Penting untuk membedakan antara hukum esensial dan hukum formal. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan hukum didepan seorang hakim adalah kata-kata yang terucap. Madarul ahkam ‘ala ma’anil alfadz. Tidak bisa bertendensi dengan qorinah atau maqoshid. Misalnya mengambil harta benda orang lain dengan dalih qorinah benda tersebut sangat mirip dengan miliknya sendiri. Hal itu tetap dianggap sebagai tindakan kejahatan di mata hukum.
Karena qorinah (tanda-tanda) dan maqoshid (tujuan melakukan sesuatu) adalah dua hal yang sifatnya asumtif. Tidak bisa diketahui dan dibuktikan dengan pasti hakikatnya. Oleh sebab itu dalam menentukan hukum formal yang dimenangkan adalah dilalatul lafdzi. Makna eksplisit, bukan emplisit.
Pernah dicontohkan dulu oleh Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam. Beliau menghukumi sengketa kepemilikan sebuah benda antara sahabat Ali bin Abi Thalib Karromaallahuwajhah, dan seorang Yahudi. Sahabat Ali bin Abi Thalib Karromaallahuwajhah enggan bersumpah atas benda tersebut, meskipun sebenarnya benda tersebut adalah milik beliau. Akhirnya yang dimenangkan adalah orang Yahudi tersebut. Benda itu menjadi milik sah orang Yahudi tersebut secara hukum formal, meskipun hakikatnya benda tadi adalah milik sahabat Ali bin Abi Thalib Karromaallahuwajhah.
Akan tetapi menjadi menarik jika ditarik dalam kasus jual beli yang berlaku di Indonesia. Qorinah atau kebiasaan orang yang membuka warung adalah melakukan transaksi jual beli. Namun tidak biasa masyarakat menggunakan akad (shigot serah terima) sesuai panduan fikih.
Bila orang sekedar datang ke warung dan ditawari makanan, namun tanpa ada akad transaksi yang sah sesuai fikih, maka andaikan orang tersebut tidak mau membayar, lalu kasusnya disidangkan di pengadilan, pihak yang dimenangkan adalah pembeli. Pembeli tidak harus membayar karena tidak ada bukti akad transaksi formal yang sah sesuai fikih.
Namun bukan berarti tindakan pembeli tersebut akhirnya dibenarkan keseluruhannya. Meskipun dia tidak salah dimata hukum, namun tindakan yang dilakukannya adalah haram. Sebab sah atau tidak sebuah transaksi tidak lantas menjamin hal tersebut boleh dilakukan dan halal. Sah dan tidak sah adalah sebuah hukum tersendiri. Sedangkan halal dan haram juga adalah pembahasan lain yang berbeda dan kadang justru dicampur adukkan.
Oleh karena itu penting untuk melihat perbedaan praktik antara hukum formal dan hukum batin. Sebab hukum batin tetap memandang qorinah. Sementara hukum formal hanya memandang lafadz lahir yang kasat mata.
Dicontohkan dalam kasus lain misalnya. Menerima sumbangan secara hukum formal sah-sah saja. Tapi untuk tahu halal dan tidaknya menerima sumbangan tersebut, perlu memandang qorinah dan tujuan pemberiannya.
Dalam kitab Fathul Mu’in diterangkan,
فائدة: لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله، وهو حرام باطنا، فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الأخرة، وإلا طولب. قاله البغوي
“Andaikan saja seseorang mengambil benda yang dia perkirakan halal dengan prosedur yang dibenarkan, akan tetapi hakikatnya benda tersebut ternyata adalah barang yang haram (mungkin ternyata hasil curian, atau uang korupsi), maka hukumnya dipilah kembali. Andaikan secara kasat mata si pemberi adalah orang baik, kelak di akhirat penerima barang tersebut tidak akan mendapatkan konsekuensi buruk apapun. Tapi sebaliknya, jika kelihatannya saja pemberi benda tersebut adalah orang yang tidak baik, maka kelak di akhirat si penerima akan mendapatkan imbas buruk juga. Pendapat tersebut disampaikan oleh Imam al-Baghowi.” (Syaikh Zainuddin al-Malibari. Hasyiyah I’anatu Thalibin. Juz 3. Halaman 13.)
Apakah di akhirat akan mendapatkan konsekuensi buruk berupa siksaan dan dosa? Hukumnya diperinci. Jika secara lahirnya pemberi adalah orang baik, maka tidak akan mendapatkan imbas buruk di akhirat. Tapi jika secara lahir orang yang memberi itu adalah orang yang buruk, maka di akhirat akan mendapatkan konsekuensi negatif.
