aswajamuda.com (070317) Surabaya – Kebutuhan bagi tersedianya metode istinbath hukum sederhana dan yang siap pakai adalah niscaya. Ini karena menurut NU dimungkinkan bermunculannya kasus-kasus fikih baru yang tak ditemukan jawabannya melalui ‘ibarat al-kutub, baik dalam qaul maupun wajh. Untuk menangani kasus-kasus fikih baru tersebut, NU sudah membuat prosedur demikian: “Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i. Ilhaq dilakukan dengan mempertimbangkan mulhaq, mulhaq bih oleh mulhiq yang ahli. Dalam proses ilhaqul masail bi nazha’iriha ini, qawa’id fiqhiyyah bisa digunakan sebagai kerangka metodologinya.
Namun, jika kasus fikih tersebut tak bisa ditanggulangi dengan prosedur ilhaq, maka NU memutuskan: “Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhaq bih sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinbath jama’i.”
Pertanyaanya, bagaimana istinbath jama’i dengan mempraktekkan qawa’id ushulillyah itu diselenggarakan di lingkungan Nahdlatul Ulama? Dengan tetap mengacu pada kitab-kitab ushul fikih, maka dalam penyelenggaraan istinbath jama’i tersebut, NU membuat metode istinbath al-ahkam sederhana, yaitu metode bayani, metode qiyasi, dan metode istishlahi atau maqashidi.[1]
A. Metode Bayani
Yang dimaksud dengan metode bayani adalah metode pengambilan hukum dari nash (al-Qur’an dan as-Sunnah).[2] Istilah lain dari metode ini adalah manhaj istinbath al-ahkam min nushusush. Nash dimaksud dapat berupa nash juz’i tafshili, nash kulli-ijmali, dan nash yang berupa kaidah umum. Dalam rangka istinbath hukum dari nash dengan metode bayani, ditempuh langkah-langkah sebagaimana berikut: pertama, mengkaji sabab an-nuzul/al-wurud, baik yang makro atau yang mikro. Yang dimaksud asbab an-nuzul mikro adalah sebab khusus (asbab an-nuzul al-khash) yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat adatu hadits. Sedangkan yang dimaksud asbab an-nuzul makro adalah sebab umum (asbab an-nuzul al-‘amm) yang menjadi konteks sosial-politik, sosial-budaya dan sosial-ekonomi dari proses tanzil al-Qur’an dan wurud al-Hadits.
Baca pula: Bermazhab Secara Manhaji, Keputusan Bahtsul Masail FMPP Se-Jawa Madura Ke-30, Oktober 2016 M
Kedua, mengkaji teks ayat/hadits dari perspektif kaidah bahasa (al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah). Kajian teks dari perspektif dari kaidah bahasa ini meliputi tiga kajian secara simultan, yaitu analisis kata (at-tahlil al-lafzhi), analisis makna (at-tahlil al-ma’na), dan analisis dalalah (at-tahlil ad-dalali), yang secara rinci akan dijelaskan pada beberapa paragraf berikutnya.
Ketiga, mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan nash lain yang berkaitan (rabth an-nushush ba’dhuha bi ba’dhin). Nash yang sedang dikaji harus dihubungkan dengan nash yang lain, karena nushush as-syari’ah (al-Qur’an dan al-Hadits) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, ayat yang satu terkait dengan ayat yang lain, hadits yang satu terkait dengan hadits yang lain, ayat terkait dengan hadits dan hadits terkait dengan ayat. Suatu nash terhadap nash yang lain dapat berfungsi sebagai taukid (penguat), bayan al-mujmal (menjelaskan nash yang bersifat garis besar), taqyid al-muthlaq (membatasi lafal muthlaq), takhsish al-‘amm (membatasi keumuman lafal ‘amm) atau taudhih al-musykil (menjelaskan lafal muskil/ambigu).
Keempat, mengaitkan nash yang dikaji dengan maqashid as-syari’ah (rabth an-nushush bi al-maqashid). Maqashid as-Syari’ah (tujuan umum syariat) yang sekaligus merupakan kulliyah as-syari’ah (totalitas syari’ah) memiliki hubungan saling terkait dengan nushush as-syari’ah. Maqashid as-Syari’ah lahir dan mengacu pada nushush as-syari’ah, sementara nushush as-syari’ah dalam menafsirinya harus mempertimbangkan maqashid as-syari’ah. Ini termasuk dalam kategori mengaitkan yang juz’i (partikular) dengan yang kulli (universal).[3] Kongkritnya, syariat Islam dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia lahir-batin dan dunia-akhirat. Maka perumusan hukum dari nash hendaknya sejalan dengan kemaslahatan manusia yang menjadi tujuan syariat itu, dengan syarat apa yang diasumsikan sebagai maslahat tidak bertentangan dengan nash itu sendiri.
