Syeikh Mahfudz at-Tarmisi
(1258-1335 H/1842-1917 M)
   Kabupaten Pacitan adalah salah satu daerah yang cukup terisolir di Pulau Jawa. Daerah ini pernah masuk ke dalam wilayah Jawa Tengah sebelum masuk Propinsi Jawa Timur. Walaupun demikian, wilayah ini telah melahirkan seorang ulama besar tingkat internasional, yakni Syeikh Mahfudz at-Tarmisi. Beliau terkenal sebagai ulama ahli hadits yang tersohor di tanah suci Mekah pada akhir abad ke-19 hingga perempat pertama abad ke-20. Salah seorang muridnya dari al-Jawi (Melayu) yang kemudian menjadi ahli hadits Bukhari dan pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Banyak lagi muridnya di Mekkah yang menjadi ulama di Indonesia, di antaranya KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Mas Mansur dan sebagainya.
   Mahfudz at-Tarmasi al-Jawi sesuai dengan nama belakangnya adalah dari Termas, sebuah desa terpencil di Kecamatan Arjosari, sekitar sepuluh kilometer sebelah utara kota Pacitan, sekitar 300 km sebelah barat daya Surabaya, ibukota Jawa Timur. Muhammad Mahfudz dilahirkan sekitar tahun 1258 H (1842 M), putra Kyai Abdullah, salah seorang putra Kyai Abdul Manan, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Termas.
   Pondok Pesantren Termas Pacitan didirikan sekitar tahun 1830 setelah Perang Diponegoro berakhir. Pendirinya adalah Kyai Abdul Manan, salah seorang tentara anak buah Pangeran Diponegoro, yang setelah kalah perang menyebar dan menyelamatkan diri demi melanjutkan perjuangan yang panjang. Kyai abdul manan mendirikan pesantren dengan dukungan mertuanya, Demang Termas Honggowojoyo. Kyai Abdul Manan memimpin pesantren yang dirintisnya itu hingga 1862, kemudian digantikan oleh putranya, Kyai Abdullah, yang tak lain ayah Syeikh Mahfudz at-Tarmisi. Pondok pesantren di daerah terpencil ini berkembang hingga kini dan ternyata telah banyak melahirkan orang-oang besar baik dari kalangan ulama maupun umara’. Beberapa contoh di antaranya Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (mantan Menteri Agama, RI di Arab Saudi), Prof. KH. Muhammad Adnan (Rektor IAIN Yogyakarta pertama, Hakim Mahkamah Syariah Solo), KH. Ali Maksum (Rois Am Syuriyah NU 1981-1984). H. Azhar Basyir (Ketua Umum Muhammaddiyah) dan masih banyak lagi yang lain termasuk Letnan Jendral H. Muhammad Sarbini yang pernah menjabat Pangdam VIII Brawijaya dan menteri beberapa kabinet.
   Syeikh Mahfudz at-Tarmisi sejak kecilnya mendapatkan pendidikan agama yang cukup bagus, mengingat beliau hidup di lingkungan pesantren yang di asuh oleh kakeknya kemudian dilanjutkan oleh ayahnya. Sebagai putra seorang ulama, Mahfudz memang dipersiapkan oleh orangtuanya untuk menjadi ulama besar penerus perjuangan para leluhurnya, terutama di Pesantren Termas, demikian pula untuk Muhammad Dimyati, adik kandung Mahfudz. Mereka sejak kanak-kanak memang terkenal sebagai anak yang cerdas, sehingga dengan cepat menguasai dasar-dasar ilmu keislaman, mulai dari pengajian kitab suci al-Qur’an maupun kitab-kitab kuning tingkat dasar.
