adalah jangan kalian sifati diriku dengan sifat-sifat yang tidak aku punyai, yang engkau gunakan untuk pujianku, seperti kaum nasrani menyifati Isa As dengan sifat yang tidak ia miliki. Kemudian mereka menganggapnya sebagai anak Allâh Swt, Karenanya mereka kufur dan tersesat.”[3]
Berbeda dengan yang terjadi dalam Mauludan, pengultusan atau puja-puji yang dilakukan tidak sampai mencerabut Nabi Saw dari kemanusiawiannya dan menganggapnya sebagai Tuhan, namun sebatas menyebutkan keutamaan sifat kenabian dan akhlâqul karîmahnya. Begitu pula petikan syair al-Burdah di atas, jika kita cermati, al-Bushiri sendiri tidak membebaskan pujian kepada Nabi Saw secara mutlak.
Pada bait pertama al-Bushiri memeringatkan agar menghindari pujian gaya kaum Nasrani yang sampai menganggap Nabi Isa As sebagai anak Tuhan. Selain itu, ia membebaskan pujian bagi Nabi Saw dengan ungkapan:
وَانْسُبْ إِلَى قَدْرِهِ مَا شِئْتَ مِنْ عَظَمِ
وَانْسُبْ إِلَى ذَاتِهِ مَا شِئْتَ مِنْ شَرَفٍ وَاحْكُـمْ بِمَــا شِئْتَ مَدْحًــا فِيْهِ
“Sematkankan keagungan semaumu pada derajatnya (Muhammad SAW)
Predikati dzatnya dengan kemuliaan sesukamu, pujilah dengan pujian nan kau puji.”
Bait inilah yang dianggap kontrovesial hingga menyulut sebagian orang mengklaim kasidah al-Burdah sebagai syair-syair syirik. Namun perlu dipahami, bahwa al-Bushiri tidak berhenti di sini saja, ia melanjutkan dengan kata وَاحْتَكِمِ “dan jagalah hikmahnya.” Artinya, dalam memuji Rasulullâh Saw juga harus mempertimbangkan kelayakan pujian itu baginya. Sebagaimana penjelasan Syaikh Ibrâhîm al-Bâjûri (1197-1277 H/1784-1860 M);
وَقَوْلُهُ وَاحْتَكِمِ أَيْ رَاعِ الْحِكْمَةَ فِيْ مَدْحِكَ لَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَنْ تَأْتِيَ بِمَدْحِ اللاَّئِقِ بِجِنَابِهِ الشَّرِيْفِ وَقَدْرِهِ الْمُنِيْفِ دُوْنَ غَيْرِ اللاَّئِقِ بِذَلِكَ الْجِنَابِ
“Dan ucapan al-Bushiri: wahtakimi, artinya jagalah hikmah dalam pujianmu kepada Rasul Saw dengan melakukan pujian yang pantas dengan pangkat mulia dan derajat tingginya, bukan pujian yang tidak layak dengannya.”[4]
Alhasil, klaim Mauludan sebagai acara yang dapat menggiring pada kesyirikan adalah asumsi belaka dan terbukti jauh dari etika. Bahkan dengan aksi pembid’ahan dan penyirikan ini bisa jadi mereka berdiri di pinggir jurang bid’ah dan syirik yang mereka gali sendiri.
Mahal al-Qiyâm
Dalam pembacaan berbagai kitab maulid Nabi Saw, kita mengenal istilah mahal al- qiyâm, yakni berdiri yang dilakukan para jamaah saat penuturan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Satu contoh dalam al-Barzanji, yaitu tatkala pembacaan sampai pada syair;
وَمُحَيًّا كَالشَّمْسِ مِنْكَ مُضِيءٌ $ أَسْفَرَّتْ عَنْهُ لَيْلَةٌ غَرَّاءُ …
وَتَوَالَتْ بُشْرَى الْهَوَاتِفِ أَنْ قَدْ $ وُلِدَ الْمُصْطَفَى وَحَقَّ الْهَنَآءُ
“Dan wajahnya bak mentari nan bersinar dariMu malam terang bercahanya karenaMu … dan kabar gembira nan misteri tak henti-henti yakni, niscaya Nabi pilihan terlahir dan suka cita jadi fakta.”