Dengan mengaitkan nushush dengan maqashid, maka rumusan-rumusan hukum yang ditarik dari nushush tidak sepenuhnya tekstual, tapi juga kontekstual. Maka kita menjadi maklum, mengapa Fuqaha’ membolehkan mengeluarkan qimah (harga) pada zakat biji-bijian, kambing, dan onta,[4] padahal intruksi Nabi pada sahabat Mu’adz bin Jabal menjelang keberangkatannya ke daerah Yaman jelas mengatakan:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ t: أَنَّ رَسُولَ اللهِ t بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، فَقَالَ: خُذِ الْحَبَّ مِنَ الْحَبِّ وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ وَالْبَعِيرَ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرَةَ مِنَ الْبَقَرِ.[5]
“Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra, bahwa Rasulullah Saw mengutusnya ke Yaman, lalu beliau bersabda: “Ambillah (zakat berupa) biji-bijian dari biji-bijian, seekor kambing dari kambing, seekor onta ba’ir dari unta, dan seekor sapi dari sapi.”
Ini karena mereka (Fuqaha’) paham bahwa tujuan dari sabda Nabi tersebut adalah memberikan kemudahan kepada muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan mustahiq (yang berhak menerima zakat). Oleh sebab itu, bila suatu ketika zakat dengan mengeluarkan qimah lebih mudah maka tidak ada alasan untuk tidak membolehkannya.
Dan tanpa memperhatikan maqashid di dalam menafsirkan nushush, kita tidak akan dapat memahami adanya larangan buang air besar di atas air yang tidak mengalir, dari sabda Nabi Saw:
لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ.
“Janganlah salah satu dari kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir).”
Bahwa maksud dari hadits di atas tidak hanya melarang seseorang membuang air kencing di air yang menggenang sebagaimana pendapat Ahl azh-Zhahir, tapi juga melarang mengotori (menajisi) air dengan cara apapun.[6]
Kelima, menta’wil nash (ta’wil an-nushush) bila diperlukan. Pada prinsipnya, setiap lafal/nash yang multi makna atau interpretable harus dibawa pada makna dasarnya, yaitu makna yang jelas, hakiki, dan rajih. Akan tetapi, kajian yang komprehensip terhadap nash bisa menggiring kita untuk melakukan ta’wil, yakni memalingkan lafal/nash dari makna dasarnya yang jelas, hakiki, dan rajih pada makna lain yang tersembunyi, majazi, atau marjuh.[7]
Ulama ushul membagi ta’wil pada dua bagian [8] Pertama, ta’wil qarib (dekat/dangkal), seperti menta’wil حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ dengan حُرِّمَ عَلَيْكُمْ نِكَاحُ أُمَّهَاتِكُمْ. Menta’wil ayat ini dengan menghadirkan semacam kata نِكَاحُ merupakan tuntutan (اِقْتِضَاءْ), karena status hukum seharusnya disandangkan pada perbuatan mukallaf sebagai mahkum fih (objek hukum), sedangkan ayat tersebut menyandarkan hukum haram pada zat, yaitu ibu. Maka, tanpa ta’wil ayat tersebut tidak bisa dipahami dengan benar. Termasuk bagian ta’wil ini adalah takhsish al-‘amm, taqyid al-muthlaq, dan mengartikan lafal zhahir dengan makna marjuhnya.
Kedua, ta’wil ba’id (jauh/dalam). Ta’wil macam ini tidak sembarangan orang dapat melakukannya. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Ibn Abbas ra:
قِسْمٌ يَعْرِفُهُ الْعُلَمَاءُ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ.
“Ada bagian tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama yang mendalam ilmunya.”
Ta’wil tidak bisa dipisahkan dari tafsir, karena ta’wil terhadap suatu nash harus dilakukan setelah mengetahui tafsiran nash itu. Jadi, ta’wil dilakukan setelah tafsir (التأويل بعد التفسير).
Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa kajian teks ayat/hadits dari perspektif kaidah bahasa (al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyah) harus bertumpu pada analisis lafal, makna, dan dalalah, maka demikian penjelasannya
1) Analisis Lafal (اَلتَّحْلِيلُ اللَّفْظِيُّ)
Kajian lafal berkisar pada hal-hal sebagai berikut: a) antara ‘amm dan khash, b) antara muthlaq dan muqayyad, c) antara haqiqah dan majaz, d) antara muhkam, mujmal dan mutasyabih, e) antara zhahir dan nash, f) antara musytarak dan mutaradif, dan g) antara amr dan nahi.
