Home Akidah Tidak Benar Mengatakan Doa Bisa Mengubah Takdir

Tidak Benar Mengatakan Doa Bisa Mengubah Takdir

0
Tidak Benar Mengatakan Doa Bisa Mengubah Takdir
Tidak Benar Mengatakan Doa Bisa Mengubah Takdir

Doa bisa mengubah takdir. Demikian seringkali kita dengar idiom ini. Mulai dari obrolan tongkrongan, hingga dari para penyampai risalah Nabi. Dan, secara zahir, literer, memang terdapat hadis Rasulullah saw. yang menyatakan demikian.

Berikut teks hadis tersebut.

عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ، وَلَا يُرَدُّ الْقَدْرُ إِلَّا بِالدُّعَاءِ، وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ إِلَّا الْبِرُّ»

Diriwayatkan dari Tsauban, Rasulullah saw. berkata, “Sungguh seseorang seharusnya terhalang rizkinya sebab dosa yang dilakukannya. Dan takdir Allah tidaklah bisa ditolak kecuali dengan doa. Dan tidak akan bertambah umur seseorang kecuali dengan (berbuat) kebaikan.

Hadis ini dinyatakan sahih oleh Ibnu Hibban, dan dinyatakan hasan oleh Imam Turmudzi dari jalur rawi yang berbeda.

Idiom “doa bisa mengubah takdir” juga dapat kita terka dari doa yang pernah dipanjatkan Ibnu Umar r.a. Seperti di bawah ini.

اللهم ان كنت كتبتني شقيا فامحني واكتبني سعيدا

Ya Allah, jika engkau mencatatku sebagai orang yang celaka, maka leburlah catatan itu, dan gantilah catatanku menjadi orang yang beruntung.

Problematika Doa dan Takdir

Ada beberapa masalah yang timbul ketika kita mengartikan “doa bisa mengubah takdir” hanya secara literer. Boleh jadi, akan ada anggapan bahwa Allah menggantungkan selamat dan celakanya seseorang dengan doa. Bisa jadi pula, ketika pada kenyataannya takdir tidak sesuai dengan doanya, itu akan merusak mental seorang hamba yang telah berdoa dengan sungguh sungguh.

Oleh karena itu, kita perlu melihat penjelasan rinci dari para ulama terkait makna hadis tersebut. Dan akidah kita sendiri telah menyebut bahwa semua takdir Allah sudah final sejak zaman azali dan tidak mungkin diubah-ubah lagi.

Abu Hatim, seorang ulama ahli hadis, pernah mengatakan:

قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْخَبَرِ لَمْ يُرِدْ بِهِ عُمُومَهُ، وَذَاكَ أَنَّ الذَّنْبَ لَا يَحْرِمُ الرِّزْقَ الَّذِي رُزِقَ الْعَبْدُ، بَلْ يُكَدِّرِ عَلَيْهِ صَفَاءَهُ إِذَا فَكَرَّ فِي تَعْقِيبِ الْحَالَةِ فِيهِ. وَدَوَامُ الْمَرْءِ عَلَى الدُّعَاءِ يُطَيِّبُ لَهُ وُرُودَ الْقَضَاءِ، فَكَأَنَّهُ رَدَّهُ لِقِلَّةِ حِسِّهِ بِأَلَمِهِ، وَالْبِرُّ يُطَيِّبُ الْعَيْشَ حَتَّى كَأَنَّهُ يُزَادُ فِي عُمْرِهِ بِطِيبِ عَيْشِهِ، وَقِلَّةِ تَعَذُّرِ ذَلِكَ فِي الْأَحْوَالِ

Sabda Nabi saw. di dalam hadis ini tidaklah menghendaki makna globalnya. Dosa bukanlah penghalang rizki yang telah ditentukan untuk seorang hamba. Tetapi, dosa akan mengotori kebersihan rizki itu ketika seorang hamba memikirkan akibat di dalamnya.

Lalu, seorang hamba yang terus menerus berdoa, maka akan mempermudah baginya untuk menghadapi kenyataan takdir. Ini seolah-olah doa yang ia panjatkan telah ‘menolak takdir’, karena beban yang semestinya berat untuk dia rasakan, menjadi ringan.

