Pembayaran SPP di Tengah Pandemi dalam Perspektif Kajian Fikih

0
2291

Pandemi covid-19 berdampak nyata pada hampir semua sektor: ekonomi, sosial, budaya bahkan pendidikan. Sebagai penyesuaian, pemerintah membuat kebijakan sekolah daring (dalam jaringan) di mana siswa tetap belajar tanpa datang ke sekolah.

Kebijakan ini berwujud dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Covid19; dan diperkuat dengan Surat Edaran Sekjen Nomor 15 tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan BDR (Belajar di Rumah).

Berkaitan hal itu, penyelenggara pendidikan juga melakukan penyesuaian dengan kondisi pandemi ini. Di antaranya berkaitan dengan pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang memang merupakan kewenangan dari penyelengara pendidikan.

Di antara para penyelenggara, ada yang mengurangi pembayaran SPP, ada yang mengambil kebijakan pembayaran penuh, bahkan ada yang memberlakukan denda bagi yang telat pembayarannya.

Di berbagai daerah muncul protes dari wali murid atas kebijakan-kebijakan tersebut. Protes karena SPP tetap harus dibayar penuh bahkan didenda bila telat, sementara sekolahnya dilakukan secara daring.

Sementara penyelanggara pendidikan berargumen, bahwa biaya operasional sekolah swasta cukup besar. Selama ini pihak sekolah hanya mengharapkan pendapatan dari income SPP untuk menutupi biaya operasional seperti gaji guru honorer, listrik, WiFi dan lain-lain. Bila SPP ditiadakan atau dikurangi saja, maka sekolah tidak mampu memenuhi biaya operasionalnya.

Dalam hal ini, sebagaimana dilansir dari kompas.com, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan supaya SPP dapat dikurangi selama pandemi Covid-19. “Karena ada pembiayaan seperti listrik, air dan ekskul yang tidak ada, maka sebaiknya ada pengurangan biaya SPP”, kata Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (27/4/2020).

Bagi pemerhati fikih atau aktivis bahtsul masail, tentu permasalahan ini cukup menarik perhatian. Dalam perspektif fikih, apakah sebenarnya kedudukan uang SPP itu?

Apakah termasuk ujrah atau uang sewa jasa yang harus dibayarkan orang tua kepada penyelenggara pendidikan? Atau berstatus sebagai apa?

Menurut fuqaha, suatu tindakan bisa disebut sebagai akad bila memenuhi tiga (3) hal; aqid (pelaku akad), shighat (bahasa) dan ma’qudalih (barang/jasa yang diakadi), yang kemudian disebut dengan rukun-rukun akad.

وَاتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْعَقْدَ لاَ يُوجَدُ إِلاَّ إِذَا وُجِدَ عَاقِدٌ وَصِيغَةٌ (الإْيجَابُ وَالْقَبُول) وَمَحَلٌّ يَرِدُ عَلَيْهِ الإْيجَابُ وَالْقَبُول (الْمَعْقُودُ عَلَيْهِ) .وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ هَذِهِ الثَّلاَثَةَ كُلَّهَا أَرْكَانُ الْعَقْدِ

Artinya, “Fuqaha sepakat, bahwa akad tidak akan ada kecuali dengan adanya pelaku akad, shighat ijab qabul dan objek dari ijab qabul tersebut; dan jumhur fuqaha berpendapat bahwa ketiga hal ini merupakan rukun akad.” (Wizarah al-Auqaf wa as-Syuun al-Islamiyah Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Mesir: Dar as-Shafwah], juz XXX, halaman 200).

Dalam kajian fikih, pembayaran SPP oleh wali murid kepada penyelenggara pendidikan tersebut dapat diuji, apakah memenuhi syarat akad apa tidak? Pelaku akadnya adalah orang tua atau wali murid dan pihak sekolah; akadnya bagaimana; dan yang diakadi apa? 