Sesuai dengan anjuran dalam frase setelahnya, berdiri saat menuturkan kisah kelahiran telah dianggap baik oleh para ulama. Beliau menyebutkan;
هذَا وَقَدِ اسْتَحْسَنَ الْقِيَامَ عِنْدَ ذِكْرِ مَوْلِدِهِ الشَرِيْفِ أَئِمَّةٌ ذَوُوْ رِوَايَةٍ وَرَوِيَّةٍ
فَطُوْبَى لِمَنْ كَانَ تَعْظِيْمُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَايَةَ مَرَامِهِ وَمَرْمَاهُ
“Mengertilah! Para Imam yang punya riwayat dan analisa kuat menilai baik berdiri tatkala penuturan kelahiran Nabi Muhammad yang mulia. Maka sungguh beruntung pribadi yang puncak asa dan harapannnya adalah mengagungkan Muhammad Saw.”
Namun, banyak orang yang kurang memahami sering menyalahkannya dengan berbagai alasan, di antaranya adalah:
- Para jamaah pembaca maulid menyangka Nabi Saw dengan jasadnya hadir di majelis maulid pada waktu tersebut.
- Berdiri saat mahallul qiyâm merupakan bid’ah.
- Bertentangan dengan beberapa hadîts yang melarang berdiri untuk mengagungkan Nabi Saw.
Sebelum meyikapi beberapa alasan di atas, perlu diingat kembali bahwa kelahiran Nabi SAW merupakan rahmat agung dari Allah Swt. Sesuai dengan catatan sejarah, kelahiran Nabi Muhammad Saw disertai berbagai peristiwa luar biasa, seperti cahaya yang keluar menyinari kerajaan Syiria, sebagaimana dijelaskan dalam hadits;
وَإِنَّ أُمَّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَتْ حِيْنَ وَضَعَتْهُ نُورًا أَضَاءَتْ لَهُ قُصُوْرُ الشَّامِ (رواه أحمد الحاكم وابن حبان)
“Dan sungguh Ibunda Rasulullâh Saw saat melahirkannya melihat cahaya yang menyinari istana Kerajaan Syam.” (HR. Ahmad, al-Hâkim, Ibn Hibbân)
Status hadîts ini shahîh, sesuai hemat al-Hâkim dan Ibn Hibbân. Hadits ini juga disebutkan al-‘Asqalâni dalam Fath al-Bârinya.[5]
Sangkaan Rasul Hadir Perlu Diluruskan
Tatkala lahir Rasulullah Saw bertumpu pada kedua telapak tangan dan lututnya, menegakkan kepala ke langit, sebagai isyarat atas kepemimpinannya kelak,[6] serta berbagai peristiwa luar biasa lainnya yang telah dimengerti secara jelas oleh orang-orang yang gemar membaca kisah hidupnya. Akankah kelahiran Rasulullah Saw ini bukan hal yang luar biasa? Nikmat agung yang pantas dirayakan dan diperingati oleh umatnya? Jika kita memahaminya, maka dengan mudah kita akan mampu menjawab berbagai alasan yang dikemukakan sebagian orang yang tidak setuju dengan tradisi Mauludan sebagaimana di atas. Berikut jawaban dari tiga alasan penolakan tradisi mahal al-Qiyam di atas:
Kalau memang ada sebagian jamaah yang menyangka bahwa Rasulullah Saw hadir dengan jasadnya di setiap majelis maulid, terlebih saat mahallul qiyâm, maka prasangka inilah yang perlu diluruskan. Tentu dengan cara yang sopan, sesuai dengan dakwah Islam yang penuh hikmah. Sebab, Rasulullah Saw terlalu bersih dan suci kalau hanya dikatakan beliau keluar dari kubur dan dengan jasadnya menghadiri suatu majelis pada jam tertentu. Meski begitu, kita tetap meyakini bahwa kehidupan Rasulullah Saw di alam barzah adalah kehidupan sempurna sesuai derajat agungnya. Dengan kehidupan sempurna inilah bisa jadi ruh beliau hadir dalam berbagai majelis kebajikan. Majelis pembacaan kitab maulid adalah salah satunya, sesuai fatwa Imam Mâlik (93-179 H/712-790 M), pendiri madzhab Mâliki;
وَقَالَ مَالِكٌ بَلَغَنِيْ أَنَّ الرُّوْحَ مُرْسَلَةٌ تَذْهَبُ حَيْثُ شَاءَتْ[7]
“Dan Imam Mâlik berkata: “Telah sampai riwayat padaku, sungguh ruh itu dilepas, pergi ke mana ia mau.”