Setiap lafal dapat memiliki lebih dari satu kategori, misalnya lafal مُحَمَّدٌ. Lafal ini dari satu sisi termasuk kategori khash karena tidak memiliki cakupan makna yang luas, sementara dari sisi yang lain masuk kategori nash sebab tidak ada kemungkinan untuk diartikan dengan makna yang lain. Contoh lain yaitu lafal أَسَدٌ كَبِيرٌ. Lafal ini dari satu sisi masuk kategori muqayyad karena lafal أَسَدٌ berqayyid (terbatasi) dengan lafal كَبِيرٌ, sedangkan dari sisi yang lain masuk kategori zhahir karena lafal أَسَدٌ tampak dalam makna singa dan ada kemungkinan untuk bermakna seorang pemberani, dan lafal ini ketika dimaknai singa, masuk kategori haqiqah dan bila dimaknai pemberani masuk kategori majaz.
Contoh kongkrit dalam al-Qur’an adalah firman Allah Swt: قُمِ اللَّيْلَ (bangunlah pada waktu malam). Lafal قُمِ dari satu sisi termasuk kategari khash karena cakupan maknanya terbatas, dan dari satu sisi disebut amr sebab berisi tuntutan untuk melakukan sesuatu (bangun). Sementara dari sisi yang lain, disebut zhahir karena shighat al-amr tampak dalam makna wujub (kewajiban), dan mungkin untuk ditarik pada selain makna wujub. Yang pasti lafal ‘amm bukan khash, muthlaq bukan muqayyad, muhkam bukan mutasyabih, haqiqah bukan majaz, zhahir bukan nash, amr bukan nahi, dan mustarak bukan mutaradif.
2) Analisis Makna (اَلتَّحْلِيلُ الْمَعْنَوِيُّ)
Kajian makna dimaksudkan untuk bisa memastikan, apakah: a) lafal dimaksud dimaknai secara haqiqi ataukah dipalingkan pada makna majaznya? b) Lafal zhahir dimaksud tetap pada makna rajihnya ataukah dipalingkan pada makna marjuhnya? c) Makna dimaksud adalah makna lughawi, syar’i, ataukah ‘urfi? d) Yang manakah di antara makna-makna lafal musytarak yang diambil atau semuanya diambil? e) Lafal dimaksud, di samping memiliki makna lughawi, apakah memiliki makna syar’i atau ‘urfi dan makna manakah yang dipakai? f) Shighat al-amr dimaksud tetap pada makna primernya (وُجُوبٌ) ataukah dipalingkan pada makna sekunder (selain وُجُوبٌ)? g) Shighat an-nahi dimaksud tetap pada makna primernya (تَحْرِيمٌ) ataukah dipalingkan pada makna sekundernya (selain تَحْرِيمٌ)?
3) Kajian Dalalah (اَلتَّحْلِيلُ الدَّلَالِيُّ)
Kajian ini menyangkut ketentuan hukum yang dapat ditarik dari nash. Dalam hal ini terdapat dua metode: pertama, metode Jumhur al-Ushuliyyin. Menurut Jumhur al-Ushuliyyin makna (hukum) suatu nash di samping bisa diambil dari manthuqnya terkadang bisa diambil dari mafhumnya. Manthuq sendiri ada dua: 1) sharih, dan 2) ghairu sharih. Sedangkan manthuq ghairu sharih itu sendiri ada tiga: 1) isyarah, 2) iqtidha’, dan 3) ima’. Sementara mafhum itu ada dua: 1) mafhum muwafaqah, dan 2) mafhum mukhalafah.
Kedua, metode Hanafiyyah. Menurut Hanafiyyah, makna (hukum) nash dapat diambil dari empat pendekatan: 1) ‘ibarah an-nash, 2) isyarah an-nash, 3) iqtidha an-nash, dan 4) dalalah al-nash (mafhum muwafaqah dalam istilah Jumhur). [9]
Sesungguhnya tidak ada perbedaan subtansial antara pendekatan Jumhur dan pendekatan Hanafiyyah, kecuali dalam soal mafhum mukhalafah. Menurut Jumhur, mafhum mukhalafah menjadi salah satu jalan untuk mengambil makna dari nash, sedangkan menurut Hanafiyyah tidak.