(Adapun tentang kebaikan dapat memanjangkan umur), kebaikan akan mempermudah jalannya kehidupannya, sehingga seolah-olah seorang hamba telah ditambah umurnya dengan kemudahan hidupnya, dan sedikit pula kesulitan keadaan di dalam hidupnya.

Syeikh Abdurrahman al-Mubarakfuriy juga berpendapat serupa. Ia menulisnya di dalam kitabnya, Tuhfatul Ahwazdi Syarh Sunan at-Turmudzi. Ahli hadis dari India itu mengatakan:

وَتَأْوِيلُ الْحَدِيثِ أَنَّهُ إِنْ أَرَادَ بِالْقَضَاءِ مَا يَخَافُهُ الْعَبْدُ مِنْ نُزُولِ الْمَكْرُوهِ بِهِ وَيَتَوَقَّاهُ فَإِذَا وُفِّقَ لِلدُّعَاءِ دَفَعَهُ اللَّهُ عَنْهُ فَتَسْمِيَتُهُ قَضَاءً مَجَازٌ عَلَى حَسَبِ مَا يَعْتَقِدُهُ المتوقى عنه -الى ان قال- أَوْ أَرَادَ بِرَدِّ الْقَضَاءِ إِنْ كَانَ الْمُرَادُ حَقِيقَتَهُ تَهْوِينَهُ وَتَيْسِيرَ الْأَمْرِ حَتَّى كَأَنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ

Takwil dari hadis di atas: jika yang dimaksud dengan qadla’ adalah sesuatu yang ditakuti, lalu ia berdoa agar dihindarkan darinya dan dikabulkan oleh Allah, maka ini disebut qadla’ majazi.

Lalu tentang ‘menolak qadla’’, jika yang dikehendaki adalah makna hakikatnya, maka yang dimaksud adalah meringankan dan memudahkan urusan seorang hamba, sehingga seperti halnya sesuatu (yang ditakuti) itu tidak menimpanya.

Takwil Hadis Tentang Doa

Dua pendapat ulama di atas menggunakan teori takwil untuk menyikapi teks hadis. Takwil adalah mencari makna lain dari makna literer sebuah lafaz.

Teori takwil ini tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Karena jika itu dilegalkan, betapa hancurnya makna lafaz-lafaz di dalam Al-Qur’an atau hadis nantinya di tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Adapun teori takwil dilakukan oleh para ulama, tidak lain tujuannya ialah agar tercipta keselarasan pemahaman agama secara utuh, tanpa adanya kontradiksi antara dalil yang satu dengan lainnya.

Seperti hadis di atas, para ahli hadis tidak serta merta meninggalkan makna literer lafaz “al-qadla’” yang artinya keputusan, dan memakai makna lafaz “al-khauf” yang artinya ketakutan sebagai takwilnya. Takwilan mereka ini bersandar pada hadis Rasulullah saw. yang lain. Yakni hadis yang menjelaskan tentang ruqyah berikut.

الرُّقَى هُوَ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ

Ruqyah (jampi-jampi) itu adalah bagian dari takdir Allah.

Para ahli hadis juga meninggalkan makna literer lafaz “yuraddu” yang artinya menolak, dan memakai makna lafaz “yuhawwanu” dan “yuyassaru” yang artinya “meringangkan” dan “mempermudah”. Pentakwilan ini juga bersandar pada hadis Rasulullah saw. yang lain. Hadis ini diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar r.a.

عن بن عُمَرَ إنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِل

Sesungguhnya doa itu bisa mendatangkan manfaat terhadap apa-apa yang telah turun (menimpa kita) dan apa apa yang tidak diturunkan.

Kesimpulan

Takdir Allah Swt. yang sudah paripurna sejak zaman azali, baik terkait selamat dan celaka, kaya dan miskin, panjang umur atau tidak, tertimpa musibah atau tidak, semuanya tidak bisa diintervensi oleh apapun. Tidak bisa dipinta atau ditolak dengan doa.

Sebab, fungsi doa ‘hanyalah’ untuk mempermudah dan meringankan hati dan jasad kita untuk menerima dan menjalani takdir hidup yang tidak kita sukai. Bahkan alur hidup yang kita benci.

Jika pun takdir Allah Swt. yang turun ternyata sesuai dengan doa kita, maka pada hakikatnya takdir Allah Swt. telah mendahului segalanya.

Wallahu a’lam.