Terkait hal ini al-Barzanji mengungkapan:
وَقَدْ سَنَّ أَهْلُ الْعِلْمِ وَالْفَضْلِ وَالتُّقَى $ قِيَاماً عَلَى الأَقْدَامِ مَعَ حُسْنِ إِمْعَانْ
بِتَشْخِيْصِ ذَاتِ الْمُصْطَفَى وَهُوَ حَاضِرُ $ بِأَيَّ مــَقَــامٍ فِيْـهِ يُـذْكـَرُ بَـــلْ دَانْ
“Dan ahli ilmu, keutamaan serta ketakwaan telah membiasakan berdiri di atas telapak kaki dengan penuh penghayatan Menghadirkan sosok Nabi (di hati) seraya kehadiran(ruh)nya di mana pun ia dituturkan, bahkan ia mendekat.”
Maka dipahami, bahwa berdiri saat mahal al-qiyâm dalam pembacaan kitab-kitab maulid pada dasarnya adalah tidak wajib ataupun sunnah, namun mengikuti tradisi ulama. Hanya gerakan (posisi) yang menjadi bahasa tubuh (body language), simbol atau ungkapan kebahagiaan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw. Ketika kelahirannya dikisahkan, pendengar membayangkan seolah seluruh jagat raya bergetar bahagia dan bersuka cita atas nikmat agung ini, lalu ia berdiri menampakkan kebahagiaannya.[8]
Anggapan bid’ah pada mahal al-qiyâm karena alasan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullâh Saw dan generasi salaf setelahnya adalah asumsi sempit dan kerdil. Jika mau jujur, berdiri pada kesempatan ini adalah simbol kebahagiaan yang hanya sekedar adat atau kebiasaan. Maka jika kita ikuti prinsip kerdil tersebut, semua kebiasaan yang muncul belakangan setelah masa awal Islam akan menjadi bid’ah Tentu kita sangat kesulitan dan bahkan tidak mungkin menghindari bid’ah dengan pola pikir semacam ini. Sementara itu, peradaban dan pola hidup manusia terus berubah sesuai gerak dinamis perkembangan zaman. Kendati demikian, tidak berarti berdiri saat mahal al-qiyâm lepas dari sejarah dan analisa ulama. Terbukti, sebelum tradisi ini populer, berdiri karena mendengar pujian pada Nabi Saw pernah dicontohkan ulama. Dalam ath-Thabaqât al-Kubrâ, Abdul Wahhâb bin ‘Ali bin Abdul Kâfi as-Subki alias Taj as-Subki (727-771 H/1327-1370 M), mencatat kisah ayahnya, Imam Taqiyuddîn as-Subki (683-756 H/1283-1355 M), saat khataman suatu pelajaran di Masjid Agung al-Umawi,[9] Damaskus, Syiria, beliau bersama ulama semasanya mendengar untaian syair pujian Nabi Muhammad Saw karya Yahya bin Yûsuf as-Sharshari (588-656 H/1192-1258 M), seorang ulama madzhab Hanbali periode awal. Berikut ini petikannya:
قَلِيْلٌ لِمَدْحِ الْمُصْطَفَى الْخَطُّ بِالذَّهَبْ | عَلَى فِضَّةٍ مِنْ خَطٍّ أَحْسَنُ مِنْ كُتُبْ
وَأَنْ يَنْهَـضَّ اْلأَشْــرَافُ عِنْدَ سِمَاعِـهِ | قِيَـامًا صُـفُوْفًا أًوْ جَثِيَّا عَلَى الرَّكْبِ
أَمَا اللهُ تَعْظِيْمًا لَــهُ كَـتَـبَ اسْــمَهُ | عَلَى عَرْشِهِ يَا رُتْبَةَ سَمَتِ الرُّتَبَ
“Sedikit pujian bagi Nabi nan terpilih. Tulisan emas tergores pada perak lebih baik dari kitab-kitab. Dan orang-orang mulia bangkit saat mendengarnya. Baris berdiri atau duduk bertumpu lutut. Ingatlah! Karena memuliakan, Allâh mengukir namanya di ‘Arsy. Wahai pemilik derajat agung nan unggul atas seluruh derajat!”