   Sebagai santri yang gemar akan ilmu, mahfudz dan Muhammad dimyati berusaha memperdalam ilmu-ilmu keislaman yang telah mereka dapatkan sebelumnya. Mereka oleh orangtuanya dikirimkan ke tanah suci Mekah al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji, dilanjutkan bermukim di sana untuk melanjutkan pendidikannya. Mahfudz at-Tarmisi belajar kepada ulama-ulama besar di Mekah baik dari kalangan ulama al-Jawi (asal nusantara) maupun ulama-ulama asl Timur Tengah dan belahan dunia lainnya. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Syeikh Ahmad Khatib as-Sambasi, seorang ulama asal Sambas (Kalimantan Barat) yang menetap di Mekah hingga wafatnya (1875). Ulama ini terkenal sebaga seorang sufi yang berhasil menyatukan dua tarekat, yakni Qadriyah dan Naqsabandiyah, menjadi tarekat baru yang disebut Tarekat Qadriyah wan Naqsabandiyah. Diantara murid-murdnya yang terkenal adalah Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Abdul Karim al-Bantani, dan Syeikh Muhammad Khalil (asal Bangkalan Madura). Mereka adalah sahabat senior dan guru dari Mahfudz at-Tarmisi, karena umurnya rata-rata lebih tua dan telah lama berguru kepada Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Gurunya yang lain dari kalangan al-Jawi adalah Syeikh Abdul Ghani Bima (asal Sumbawa), Syeikh Nahrawi, Syeikh Abdul Hamid, Syeikh Yusuf Sumbulawani dan beberapa yang lain.
   Secara lebih khusus, Syeikh Mahfudz at-Tarmisi memperdalam bidang ilmu hadits dan fikih. Beliau berkembang menjadi ulama besar ahli ilmu hadits (muhaddits) dan menjadi isnad (mata rantai) yang sah dalam transmisi intelektual penyampaian hadits Bukhari urutan ke-23 yang mendapatkan ijazah dari gurunya. Mata rantai pengajaran hadits Bukhari dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu perawi ke perawi berikutnya, sesuai dengan silsilah selama berabad-abad berjalan dengan sangat selektif. Tidak sembarang orang dapat menjadi mata rantai pengajaran hadits Bukhari. Pertama kali imam Bukhari (Syeikh Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah ibn Bardizbah al-Bukhari) memberikan ijazah kepada murid kepercayaannya untuk mengajarkan hadits Sahih Bukhari yang telah dibukukannya. Ijazah secara berantai dari seorang guru kepada muridnya, begitu seterusnya dari ulama hadits Bukhari yang senior kepada yuniornya, dari yang tua kepada yang muda. Dari mata rantai dan ijazah berantai itu, Syeikh Mahfudz at-Tarmisi merupakan generasi ke-23, setelah menempuh jarak waktu sekitar 1.000 tahunan (imam Bukhari wafat 241 H).
   Sebagai seorang ulama besar dan ternama di tanah suci Mekah, Syeikh Mahfudz banyak mempunyai murid, baik dari kalangan al-Jawi sendiri maupun dari belahan dunia lainnya, termasuk orang-orang Arab. Di antara muridnya dari Indonesia (al-Jawi) yang paling terkenal adalah Syeikh Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang yang tak lain adalah pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kyai Hasyim Asy’ari adalah murid setia Syeikh Mahfud at-Tarmisi dan secara khusus mempelajari ilmu hadits kepada gurunya itu. Dengan demikian tidak mustahil apabila Syeikh Mahfudz memberikan kepercayaan (ijazah) kepadanya untuk menjadi penerus mata rantai pengajaran hadits Bukhari. Kyai Hasyim Asy’ari merupakan ulama ahli hadits di Indonesia abad ke-20 dan menjadi mata rantai pengajaran hadits Bukhari generasi ke-24.
   Setelah ayahandanya (KH. Abdullah) wafat, pimpinan Pondok Pesantren termas Pacitan seharusnya jatuh ke tangan Syeikh Mahfudz at-Tarmisi. Tetapi ulama ini mengharapkan adiknya, Syeikh Muhammad Dimyati, untuk pulang ke kampong halamannya dan menggantikan ayahandanya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Termas. Syeikh Mahfudz yang memang telah meraih sukses di tanah suci Mekah ini meneruskan pengabdiannya di pusat agama Islam itu hingga akhir hayatnya.
