Beberapa hari terakhir ini beredar video maupun tulisan yang menyatakan hadis anjuran berpuasa di bulan Rajab adalah maudlu’, alias palsu. Bagi beberapa orang yang baru mengenal tradisi ini, bisa jadi mencerahkan mereka. Tapi bagi golongan santri, kaum pedesaan, dan masyarakat yang sangat akrab dengan tradisi berpuasa di bulan Rajab, tentu tuduhan hadis palsu ini meresahkan.
Hadis di bawah ini adalah salah satu yang disebutkan di video maupun tulisan itu. Menurut mereka, hadis ini sangat tidak logis.
عن سعيد بن عبد العزيز عن ابيه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. من صام يوما من رجب كان كصيام سنة. ومن صام سبعة ايام غلقت ابواب جهنم. ومن صام ثمانية ايام فتحت له ثمانية ابواب الجنة. ومن صام عشرة ايام لم يسأل الله شيئا الا اعطاه. ومن صام خمسة عشر يوما نادى مناد من السماء : قد غفر لك ما سلف فاستأنف العمل قد بدلت سيىئاتك حسنات. ومن زاد زاده الله.
Diriwayatkan dari Sa’id bin Abdul Aziz dari ayahnya, Nabi saw. telah bersabda, “Siapa yang berpuasa satu hari di bulan Rajab maka ia seperti berpuasa satu tahun. Siapa yang berpuasa tujuh hari, ditutup baginya pintu-pintu neraka Jahanam. Siapa yang berpuasa delapan hari maka dibukakan pintu-pintu surga baginya. Siapa yang berpuasa sepuluh hari maka tidaklah ia meminta sesuatu kepada Allah kecuali akan dikabulkan. Dan siapa yang berpuasa lima belas hari maka malaikat akan memanggilnya dari langit, ‘Sungguh telah diampuni dosa masa lalumu, maka perbaharuilah amalmu. Sungguh keburukanmu telah diganti dengan kebaikan. Siapa yang bertambah amalnya maka Allah akan bertambah pula pahalanya.’”
Paling tidak, ada dua alasan mendasar dari mereka. Pertama, jalur riwayatnya diisi oleh perawi yang tidak dapat dipercaya. Kedua, matan (isi teks) hadis yang mengungkap pahala puasa ini terlalu berlebihan.
Memang benar. Hadis palsu tidak boleh digunakan sebagai sandaran fadlail al-‘amal, alih-alih sebagai dalil ibadah-ibadah mahdlah. Lain halnya dengan hadis dlaif, yang meskipun derajatnya lemah, tetap boleh digunakan sebagai landasan mengamalkan fadlail al-‘amal.
Baca juga: Benarkah Tidak Ada Hadis Sahih Tentang Puasa Rajab?
Namun untuk menilai apakah suatu hadis bernilai dlaif, atau bahkan maudlu’, diperlukan kajian yang mendalam. Tidak cukup hanya dengan mengamini pendapat yang ada, yang belum jelas riwayat dalilnya. Boleh jadi, suatu hadis yang divonis maudlu’, ternyata masih diperselisihkan statusnya oleh para ulama.
Hadis yang telah disebut di atas misalnya. Hadis ini mungkin tertolak oleh sebagian pihak. Namun faktanya, ia mendapat dukungan dari para ahli hadis, bahwa ia tidak bisa dikategorikan sebagai hadis maudlu’.
Imam as-Suyuthi adalah salah satunya. Ia memiliki opini tersendiri mengenai status hadis ini. “Hadis itu memiliki banyak jalur periwayatannya. Ada juga hadis lain yang menjadi syahid—penguatnya. Sehingga hadis itu naik derajat menjadi hadis dlaif.” Ia bahkan meyakini bahwa hadis itu boleh diriwayatkan sebagai landasan dari fadla’il al-‘amal. (Abdul Aziz bin Abdullah as-Sulaimani, Tafrij al-Karab fi Nafahati Rajab. Hlm. 108).
Hadis ini dianggap dlaif karena di dalam periwayatannya terdapat beberapa rawi yang dianggap lemah daya hafalannya. Di antaranya adalah al-Farrat bin Sa’ib dan Rusdin bin Sa’id.