B. Metode Qiyasi
Yang dimaksud dengan metode qiyasi adalah ijtihad melalui pendekatan qiyas.[10] Dalam konteks ini, ada baiknya saya[11] kemukakan pernyataan Imam asy-Syafi’i:
أَنَّ الْأَحْكَامَ لَا تُؤْخَذُ إِلَّا مِنْ نَصٍّ أَوْ حَمْلٍ عَلَى نَصٍّ. [12]
“Hukum (Islam) itu hanya bisa diambil dari nash atau dari penggabungan pada nash.”
Salah satu isi surat Umar ibn al-Khatthab kepada Abu Musa al-Asy’ari adalah:
اِعْرِفِ الْأَشْبَاهَ وَالْأَمْثَالَ وَقِسِ الْأُمُورَ عِنْدَ ذَلِكَ. [13]
“Hendaklah kamu tahu tentang persoalan-persoalan yang serupa dan persoalan-persoalan yang sama, dan ketika itu lakukanlah qiyas menyangkut berbagai persoalan padanya.”
Terkait pernyataan tersebut, ada dua hal yang perlu dikemukakan. Pertama, dua pernyataan tersebut bukanlah dalil yang berposisi sebagai hujjah atas keabsahan qiyas, karena dalil sesungguhnya adalah nash kulli. Kedua, bahwa dua pernyaan tersebut mengandung makna bahwa hukum-hukum yang diambil secara langsung dari nash bisa diperluas jangkauannya pada kasus-kasus lain yang tidak manshush, salah satunya dengan cara qiyas. Namun, perlu digarisbawahi bahwa hukum-hukum yang bisa diperluas jangkauannya melalui qiyas hanyalah hukum-hukum yang ma’qul al-ma’na yang ditandai dengan adanya ‘illat sebagai landasan perluasan tersebut.
1) Pengertian Qiyas
Qiyas bisa dijelaskan dengan definisi berikut: menyamakan kasus yang tidak memiliki acuan nash dengan kasus yang memiliki acuan dalam hal ketentuan hukumnya, ketika keduanya memiliki ‘illat yang sama. [14] Sebagai contoh, minum khamr adalah kasus yang memiliki acuan nash tentang hukumnya yaitu haram, sedangkan minum bir adalah kasus lain yang tidak memiliki acuan nash tentang hukumnya. Berhubung khamr dan bir memiliki ‘illat yang sama yaitu memabukkan, maka minum bir disamakan dengan minum khamr dalam hukumnya, yaitu haram.
2) Rukun Qiyas
Qiyas terdiri dari empat unsur (rukun) sebagai berikut: Pertama adalah al-ashl, yaitu kasus yang memiliki ketentuan hukum berdasar nash. Al-Ashl disebut al-maqis ‘alaih (yang diqiyasi) atau al-musyabah bih (yang diserupai) seperti khamr dalam contoh di atas. Kedua adalah al-Far’u, yaitu kasus yang tidak memiliki ketentuan hukum berdasarkan nash. Al-Far’ disebut dengan al-maqis (yang diqiyaskan) atau al-musyabah (yang diserupakan), semisal masalah minuman keras (bir dalam contoh di atas). Ketiga adalah hukm al-ashli, yaitu hukum yang terdapat pada ashl yang ditetapkan berdasarkan nash, misalnya hukum haramnya khamr dalam contoh di atas. Keempat adalah ‘illat (al-‘illah), yaitu sifat yang menjadi titik persamaan (al-jami’) antara al-ashlu dan al-far’, seperti sifat memabukkan (al-iskar) dalam contoh di atas. Rukun ini merupakan unsur paling mendasar dalam qiyas. Sebab, dengan’illat inilah hukum-hukum yang terdapat dalam nash dapat ditularkan pada kasus baru yang muncul kemudian. [15]
3) Syarat-syarat Qiyas
Tiap-tiap rukun qiyas memiliki syarat. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: pertama, al-ashl harus memiliki ketentuan hukum berdasarkan nash. Kedua, al-far’ harus tidak memiliki ketentuan hukum berdasarkan nash. Ketiga, hukm al-ashl harus memenuhi beberapa syarat: a) berupa hukum syar’i ‘amali yang ditetapkan berdasarkan nash, b) berupa hukum yang ma’qul al-ma’na atau ta’aqquli, c) berupa hukum yang tidak hanya berlaku pada ashl. Sebab itulah, tidak boleh mengqiyaskan umat Muhammad pada Nabi Muhammad Saw dalam soal bolehnya mengawini perempuan lebih dari empat. [16]
4) ‘Illat
‘Illat adalah sifat yang menjadi titik persamaan (al-jami’) antara al-ashl dan al-far’. Tidak semua sifat yang melekat pada al-ashl dapat dijadikan ‘illat hukum, melainkan harus memenuhi beberapa syarat: pertama, harus berupa sifat yang zhahir seperti ijab dan qabul yang menjadi indikasi adanya kerelaan kedua belah pihak (mazhinnah at-taradhi) merupakan ‘illat bagi keabsahan transaksi. Sedangkan at-taradhi sendiri sebagai hikmah al-hukmi tidak dapat dijadikan ‘illat karena tidak zhahir.