Ketika sampai bait ke dua, Imam Taqiyuddin as-Subki berdiri mengikuti ajakan syair ash-Sharshari, kemudian diikuti oleh semua hadirin. Tiba-tiba, mereka semua merasakan aura luar biasa.[10] Dari peristiwa ini, maka wajar bila pada enam ratusan tahun berikutnya Ja’far bin Hasan bin Abdul Karîm dalam Maulid al-Barzanjinya mengatakan, bahwa berdiri saat mahal al-qiyâm atau penuturan kisah kelahiran Rasulullâh Saw merupakan tradisi yang telah dianggap baik oleh ulama, mengingat tujuan mulianya yaitu mengagungkan Rasulullâh Saw. Tidak lain ulama yang dimaksud adalah Yahya bin Yûsuf ash-Sharshari, Taqiyuddîn as-Subki dan ulama semasanya.
Selain itu, tidakkah makan dan minum yang sifatnya mubâh, jika diniati agar mampu beribadah juga merupakan ibadah? Begitu pula berdiri dengan motif mengagungkan Rasulullâh Saw. Bahkan, jika kebiasaan ini telah mengakar kuat sebagaimana sekarang, maka meninggalkannya berarti meremehkan Nabi Saw. Sebagaimana hemat Muhammad ‘Ali bin Husain al-Mâliki (1287-1367 H/1870-1948 M), seorang Ulama madzhab Mâliki kota Makkah yang pernah melakukan lawatan ke Nusantara, dalam Tahdzhîb al-Furûqnya:
قُلْتُ: وَمِنْ هَذَا، الْقِيَامُ عِنْدَ ذِكْرِ مَوْلِدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تِلاَوَةِ الْقِصَّةِ، فَقَدْ قَالَ الْمَوْلَى أَبُو السُّعُودِ: أَنَّهُ قَدْ اُشْتُهِرَ الْيَوْمَ فِي تَعْظِيمِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاعْتِيْدَ فِي ذَلِكَ، فَعَدَمُ فِعْلِهِ يُوجِبُ عَدَمَ الاكْتِرَاثِ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَامْتِهَانَهُ، فَيَكُونُ كُفْرًا مُخَالِفًا لِوُجُودِ تَعْظِيمِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اهـ. أَيْ إنْ لاَحَظَ مَنْ لَمْ يَفْعَلْهُ تَحْقِيرَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ وَإِلاَّ فَهُوَ مَعْصِيَةٌ. [11]
“Aku berkata: “Termasuk yang wajib dilakukan (walaupun tidak pernah dilakukan generasi salaf) adalah berdiri saat penyebutan kelahiran Nabi Saw dalam pembacaan kisahnya. Sungguh Sayyid Abû Su’ûd (898-982 H/1493-1574 M) berkata: “Sungguh dewasa ini berdiri dalam memuliakan Rasulullâh Saw telah populer dan membudaya. Maka tidak melakukannya berarti tidak memerhatikan Nabi Saw dan meremehkannya. Maka eorang yang tidak melakukannya dapat divonis kufur, menentang atas wujud penghormatan kepadanya.” Selesai. Maksudnya, jika orang yang tidak berdiri tersebut punya niat meremehkan Nabi Saw, jika tidak, maka ia (hanya) maksiat (saja).”
Maka tidak berlebihan jika di kemudian hari, Ibn Hajar al-Haitami dalam an-Ni’mat al-Kubrâ, Sayyid Muhammad ‘Alwi al-Mâliki dalam Haul al-Ihtifâl dan Syaikh Yûsuf Khaththâr dalam Mausû’ah al-Yûsufiyahnya berpendapat, bahwa berdiri pada kesempatan ini juga mempunyai dasar hadist yang jelas, yaitu:
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ قَبِيْحًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ قَبِيْحٌ
“Suatu perkara yang baik menurut muslimin, maka baik pula menurut Allâh SWT dan suatu perkara yang buruk menurut muslimin, maka buruk pula menurut Allâh SWT.” (HR. Imam Ahmad, al-Bazzar dan Thabrâni)[12]
Predikat semua perawi Hadîts ini adalah tsiqah, sesuai dengan analisa al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawâidnya.[13]
Dengan Hadîts ini, klaim bid’ah yang ditujukan pada tradisi mahal al-qiyam tertepis dengan sendirinya.
