Isu pelecehan seksual di ruang publik merupakan problem yang cukup serius namun nampaknya juga rumit untuk ditangani. Rumitnya penanganan ini disebabkan oleh faktor yang beragam. Mulai dari kendala konstruksi sosial, hingga ketidaksiapan aparatur penegak hukum.
Bentuk pelecehan seksual pun memang sangat beragam. Di antaranya adalah catcalling yang biasanya menimpa para kaum wanita. Catcalling adalah pelecehan seksual verbal yang dilakukan di ruang publik berbasis gender yang secara keumuman termotivasi oleh adanya bias.
Menurut sebagian wanita, hal-hal seperti ini dianggap sesuatu yang manusiawi dan wajar, atau merasa bahwa hal ini adalah pujian. Namun sebagian yang lain merasa risih bahkan merasakan ketidakamanan berada di ruang publik dengan prilaku catcalling dari sebagian kaum pria.
Menurut hasil survei pelecehan seksual di ruang publik, sebanyak 64 persen dari 38.766 wanita Indonesia pernah mengalami catcalling ini. Lalu siapakah yang pantas disalahkan dalam kasus ini: wanita yang mengundang perhatian, ataukah pria yang tidak bisa menjaga pandangannya? Pertanyaan tersebut tentu dapat dijawab melalui beberapa perspektif. Namun di sini penulis hanya akan membahasnya melalui perspektif agama.
Pelecehan Seksual dalam Perspektif Agama
Agama mengukuhkan bahwa pria dan wanita adalah makhluk yang sama-sama memiliki tanggung jawab dan kewajiban sosial. Hal ini tergambar dari firman Allah Swt. dalam surat Ghafir ayat 40.
مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap individu memiliki kemandirian untuk dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya, tanpa harus memberikan pembedaan terkait jenis kelamin atau gender. Hal ini membuat kita bersama sadar bahwa keamanan dan kenyamanan ruang publik juga harus dibangun secara bersama dan saling gotong royong antara pria dan wanita.
Baca juga: Nasehat Al-Qur’an untuk Wanita Karir
Yang Salah Pria atau Wanita?
Terkait polarisasi sikap individual gender dalam khalayak publik, Syaikh Ali As-Shabuni dalam tafsir Rawaiu al-Bayan mengutip pendapat Imam Ibn Katsir.
وذهب ابن كثير ان المراة منهية عن كل شيئ يلفت النظر اليها او يحرك شهوة الرجال نحوها ومنها انها ينهى عن التعطر والتطيب عند خروجها فيشم الرجل طيبها
“Ibn Katsir menjelaskan bahwa dilarang bagi seorang perempuan atas setiap sesuatu yang dapat menjadikannya pusat perhatian, atau dapat membangkitkan gairah seorang lelaki dan sesamanya. Yang di antaranya ia dilarang untuk menggunakan parfum dan wewangian ketika keluar rumah yang dapat dicium oleh kaum pria.” (As-Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni, Rawaiu Al-Bayan fi Tafsiri Ayati Al-Ahkam, (Dar Al-Fikr, 2000), Vol.2, h.167)
Pendapat Imam Ibn Katsir tersebut bisa berbeda jika direfleksikan pada situasi dewasa ini. Hal-hal yang dapat membangkitkan gairah lelaki sudah tidak karena wewangian atau dandanan belaka. Lebih tepat jika dikatakan berkaitan dengan cara berpakaian, dan atau pola bersikap. Seperti menggunakan pakaian terbuka (yang jelas dilarang agama) atau pakaian yang amat ketat. Larangan ini dialasi sebagai upaya menjaga stabilitas sosial yang menghargai martabat seorang perempuan dan menjaganya dari kejahatan-kejahatan seksual.
Namun, kewajiban menjaga kesalehan sosial ini tidak hanya dibebankan pada wanita. Pria pun turut berpartisipasi aktif dalam mengontrol stabilitas tersebut. Syaikh Sulaiman Al-Jamal mengutip pendapat Qadi Iyadh.
ثم يقول القاضى عياض عن العلماء انه لا يجب على المراة ستر وجهها وعلى الرجال غض البصر عنهم
“Qadi Iyadh berpendapat tentang pandangan ulama yang berpendapat bahwa tidak wajib bagi seorang wanita untuk menutup wajahnya, namun wajib bagi para lelaki untuk menundukkan matanya atas mereka.” (Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatu Al-Jamal Ala Syarhi Al-Minhaj, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Alamiyyah, 2002), Vol.3, h.123)
Kontrol terhadap Pribadi Sendiri
Ungkapan tersebut menjelaskan keharusan seorang pria untuk memberikan kontrol tersendiri. Ia harus bisa mengontrol sikapnya dengan lawan jenis untuk menghindari hal-hal negatif yang tidak diinginkan. Kewajiban saling menjaga dan mengontrol diri dari dua arah ini harus dilakukan, meski kadang kala sering ditemukan hal yang tidak seharusnya terjadi. Seperti pria yang suka menggoda wanita, atau wanita yang bertingkah agresif terhadap pria. Namun setidaknya pengontrolan terhadap diri sendiri dapat mencegah dan menimalisir terjadinya pelecehan seksual baik di ranah privat maupun di ranah publik.
Kunjungi kami di facebook aswajamuda
Melalui kerangka berfikir di atas penulis melihat bahwa fenomena maraknya pelecehan seksual verbal seperti catcalling tidak dapat dipertanggungjawabkan hanya pada satu pihak saja. Entah kaum hawa atau kaum adam. Namun fenomena ini menjadi tanggung jawab dan PR kita bersama. Seluruh manusia ditakdirkan menjadi khalifah di muka bumi untuk dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi sesama.
Hal ini dapat dibangun melalui kesadaran pribadi untuk dapat menjaga diri dari segala hal yang buruk, terlebih hal-hal yang dapat menjerumuskan pada ruang perzinahan. Di mana penjagaan terhadap diri sendiri juga dapat membentuk konstruksi sosial yang lebih salih dan lebih aman terutama untuk para kaum wanita.