Kebijakan full day school atau lima hari sekolah dengan durasi 8 jam per hari yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, menuai tantangan keras dari berbagai pihak, antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU).
Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah ini dinilai mengancam eksistensi Madrasah Diniyah, TPQ dan juga pesantren.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Muddzakir, menilai penolakan NU terhadap kebijakan FDS menunjukkan bahwa sikap politik NU lahir dari pertimbangan kemanfaatan dan kemudaratan bagi umatnya. Bukan politik pragmatis yang selama ini dikesankan.
“Kalau ada orang yang menyebut politik NU adalah politik yang pragmatis, yang selalu mendukung penguasa, maka dapat dipastikan orang itu keliru,” kata Amin Mudzakkir saat dihubungi NU Online, Kamis (10/8).
Amin mengungkapkan, politik NU bukan sekadar mendukung atau menolak pemerintah. Siapapun penguasanya akan didukung sejauh mendukung tujuan utama itu.
“Jangan heran jika NU berdiri paling depan mendukung Perppu No 2/2017 tentang ormas, tetapi pada saat yang sama mereka juga berdiri paling depan menolak rencana full day school (FDS) menteri pendidikan dan kebudayaan,” ujar dia. (Zunus)
Sumber: nu.or.id