Besaran SPP yang harus dibayarkan wali murid sudah ditentukan oleh pihak sekolah melalui rapat dengan komite yang merupakan akumulasi dari berbagai kebutuhan sekolah semisal, gaji guru, biaya lisrik, WiFi, air dan kebutuhan-kebutuhan  lain yang tidak ada rincianya dalam kartu tagihan SPP. Wali murid yang membayar SPP pun hanya mengatakan “bayar SPP” tanpa menyebutkan untuk apa. 

Berdasarkan realitas tersebut, menurut penulis, pembayaran SPP bukan termasuk akad. Sebab dalam praktiknya ma’qud alaih atau objek akadnya tidak jelas. Sudah begitu, tidak ditemukan sighat atau ijab qabul yang menunjukkan akad tertentu.

Di sisi lain, tidak terpenuhinya ketentuan akad—melihat SPP merupakan hak mutlak sekolah dalam penentuannya yang kemudian dijadikan sebuah peraturan—berkonsekuensi wali murid harus mematuhi apa yang menjadi peraturan sekolah, jika anaknya masih ingin bersekolah di sekolah tersebut.

Maka praktik pembayaran SPP menurut penulis, merupakan wafa bil ‘ahdi, yakni memenuhi janji. Dalam kasus ini, berarti mematuhi segala kebijakan/peraturan yang ditetapkan madrasah atau sekolah. Konklusi ini berlandaskan kitab Fathul Qorib lisayyid Alawi Al-Maliki, halaman 169-170. 

قوله (واوفو بالعهد) الأية فى سورة الإسراء، والخطاب للمؤمنين والأمر للوجوب والمراد بالعهد مايعم عهد الله وعهد الناس، وعهد الله تعالى ما عهد إلى عباده أن يقوموا به من أوامره ونواهيه وعهد الناس ما يقع بينهم من الإلتزام والتوثق والمراد بالوفاء بالعهد أداء مقتضاه وعدم الغدر والخيانة فيه وقوله أن العهد كان مسئولا اى يسأل الله عنه يوم القيامة ليثيب الصادقين ويعذب المنافقين. 

Perkataan-Nya (dan penuhilah janji) adalah ayat dalam Surat Al-Israa, khithabnya untuk orang-orang beriman, dan perintah itu menunjukan kewajiban. Adapun yang dimaksud Janji adalah janji umum, yakni janji Allah dan janji manusia. Dan perjanjian Allah adalah apa yang telah allah janjikan kepada hamba-hamba-Nya untuk dijalankan dari perintah dan larangan-Nya. Dan perjanjian orang adalah apa yang berada di antara mereka dari komitmen dan kepercayaan yang dimaksudkan adalah pemenuhan yang seharusnya dipenuhi bukan untuk pengkhianatan di dalamnya. Dan perkataa-Nya: sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. Maksudnya Allah akan memintanya di hari kiamat supaya Allah memberi pahala kepada orang-orang yang benar dan menyiksa orang-orang munafik.” (Sayyid Muhammad al-Alawi al-Maliki al-Hasani, Fathul Qorib al-Mujib,[Surabaya: Hai’ah Sofwah al-Malikiyah], halaman 169-170.)

Dari uraian di atas bisa difahami dan dibenarkan apa yang dilakukan oleh sekolah yakni tetap mengharuskan muridnya untuk membayar penuh.

Meskipun demikian, seharusnya pihak sekolah memberikan kelonggaran atau bahkan mengurangi beban pembayaran SPP, dengan mempertimbangkan pendidikan dilaksanakan dengan daring, yang berarti biaya operasional sekolah berkurang meskipun tidak sepenuhnya. Dan merupakan bentuk empati pihak sekolah kepada wali murid bahwa pandemi corona benar-benar menyulitkan mereka untuk bekerja.

Adanya pembatasan sosial untuk menekan penyebaran virus corona berdampak pada lemahnya perekonomian di hampir semua sektor.

Wallahu a’lam.

*Penulis: Muhamad Hanif Rahman, santri Ponpes Al-Iman Bulus dan aktivis LBM PCNU Kab. Purworejo.