Kasus diatas adalah saat seseorang tidak tahu akan hakikat benda tersebut hingga dia meninggal dunia. Jadi, bukan masalah harus mengembalikan di dunia atau tidak, karena memang sudah sah secara fikih.
Keterangan dalam kitab Fathul Mu’in tersebut memberikan pemahaman bahwa pada praktiknya, dalam menghukumi sesuatu harus tetap melihat qorinah. Keterangan tersebut sebagai pendukung bahwa dalam masalah halal dan haram (bukan sah dan tidak sah) tidak cukup dengan memperhatikan hal yang lahir saja. Keterangan dalam kitab Fathul Mu’in tersebut juga dapat menjadi pegangan, bahwa ternyata qorinah dapat mengubah hukum yang sebenarnya halal menjadi haram. Meskipun tetap sah secara fikih.
Maka ketika suatu transaksi adalah sah, secara lahir hukumnya halal. Tapi bukan berarti bisa lepas konsekuensi begitu saja dari risiko keharaman kelak di akhirat. Sebaliknya, suatu transaksi meskipun tidak sah, jika sudah ada kerelaan dari pihak yang bersangkutan, maka secara batin sudah halal. Dan tidak ada konsekuensi keharaman kelak di akhirat. Meskipun dalam hukum di dunia tidak sah dan bisa saja digugat di pengadilan yang menerapkan hukum Islam.
Akhirnya penting untuk mengimbangi ilmu fikih dengan tasawuf, agar tidak terjebak menjadi orang yang fasik. Untuk beberapa akad dan transaksi tertentu sebaiknya jangan murni memakai fikih, karena nantinya tidak hanya menyangkut sebatas masalah legalitas. Tapi juga penting memperhatikan masalah konsekuensi halal dan haram.
Ada pihak yang memahami bahwa tasawuf dan fikih seolah bertentangan. Padahal tidak ada kontradiksi sama sekali. Dalam fikih yang menjadi pokok adalah bagaimana tercapainya ridho khofy. Akhirnya dicarikan jalan tengah, mana yang bisa menunjukkan adanya kerelaan tersebut. Walaupun sebenarnya secara batin tidak tercapai. Hal tersebut tidak menjadi masalah dalam hukum formal.
Seperti contoh permasalahan yang disampaikan oleh imam Ghazali berikut ini, dikutip dalam Hasyiyah al-Bajuri.
فقد قال الغزالي: من طلب من غيره مالا في الملا أي الجماعة من الناس فدفعه إليه لباعث الحياء لم يملکه، ولا يحل له التصرف فيه وهو من باب أكل أموال الناس بالباطل فليحذر.
“Imam Ghazali mengatakan, siapa yang mengambil sesuatu dari orang lain, dalam situasi ditengah kerumunan masyarakat, kemudian orang yang memberikan sesuatu tersebut hanya memberikan karena rasa malu, maka si penerima tidak berhak memiliki benda tersebut. Juga benda tersebut tidak boleh dipergunakan. Karena hal semacam itu termasuk dalam pembahasan ‘memakan harta benda orang lain dengan cara yang batil’. Maka takutlah.” (Syaikh Ibrahim al-Bajuri. Hasyiyah al-Bajuri. Juz 2. Halaman 21)
Secara hukum fikih formal, benda yang sudah diberikan tersebut, misalnya makanan, adalah halal, karena sudah ditawarkan. Namun dalam ranah pandangan tasawuf ternyata hukumnya haram. Sebab pemberi tidak bersungguh-sungguh memberikan makanan tersebut, namun sebatas formalitas belaka. Malu andaikan tidak memberi, sebab ada ditengah banyak orang.
Syaikh Abdul Wahhab as-Sya’rani dalam kitab Minahus Saniyyah menganalogikan makan perkara haram yang tidak diketahui keharamannya ibarat orang makan makanan beracun, namun tidak mengetahui kalau makanan tersebut berbahaya. Dampaknya akan tetap ada secara batin. Orang tersebut sebenarnya akan tetap mendapatkan imbas buruk dari racun tersebut.
Sebab dalam memandang hukum halal dan haram, sebaiknya tidak menjadikan fikih dalam Islam atau hukum pidana perdata dalam sebuah negara sebagai acuan pokok.
