Muhammad saw. muncul di jazirah Arab dengan memperkenalkan dirinya sebagai seorang Nabi yang diutus oleh Allah pada seluruh manusia. Ia ditugaskan untuk menguatkan hakikat (esensi ketuhanan) yang dibawa oleh Nabi terdahulu dan memberikan tanggung jawab yang sama dengan yang diberikan para Nabi pada kaumnya.
Seraya menjelaskan bahwa dirinya adalah Nabi terakhir dalam rangkaian para Nabi yang diutus silih berganti. Ditambah satu penjelasan bahwa dirinya adalah seorang manusia yang memiliki aspek-aspek kemanusiaan, namun Allah mempercayakan kepadanya untuk menyampaikan risalah pada manusia. Ia menunjukkan pada manusia hakikat tujuan hidup. Ia memperingatkan tentang posisi ruang dan waktu kehidupan dunia pada peta kerajaan Allah.
Ia juga memperingatkan tentang tempat kembali pasti setelah kematian. Ia memalingkan fokus manusia pada pentingnya keselarasan pilihan hidup dengan tujuan utamanya yang tidak mungkin dihindari. Yakni, mereka harus menghamba pada Allah dengan keyakinan dan tindakan yang mereka pilih, sehingga penghambaan ini terealisasi dengan pasti.
Baca juga: Sirah Nabawiyah [9]: Hubungan Sains dan Akidah serta Kekonyolan Husein Haikal
Kemudian Nabi saw. menegaskan pada tiap kesempatan bahwa ia tidak bisa menambah, mengurangi, atau mengganti konten risalah yang penyampaiannya pada seluruh manusia dibebankan kepadanya. Bahkan Al-Qur’an sendiri menegaskan hal ini dalam surah Al Haqqah.
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ ٱلْأَقَاوِيلِ لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِٱلْيَمِينِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ ٱلْوَتِينَ فَمَا مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَٰجِزِينَ
Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya). (QS. Al-Haqqah: 44-47)
Begitulah misi nabi Muhammad saw. Beliau tidak pernah memperkenalkan dirinya sebagai tokoh politik, pemimpin nasional, seorang pemikir, atau aktivis perbaikan sosial. Bahkan selama hidup beliau tidak pernah menunjukkan dan mengupayakan kepentingan-kepentingan pribadi tersebut.
Jika begini faktanya, maka ketika kita hendak mempelajari kehidupan seseorang dengan spesifikasi di atas, logika mengharuskan kita mempelajarinya dengan memfokuskan diri pada apa yang dia tonjolkan dari dirinya, supaya kita memperoleh kejelasan tentang benar tidaknya apa yang dia katakan tentang dirinya.
Karena Nabi memperkenalkan dirinya sebagai seseorang yang diutus oleh Allah kepada seluruh manusia, maka kita harus mempelajari seluruh aspek kemanusiaannya. Sebagai indikator pembuktian secara obyektif tentang tujuan utama yang ditonjolkannya pada semesta.
Allahu a’lam.
Referensi: Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, (Mesir: Dar al-Salam, 2021), Hal. 39-40