Al-hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani pernah mengutip hadis itu di dalam kitab ‘Amaalihinya. Ia mengomentari kejelasan status hadis tersebut. Ia berkata,
هذا حديث غريب اتفق على روايته عن الفرات بن السائب وهو ضعيف
Ini adalah hadis yang gharib. Ahli hadis bersepakat bahwa periwayatannya dari jalur al-Farrat bin Sa’ib adalah dlaif–lemah.
Mengenai perawi bermasalah yang lain, Rusdin bin Sa’id, Ibnu Hajar berpendapat serupa. Menurutnya, Rusdin bin Sa’id adalah perawi yang lemah daya hafalannya. Statusnya juga masih diperselisihkan: apakah ia tergolong sahabat atau bukan. Namun, permasalahan yang demikian ini tidak membuat hadis yang ia riwayatkan dihukumi maudlu’. Sekurang-kurangnya, banyak ahli hadis yang lain yang setuju dengan pendapat Ibnu Hajar: status hadisnya bukan maudlu’, tetapi dlaif.
Keraguan Imam as-Suyuthi
Imam as-Suyuthi pada awalnya juga mempersoalkan matan hadis di atas. Bagaimana tidak. Di dalam matan hadis tersebut disebutkan janji-janji pahala yang fantastis dan terkesan berlebihan. Imam as-Suyuthi merasa ganjil, karena ia menemukan pernyataan Allah di dalam hadis lain tidaklah demikian. Justru Allah terkesan merahasiakan besaran pahala yang diterima oleh orang-orang yang berpuasa.
كل عمل ابن ادم له الا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به
Setiap amal ibadah manusia adalah untuknya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalas amal itu.
Baca juga: Mengenal al-Asybah Wa an-Nadhair: Kitab Kaidah Fikih Fenomenal Karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi
Keganjilan as-Suyuthi ini pada akhirnya terbantahkan dengan beberapa argumentasi yang sangat logis dari para ahli hadis yang lain.
Pertama, hadis qudsi di atas justru menunjukkan jika pahala puasa itu tiada akhir dan tiada batas. Dari hadis qudsi itu pula, terdapat petunjuk yang jelas bahwa puasa Ramadan memiliki pahala yang lebih besar dari pahala puasa lainnya.
Kedua, ada bukti lain yang menunjukkan bahwa matan hadis dlaif di atas tidaklah ittirab—kacau redaksinya. Ini bisa dilihat dengan membandingkannya dengan matan hadis-hadis serupa. Misalnya, hadis yang menjelaskan tentang keutamaan puasa ‘Asyura, puasa ‘Arafah dan puasa enam hari setelah puasa Ramadan.
Di dalam puasa ‘Asyura, pahala yang dijanjikan bagi yang melakukannya adalah sebagai pelebur dosa selama setahun. Lalu, puasa ‘Arafah dijanjikan sebagai pelebur dosa selama dua tahun. Sementara puasa Ramadan dan enam hari setelahnya akan sebanding pahalanya dengan puasa setahun penuh. Hadis yang menjelaskan keutamaan puasa-puasa ini termaktub dalam Sahih Muslim. Dan sama sekali tidak dianggap sebagai hadis yang ittirab. Iming-iming pahala seperti ini, boleh jadi adalah untuk targhib—memotivasi umat Islam yang hendak melakukannya. (Ibid, hlm. 110).
Pun demikian dengan iming-iming pahala berpuasa di bulan Rajab sebagaimana hadis di awal. Hal ini jelas tidak berlebihan ketika melihat padanannya atas matan hadis-hadis lain, yang derajatnya jauh di atasnya.
Penerimaan Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan imam as-Suyuthi atas hadis ini, harusnya memberi kesimpulan bahwa anggapan maudlu’ atas hadis di atas tidaklah memiliki dasar argumen yang mapan. Jika tidak kepada kedua imam besar hadis ini, lantas kepada pendapat siapa kita berpegang? Kepada video yang beredar luas di sosial media? Wa al-‘iyadzu billah.
Penulis: Muhammad Atid. Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo (2017), Kediri. Tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat dan aktif pada kegiatan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).