   Walaupun beliau tidak mau pulang kampong, tetapi nama Syeikh Mahfudz at-Tarmisi merupakan kebanggaan bagi murid-murid yang berasal dari al-Jawi (bangsa Melayu) dan merupakan guru andalan mereka di tanah suci Mekah terutama dalam ilmu hadits.
   Di samping sebagai seorang guru besar di Masjid al-Haram Mekah, Syeikh mahfudz at-Tarmisi juga seorang muallif (pengarang) kitab kuning yang cukup produktif. Karya-karya ilmiyah keislamannya banyak dipergunakan sebagai literature di banyak pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya di berbagai negara termasuk di Indonesia sendiri hingga kini. Di antara karangan Syeikh Mahfudz at-Tarmisi adalah:
- Muhibbah dzil Fadlal terdiri atas empat jilid besar sebanyak 2.339 halaman. Kitab ini merupakan komentar terhadap kitab-kitab karangan Syeikh ibn Hajar al-Haitami.
- Syarah Bafadlal yang merupakan kitab fikih cukup lengkap.
- Minhaj Dzawin Nadhar, sebuah kitab tentang ilmu musthalah hadits.
- Penjelasan alfiyah, berisi tentang komentar dan pembahasan terhadap gramatika Arab (nahwu) berbentuk puisi (nadham) berjudul Alfiyah yang berarti 1,000, karena kitab ini terdiri 1.000 bait karya ibnu Malik.
   Syeikh Mahfudz at_tarmisi memang berniat untuk bermukim di tanah suci hingga wafatnya tahun (1335 H/1917 M) dan dimakamkan di sana. Walaupun demikian bukan berarti pengaruh ulama asal Termas, Pacitan ini hilang begitu saja di kampong halaman atau tanah airnya. Pengaruh ulama ini di kalangan al-Jawi cukup besar, baik melalui karya-karya ilmiyahnya yang menjadi rujukan murid-murid dan generasi yang datang sesudahnya, maupun melalui murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama dan tokoh masyarakat di Indonesia dan sekitarnya. Di antara murid-muridnya yang terkenal sebagai ulama besar adalah Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, Kyai Wahab Hasbullah, Kyai Bisri Syansuri, Kyai Mas Mansyur dan masih terdapat beberapa nama lagi. Pengaruh ini belum terhitung murid-murid Syeikh Mahfudz yang berasal dari Timur Tengah dan kawasan lainnya.
   Sementara untuk Pondok Pesantren Salafiyah Termas, Arjosari, Kabupaten Pacitan sendiri terus hidup dan berkembang. Sewaktu kyai Abdullah wafat, dua orang puteranya yang berada di Mekah, yakni Syeikh Mahfudz sendiri dan adiknya Syeikh Dimyati bermufakat bahwa sang kakak meneruskan perjuangannya di tanah suci, sedangkan sang adik kembali ke Pacitan untuk meneruskan kepemimpinan sang ayah. Kyai Haji Dimyati meneruskan kepemimpinan Kyai Abdullah dan setelah beliau wafat digantikan oleh putra-putranya seperti Kyai Hamid Dimyati, Kyai Habib Dimyati dan sebagainya. Pesantren Termas Pacitan masih tetap hidup dan terus berkembang hingga kini.
   Bagaimanapun juga kita mengakui bahwa Syeikh Mahfudz at-Tarmisi merupakan seorang ulama besar ahli hadits dari kalangan al-Jawi yang bermukim di tanah suci Mekah. Dari beliaulah ulama-ulama Indonesia yang tercatat sebagai ahli hadits belajar dan menimba ilmu. Walaupun beliau wafat di Mekah sebagaimana Syeikh Nawawi al-bantani, Syeikh Ahmad Khatib Sambas, dan Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, mereka tetap kita akui sebagai ulama Indonesia yang memiliki ilmu dan pengaruh sangat besar, dengan reputasi Internasional.
Sumber: H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Jakarta: GelegarMedia Indonesia, 2010).