Ada dua hadîts yang dilontarkan mereka tentang larangan menghormati Nabi Saw dengan berdiri, pertama:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَكِّئٌ عَلَى عَصًا فَقُمْنَا إِلَيْهِ فَقَالَ: لاَ تَقُومُوا كَمَا تَقُومُ الْأَعَاجِمُ يُعَظِّمُ بَعْضُهَا بَعْضًا (رواه أحمد وأبو داود والجماعة)
“Dari Abi Umâmah ia berkata; “Rasulullâh Saw keluar menuju kami, sembari berpegangan tongkat, lalu kami berdiri ke hadapannya. Kemudian beliau bersabda: “Jangan Engkau berdiri seperti orang ‘Ajam (non Arab) berdiri. Sebagian mengagungkan yang lain.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dâwud dan Jamâ’ah)
Merujuk at-Thabari, hadîts ini dha’îf dan sanadnya pun mutharrib sehingga tidak bisa dijadikan dalil.[14]
Kedua, hadits:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ (رواه الترمذي وأحمد وابن شيبة)
“Dari Anas, ia berkata: “Tiada sosok yang lebih membahagiakan para sahabat dari pada Rasulullâh Saw.” Ia berkata: “Dan saat melihat beliau, mereka tidak berdiri karena mengetahui ketidaksukaan Nabi Saw dengan berdiri tersebut.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibn Syaibah)
Dengan tegas Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa hadîts ini berpredikat hasan-shahih, sehingga dapat dijadikan dalil. Kendati demikian, para ulama semisal an-Nawawi dan ath-Thîbi, tidak mengartikan hadîts ini secara tekstual.[15] Mengapa Nabi Saw tidak suka para sahabatnya berdiri menghormati beliau? Menurut ath-Thîbi, bisa jadi ketidaksukaan Nabi Saw disebabkan kuatnya mahabbah di antara hati beliau dan para sahabatnya. Ketika mahabbah memuncak, maka mewujudkan penyatuan jiwa sehingga mengenyampingkan (tidak perlu) basa-basi layaknya orang yang sekedar kenal. Berdasar ucapan sahabat:
لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ[16]
“ Tiada sosok yang lebih membahagiakan para sahabat dari pada Rasulullâh Saw.”
Hal ini terbukti dalam tinjauan Imam al-Ghazâli:
“Saat penyatuan jiwa sempurna, maka hak-hak (etika pergaulan) di antara mereka menjadi tidak berarti. Seperti berdiri, beralasan dan memuji. Karena, kendatipun hal itu adalah hak berteman, namun memuat pemisah dan kepura-puraan. Ketika penyatuan jiwa sempurna, hamparan basa-basi akan terlipat (tidak berarti) semua. Maka, tidaklah seseorang akan memperlakukan rekannya melainkan sebagaimana memperlakukan diri sendiri. Saat hati dibeningkan rasa cinta, maka ia tidak membutuhkan ungkapan isi hati.”[17]
Jadi jelas, penolakan Nabi Saw atas berdiri yang dilakukan sahabat bukan karena Nabi Saw melarang mereka menghormati beliau dengan berdiri saat bertemu, namun tiada lain karena basa-basi itu tidak diperlukan lagi, mengingat keakraban dan kesatuan jiwa antara Nabi Saw dan sahabatnya. Karenanya, hadîts kedua ini pun tidak bisa menjadi dasar pelarangan berdiri menghormati Nabi Muhammad Saw seperti hadîts pertama. Terbukti beliau sendiri menganjurkan para sahabat untuk berdiri demi menghormati tokoh mereka, Nabi Saw bersabda;
عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ هُوَ ابْنُ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ بَنُوْ قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدٍ، هُوَ ابْنُ مُعَاذٍ، بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ قَرِيبًا مِنْهُ، فَجَاءَ عَلَى حِمَارٍ. فَلَمَّا دَنَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ. فَجَاءَ، فَجَلَسَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ : إِنَّ هَؤُلاَءِ نَزَلُوا عَلَى حُكْمِكَ قَالَ: إِنِّى أَحْكُمُ أَنْ تُقْتَلَ الْمُقَاتِلَةُ وَأَنْ تُسْبَى الذُّرِّيَّةُ. قَالَ: لَقَدْ حَكَمْتَ فِيهِمْ بِحُكْمِ الْمَلِكِ (متفق عليه)
