Syaikh Ali Jum’ah, begitu pula guru-guru beliau, menganjurkan bagi kita yang menjalankan ibadah puasa, untuk segera membaca niat sesaat setelah berbuka. Demi mengantisipasi lupa baca niat.
Begitu adzan Maghrib terdengar berkumandang, segera setelah menyantap hidangan, langsung saja bacaan niat puasa itu diucapkan. Tak perlu menunggu hingga waktu sahur, menurut saran Syaikh Ali Jum’ah.
Namun sebenarnya, banyak tempat di Indonesia sendiri, baik itu masjid, mushola, atau langgar yang mengadakan jamaah salat tarawih, apabila selesai salat witir, sudah menjadi adat istiadat dan juga kebiasaan kalau imam akan “memandu” makmum untuk membaca bacaan niat puasa bersama-sama.
Bacaan niat tadi diucapkan keras-keras secara berbarengan. Hal itu sangat membantu bagi banyak orang. Terutama yang rutin mengikuti salat tarawih berjamaah. Dijamin, sebulan penuh tidak akan pernah kelupaan membaca niat satu hari pun.
Baca juga: Sudah Betulkah Pelafalan Niat Puasa Kita ?
Baca juga: Rahasia Dibalik Huruf “SHOD” Pada Kata الصوم ( Puasa )
Tapi mungkin ada hal kecil yang kadang diabaikan masyarakat awam. Bahwa niat puasa sebenarnya adalah termasuk bagian dari rukun puasa, rukun ibadah. Dan sebagaimana rukun ibadah lain yang membutuhkan niat, seperti dalam bab wudhu, salat, zakat, dan juga haji, sebenarnya tempat pengucapan niat adalah didalam hati.
Sebagaimana yang sering kita lakukan juga dalam praktek mengusap wajah saat wudhu, maupun takbiratul ihram ketika salat. Kita diharuskan juga untuk membaca “nawaitul wudhu’a” atau misalnya “usholli fardhol maghrib” di dalam hati.
Begitu pula dalam puasa. Tidak cukup niat puasa hanya diucapkan oleh lisan saja, namun hati tidak ikut membaca.
Dan salah kaprah juga tentunya, bila menganggap dan memahami kalau tidak perlu membaca bacaan niat puasa sama sekali. Hanya karena malam harinya sudah ikut tarawih, dan makan sahur, lalu siang harinya juga sudah berusaha menahan lapar dan haus.
وفرضه) أي الصوم (نية) بالقلب، ولا يشترط التلفظ بها، بل يندب، ولا يجزئ عنها التسحر – وإن قصد به التقوي على الصوم.
“Fardhunya puasa adalah niat dalam hati. Dan tidak disyaratkan untuk mengucapkannya, namun hukum pelafalannya sebatas sunah. Makan sahur tidak bisa menggantikan niat puasa, meskipun makan sahur tersebut bertujuan untuk menguatkan puasa.” (Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary, Fathul Mu’in hamisy I’anah Thalibin [Beirut, DKI, cet I, 1997 M.], Vol. 2, Hal 248-249.)
Yah, bahkan saat misalnya kita sudah dengan jelas-jelas mengatakan pada waktu makan sahur, “sahurku ini supaya aku kuat puasa“, kita tetap masih mutlak berkewajiban membaca bacaan niat. Sebab keberadaan niat itu sendiri merupakan bagian dari rukun ibadah yang tidak bisa ditawar.
فرع : قال القاضي أبو المكارم في «العدة» : لو قال: أتسحر لأقوى على الصوم، لم يكف هذا في النية
Qadhi Abul Makarim berkata: “andaikan seseorang mengatakan: ‘saya makan sahur supaya saya mampu untuk berpuasa’, maka kalimat tersebut tidak cukup untuk menggantikan niat.” (Imam an-Nawawi, Raudhah at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin [Beirut, Al-Maktab al-Islamy, cet III, 1991 M.], Vol. 2, hal. 351.)
Kewajiban untuk membaca niat puasa dalam hati, serta pengucapannya untuk lisan yang hukumnya sebatas sunah juga dipertegas oleh imam an-Nawawi.
قال الشافعي والأصحاب رحمهم الله تعالى لا يصح صوم رمضان ولا غيره من الصيام الواجب والمندوب إلا بالنية وهذا لا خلاف فيه عندنا فلا يصح صوم في حال من الأحوال إلا بنية لما ذكره المصنف ومحل النية القلب ولا يشترط نطق اللسان بلا خلاف ولا يكفي عن نية القلب بلا خلاف ولكن يستحب التلفظ مع القلب كما سبق في الوضوء والصلاة
“Imam as-Syafi’i dan santri-santri beliau rahimahumullah berkata: tidak sah puasa Ramadhan dan juga selain puasa Ramadhan yang masih tergolong pelaksanaan puasa wajib dan sunah, kecuali dengan adanya bacaan niat. Dan dalam permasalahan ini tidak terdapat perbedaan pendapat ulama Syafi’iyah sama sekali.
Maka puasa dalam berbagai kondisinya, tidak sah kecuali dengan adanya niat, berdasarkan referensi dalil yang telah disebutkan oleh penyusun kitab (imam Abul Ishaq as-Syairazi).
Dan tempat pengucapan niat adalah dalam hati. Tidak disyaratkan untuk mengucapkannya di lisan, tanpa ada perbedaan pendapat ulama. Dan pengucapan niat menggunakan lisan tidak bisa menggantikan niat dalam hati, tanpa perbedaan pendapat ulama. Akan tetapi sunah untuk melafalkan niat di mulut dan hati bersama, seperti halnya permasalahan fikih yang sudah lewat dalam bab wudhu dan salat.” (Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah Muhaddzab [Beirut, Darul Fikr, tth.], Vol. 6, hal. 289.)
Akhir kata, kadang ada yang menganggap cukup untuk membaca niat puasa bersama imam seusai salat tarawih. Atau melafalkannya bersama-sama dengan keluarga saat sahur. Lisan membaca niat, namun hati tidak ikut mengucapkan.
Padahal, jika mengikuti banyak keterangan diatas, hal tersebut sebenarnya belum cukup. Masih perlu adanya pengucapan niat puasa dalam hati.
Jika sudah telanjur, kita bisa memperbaikinya mulai hari ini. Ketika usai salat tarawih, atau saat makan sahur bersama keluarga, kita membaca niat puasa keras-keras, tapi jangan lupa hati juga ikut mengucapkannya.
Wallahu a’lam.