Dalam kitab Bughyah Musytarsyidin dijelaskan,
ولو اقتضى لفظ الوصية الصرف للأقارب ولم يصرح به الموصي كان الصرف لهم أولی، بل قال الشيخان وابن حجر بلزوم الصرف إليهم حينئذ، وهذا إن لم يحكم حاكم الصرف لهم وإلا لزم قطعا، لأن حكم الحاكم يرفع الخلاف المذهبي وغيره.
“Andaikan redaksi wasiat dari seseorang adalah menjurus diperuntukkan untuk kerabat, hanya saja mushy (orang yang berwasiat) tidak secara tegas menyatakan hal tersebut, maka alokasi harta wasiat kepada kerabat adalah lebih baik (awla). Bahkan menurut imam Nawawi, imam Rafi’i, dan imam Ibnu Hajar, harta tersebut harus dialokasikan kepada mereka (luzum). Keterangan tersebut berlaku dengan catatan hakim tidak memutuskan bahwa harta tersebut harus diserahkan kepada kerabat. Jika hakim sudah menghukumi demikian, maka harta wasiat harus diserahkan kepada kerabat. Karena keputusan hakim akan meniadakan perbedaan pendapat yang sifatnya dalam lingkup madzhab dan lain sebagainya.” (Syaikh al-‘Allamah Sayyid ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba ‘Alawi al-Hadhrami, Bughyah Musytarsyidin, halaman 235.)
Andaikan pada awalnya tidak diketahui dengan pasti alokasi sebuah harta wasiat, maka solusinya bisa dipandang qorinah kata-kata pewasiat dahulu diperuntukkan kepada siapa. Jika sedikit banyak mengarah kepada para kerabat, maka sebaiknya harta tersebut dialokasikan kepada mereka. Akan tetapi lain lagi saat hakim sudah turun tangan untuk memutuskan. Maka hukumnya sudah bukan lagi awla (sebaiknya dialokasikan) atau apapun. Tapi sudah luzum (harus dialokasikan). Hukmul hakim yarfa’ul khilaf al-madzhaby wa ghoirihi. Keputusan hakim bisa mengakhiri perbedaan pendapat dalam hukum-hukum fikih. Yang wajib dipatuhi adalah keputusan akhir seorang hakim.
Keterangan dalam kitab Bughyah Musytarsyidin diatas memberi pemahaman bahwa keputusan formal sebenarnya tidak sepenuhnya ada dalam wewenang fikih. Akan tetapi harus menunggu keputusan hakim. Untuk Indonesia, penyelesaiannya sendiri memakai undang-undang. Maka di Indonesia sepatutnya menggunakan hal tersebut. Bukan justru kembali kepada Al-Qur’an dan hadis.
Ulama dalam memahami Al-Qur’an dan hadis tentunya berbeda-beda. Hingga terbentuk banyak madzab dan hukum yang tidak sama. Akhirnya jika akan digunakan sebagai solusi atas sebuah permasalahan yang bersifat global, akan mendapat kesulitan. Karena tidak adanya suatu titik temu. Akhirnya disini peran krusial dari seorang hakim yang bisa memutuskan hukum mana yang nantinya akan dipakai. Seorang hakim dengan otoritasnya dapat menjembatani perbedaan pendapat dalam khazanah fikih Islam itu sendiri. Sebab hukmul hakim yarfa’ul khilaf.
Jika Indonesia akan memakai hukum Islam, tentunya harus ada ketegasan. Mau memakai hukum Islam yang mana? Tentunya yang seusai dengan salah satu dari empat madzab. Akan tetapi tidak mungkin memberlakukan semuanya sekaligus. Sebab hukum antara satu madzab dengan madzab yang lain biasanya tidak sama. Maka disini perlu otoritas tertinggi yang berhak memutuskan.
Dan sebagai catatan, praktikum fikih berlaku jika pemerintah juga menggunakan hukum fikih dalam memutuskan duduk perkara sengketa. Jika pemerintah sendiri tidak mempraktekkan hukum fikih secara langsung, maka dalam memutuskan hukum juga sebaiknya tidak menggunakan fikih tersebut.
“Hukum fikih bisa memenangkan seseorang dalam pengadilan. Akan tetapi belum tentu menjadi tolok ukur keadilan. Di akhirat yang ada adalah keadilan.” (Esensi keterangan K.H. Azizi Hasbullah, dewan perumus LBM PWNU Jatim)
Sumber:
Ditranskrip dari kajian ilmiah K.H. Azizi Hasbullah.