“Dari Sa’d bin Ibrâhîm, dari Abu Umâmah, yaitu putra Sahl bin Hunaif dari Abu Sa’îd al-Khudri RA, ia berkata: “Saat Bani Quraidhah sepakat atas putusan hukum Sa’d, yakni putra Mu’âdz, Rasulullâh Saw mengutus (utusan kepadanya untuk menghadap). Sementara itu, ia berada di (tempat yang) dekat Rasulullâh Saw. Lalu ia datang dengan mengendarai keledai. Ketika sudah dekat, Rasulullâh Saw bersabda; “Berdirilah kalian karena tuan kalian.” Lalu Sa’d tiba dan duduk di dekat Rasulullâh Saw, kemudian beliau bersabda: “Mereka sepakat atas keputusan hukummu.” Sa’d berkata: “Sungguh aku putuskan, orang-orang yang memerangi harus dibunuh dan keluarga mereka ditawan.” Rasulullâh Saw bersabda: “Niscaya Engkau memberi hukum mereka dengan hukum (Allâh) Yang Maha Merajai.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam Hadîts ini Nabi Saw memerintah para sahabat agar berdiri menghormati kedatangan Sa’d bin Mu’âdz, sahabat yang dipercaya memutuskan hukum bagi Bani Quraidhah setelah pengepungan mereka.[18]
Di lain kesempatan Nabi Muhammad Saw pernah membiarkan salah seorang sahabatnya, Hassan bin Tsâbit Ra, berdiri menghormati beliau. Saat bertemu Nabi Saw, ia bangkit dan mendendangkan syair:
قِيَامِيْ لِلْعَزِيـزِ عَــلَيَّ فَــرْضٌ $وَتَرْكُ الْفَرْضِ مَا هُوَ مُسْتَقِيمُ
عَجِبْتُ لِمَنْ لَهُ عَقْلٌ وَفَهْمٌ $ يَرَى هَذَا الْجَمَالَ وَلاَ يَقُومُ
“Berdiriku (karena menghormati Nabi Saw) yang mulia adalah keniscayaan,. meninggalkan kewajiban itu tidak benar. Aku heran pada orang cerdik pandai, melihat keelokan ini (Nabi) dan enggan berdiri.”
Keputusan Nabi Saw membiarkan tindakan Hassan ini merupakan wujud pengakuan atas legalitas berdiri bagi orang yang dimuliakan, atau bisa dikatakan berdiri menghormati orang mulia hukumnya sunnah berdasarkan penetapan Nabi (sunnah taqririyah). Karenanya, dikenal peribahasa;
مُرَاعَاةَ اْلأَدَبِ خَيْرٌ مِنِ امْتِثَالِ الْأَمْرِ
“Mendahulukan etika lebih baik dari pada mematuhi perintah.”[19]
Maka bisa disiimpulkan, bahwa larangan berdiri untuk menghormati Nabi Saw tersebut dikarenakan ketawadhu’annya, bukan berarti beliau benar-benar melarangnya. Wallâhu ‘A’lam bish Shawâb.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Asqalâni, Ibn Hajar. Tth. Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari Juz VI, Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Bâjûri, Ibrâhîm. Tth. Hâsyiyah al-Bâjûri, Surabaya: al-Hidâyah.
Al-Bantani, Muhammad Nawawi. Tth. Syarh Madârij ash-Shu’ûd, Surabaya: al-Hidâyah.
Baca Daftar Pustaka Lengkap
Al-Bujairami, Sulaimân bin Muhammad. 1417 H/1996 M. Tuhfah al-Habib ‘ala al-Khatib Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al’Ilmiyah.
Al-Haitami, Ibn Hajar. 2003. Ni’mat al-Kubrâ ‘alâ al-‘Alâm fî Maulid Sayyid Walad Âdam, Istanbul: Maktabah al-Haqîqah.
Al-Haitsami, Nurruddin. 1422 H/2001 M . Majma’ as-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al-Hasani, Muhammad bin ‘Alawi al-Mâliki. Tth. Haul al-Ihtifâl bi al-Maulid an-Nabawi asy-Syarîf, ttp.: Dabi’.
Al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim. 1406 H/1986 M. Ar-Ruh fi al-Kalam ‘ala Arwah al-Ahya’ wa al-Amwat Juz II, Riyadh: Dar Ibn Taimiyah.
Al-Mâliki, Muhammad ‘Ali bin Husain, “Tadzhib al-Furuq pada al-Furuq; Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq Juz IV”, CD al-Maktabah asy-Syamilah.
