Ketiga, amal ibadah yang baik adalah amal yang konsisten. Hal ini merujuk pada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah dan dikutip dalam kitab Misykatul Mashobih, yakni
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang paling konsisten, walaupun sedikit.” (Abu al-Hasan Nuruddin Ali bin Muhammad Al-Harwi Al-Qory, Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, [Beirut, Darul Fikr: 2002], juz 3 halaman 933)
Berdasarkan hadis ini, amal-amal yang sedikit jika dilakukan secara konsisten maka jauh lebih baik dibandingkan dengan amal yang inkonsisten walaupun terkesan banyak.
Hal semacam ini sebenarnya wajar saja. Pasalnya, konsistensi menjadi salah satu indikator keikhlasan, sikap yang murni tanpa intervensi unsur apapun. Dan sebaliknya, inkonsistensi menunjukkan ada unsur lain yang mencampuri motif ibadah. Andaikan unsur tersebut tidak ada maka motivasi untuk beribadah juga tak akan muncul.
Dalam konteks ritual santunan anak yatim yang dilakukan dengan acara yang megah, mewah dan lengkap dengan panggung layaknya pementasan, secara naluriah manusia akan mencurigai bahwa dalam ritual semacam itu tidak murni menunjukkan simpati dan empati terhadap kemalangan anak yatim. Melainkan tercampur unsur egoisme untuk mendapatkan popularitas dan pamor sebagai orang baik yang bersimpati pada anak yatim. Tentu hal semacam ini bertolak belakang dengan prinsip bahwa kesalehan sosial, sesuai esensinya, harusnya dilakukan secara ikhlas dan tulus hingga menumbuhkan simpati dan empati alih-alih egoisme.
Tentu saja kecurigaan ini tak bisa serta merta dibenarkan. Pasalnya, mungkin saja motif dari pelaksanaan santunan anak yatim yang dilakukan secara terbuka adalah menebar inspirasi dan memberikan contoh kepada masyarakat secara umum. Namun, yang perlu dipahami, bahwa motif memberikan inspirasi dan memberikan contoh kepada masyarakat akan difahami jika acara santunan anak yatim yang dilaksanakan secara terbuka dilakukan oleh orang yang sudah konsisten memberikan bantuan kepada anak yatim, dan acara terbuka semacam ini hanya berfungsi untuk mengajak masyarakat yang lebih luas untuk mengulurkan tangan mereka kepada anak yatim.
Lagipula, jika dinilai secara matematis-pragmatis biaya yang digunakan untuk pelaksanaan acara, biaya sewa panggung, dan semacamnya akan terasa lebih bernilai dan lebih tampak bermanfaat jika dialokasikan sebagai dana santunan. Karena kelompok yang kesulitan ekonomi lebih membutuhkan dana itu untuk menyambung hidup daripada tampil di panggung.
Masih di sisi yang sama, patut dipahami juga bahwa anak-anak yatim membutuhkan uluran tangan dan bantuan tak hanya pada bulan Muharram, tetapi sepanjang tahun. Tak perlu menunggu Muharrom untuk membantu mereka. Jangan sampai keegoisan untuk mendapatkan pahala yang lebih banyak menghalangi niat baik untuk membantu kelompok yang sedang benar-benar membutuhkan. Dari sudut pandang ini, mengalihkan biaya penyelenggaraan acara sebagai biaya hidup keseharian anak-anak yatim akan terasa lebih bermanfaat bagi mereka.
Tak kalah penting lagi, sebenarnya memanggungkan dan mementaskan kemalangan orang lain untuk menunjukkan sisi kebaikan diri sendiri rasanya juga kurang manusiawi. Bisa jadi, tindakan semacam ini juga menjadi salah satu bentuk representasi peribahasa ‘menari-nari di atas penderitaan orang lain’ sekaligus slogan ‘tangan kanan memberi, tangan kiri selfie’. Dan bahkan mungkin lebih kejam, karena menjadikan kemalangan orang lain sebagai panggung untuk meningkatkan pamor, sebuah arena panjat sosial.
Penulis: M. F. Falah Fashih. Founder IBIDISM (Inspiration Base, Initiators and Developers Institution for Santri of Ma’had Aly). Mahasantri Pascasarjana Ma’had Aly Lirboyo – Kediri. ([email protected])