Al-Qâri, Muhammad. “Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih Juz XIII”, CD al-Maktabah asy-Syamilah.
Al-Qurthubi. Tth. Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân Juz V, Beirut: Dâr al-Fikr.
An-Nawawi. 1978. Shahîh Muslim bi Syarh an-Nawawi Juz XII, Beirut: Dâr al-Fikr.
Ash-Shâlihi, Muhammad bin Yûsuf. 1418 H/1997 M. Subul al-Hudâ wa ar-Rasyâd fî Sîrah Khair al-‘Ibâd Juz I, Kairo: Wazarah al-Auqaf al-Majlis al-A’la li Syu’un al-Islamiyah.
As-Subki, Abdul Wahhâb bin ‘Ali. “Thabaqât asy-Syâfi’iyah al-Kubrâ Juz X”, CD al-Maktabah asy-Syâmilah.
As-Suyuthi, Abdurrahman. 1403 H/1983 M. Al-Hawi li al-Fatâwa Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Baththâl, Ibn. “Syarh Shahih al-Bukhari Juz IX”, CD al-Maktabah asy-Syâmilah.
Muhammad, Yûsuf Khattâr. 1997. Al-Mausu’ah al-Yusufiyah Juz I, Damaskus: Mathba’ah Nadhar.
[1] Abdurrahman as-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatâwa Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H/1983 M), 194. [2] Ibid. [3] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân Juz V (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), 247. [4] Ibrâhîm al-Bâjûri, Hâsyiyah al-Bâjûri (Surabaya: al-Hidâyah, tth.), 26. [5] Ibn Hajar al-‘Asqalâni, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari Juz VI (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth.), 583. [6] Muhammad bin Yûsuf ash-Shâlihi, Subul al-Hudâ wa ar-Rasyâd fî Sîrah Khair al-‘Ibâd Juz I (Kairo, Wazarah al-Auqaf al-Majlis al-A’la li Syu’un al-Islamiyah, 1418 H/1997), 412. [7] Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, ar-Ruh fi al-Kalam ‘ala Arwah al-Ahya’ wa al-Amwat Juz II (Riyadh: Dar Ibn Taimiyah, 1406 H/1986 M), 374. [8] Muhammad bin ‘Alawi al-Mâliki al-Hasani, Haul al-Ihtifâl bi al-Maulid an-Nabawi asy-Syarîf (ttp.: Dabi’, tth.), 36-38. [9] Didirikan oleh al-Wâlid bin Abdul Mâlik dengan memakan waktu sepuluh tahun, Dzul Qa’dah 86-96 H. [10] Abdul Wahhâb bin ‘Ali as-Subki, “Thabaqât asy-Syâfi’iyah al-Kubrâ Juz X”, 101-102. CD al-Maktabah asy-Syâmilah dan Muhammad Nawawi al-Bantani, Syarh Madârij ash-Shu’ûd (Surabaya: al-Hidâyah, tth), 15. [11] Muhammad ‘Ali bin Husain al-Mâliki, “Tadzhib al-Furuq pada al-Furuq; Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq Juz IV”, 428. CD al-Maktabah asy-Syamilah. [12] Al-Hasani, Haul, 41, Yûsuf Khattâr Muhammad, al-Mausu’ah al-Yusufiyah Juz I (Damaskus: Mathba’ah Nadhar, 1999), 147 dan Ibn Hajar al-Haitami, Ni’mat al-Kubrâ ‘alâ al-‘Alâm fî Maulid Sayyid Walad Âdam (Istanbul: Maktabah al-Haqîqah, 2003) 48-49. [13] Nurruddin al-Haitsami, Majma’ as-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1422 H/2001 M), 241. [14] Ibn Baththâl, “Syarh Shahih al-Bukhari Juz IX”, 43. CD al-Maktabah asy-Syâmilah. [15] Al-‘Asqalâni, Fath Juz XI, 53 dan Muhammad al-Qâri, “Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih Juz XIII”, 484. CD al-Maktabah asy-Syamilah. [16] Ibid. [17] Ibid. [18] An-Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh an-Nawawi Juz XII (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), 93. [19] Sulaimân bin Muhammad al-Bujairami, Tuhfah al-Habib ‘ala al-Khatib Juz IV (Beirut: Dar al-Kutub al’Ilmiyah, 1417 H/1996 M), 120.Ilustrasi: Freepik