Kedua, harus berupa sifat yang mundhabit (terukur), seperti as-safar yang menjadi indikasi adanya masyaqah merupakan ‘illat bagi bolehnya mengqashar shalat, sedangkan masyaqqah sendiri tidak dapat dijadikan ‘illat karena tidak mundhabith. Masyaqqah di sini tidak mundhabith karena dapat berbeda-beda intensitasnya dan berat ringannya tergantung pada kondisi alam dan setiap individu yang menjalaninya.
Ketiga, harus berupa sifat munasib (memiliki relevansi dengan hukum). Artinya menyandarkan hukum terhadap ‘illat itu pada umumnya dapat mewujudkan maslahat. Misalnya diharamkannya khamr karena ‘illat memabukkan dapat melahirkan kemaslahatan, yaitu hifzh al-‘aql. Dengan demikain, al-iskar adalah sifat munasib. [17]
5) Macam-macam Qiyas
‘Illat sebagai unsur terpenting dalam mekanisme qiyas ada dua: yang manshushah (diketahui melalui nash) dan mustanbathah (diketahui melalui upaya penggalian). ‘Illat manshushah lebih jelas dari pada ‘illat mustanbathah. Qiyas dilihat dari segi ini dibagi pada: qiyas jali dan khafi. Qiyas jali adalah qiyas yang didasarkan pada ‘illat yang manshushah (jelas karena ada nashnya) seperti mengqiyaskan nifas dengan haid dalam hal tidak bolehnya seorang wanita digauli oleh suaminya, dengan ‘illat azda; atau didasarkan atas ‘illat mustanbathah, tetapi antara al-ashl dan al-far’ dipastikan tidak adanya fariq (hal yang membedakan), atau ada fariq tapi tidak signifikan. [18]
Contoh qiyas jali, pertama yaitu mengqiyaskan memukul orang tua pada berkata uff dengan ‘illat al-idza` (menyakiti). Dengan ‘illat ini diyakini tidak ada perbedaan antara perkataan uff dan memukul karena keduanya sama-sama menyakitkan orang tua. Contoh qiyas jali yang kedua adalah mengqiyaskan budak perempuan kepada budak laki-laki dalam hal as-sirayah (menjalarnya kemerdekaan sebagian pada seluruhnya). Perbedaan jenis kelamin, secara syar’i tidak memiliki pengaruh dalam ahkam al-‘itq (pemerdekaan). Qiyas jali mencakup qiyas awlawi dan qiyas musawi.
Sedangkan qiyas khafi adalah qiyas yang didasarkan pada ‘illat yang mustanbathah (‘illat yang digali dari al-ashl) ketika antara al-ashl dan al-far’ terdapat fariq yang signifikan.[19] Seperti mengqiyaskan pembunuhan menggunakan benda tumpul pada pembunuhan yang menggunakan benda tajam dalam kewajiban adanya qishash dengan ‘illat al-qatl al-‘amd al-‘udwan (pembunuhan sengaja dan melanggar hukum). Dan sangat mungkin perbedaan antara al-ashl dan al-far’ memiliki pengaruh. Sebab itu, menurut Abu Hanifah, pembunuhan dengan benda tumpul tidak dikenakan qishahs. Qiyas khafi semakna dengan al-qiyas al-adna.
6) Mekanisme Qiyas
Qiyas merupakan salah satu sumber hukum yang paling subur untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ketentuan hukumnya tidak termaktub secara eksplisit dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi memiliki al-ashl (induk) di dalam nash dan atau ijma’. Contohnya yaitu pemberian kepada pejabat adalah kasus yang sudah ada ketentuan hukumnya yaitu haram berdasarkan nash hadits:
هَدَايَا الْعُمَّالِ حَرَامٌ كُلُّهَا. [20]
“Seluruh hadiah atau pemberian terhadap pejabat adalah haram.”
Keharaman ini didasarkan pada ‘illat (alasan hukum), yaitu khauf al-mail (tidak fair, pemberian tersebut dapat mempengaruhi penerima untuk memberikan perlakuan khusus terhadap pemberi, mengikuti keinginan pemberi, dan memberikan kebijakan yang tidak adil). ‘Illat khauf al-mail itu tentu tak hanya ada pada hadaya al-‘ummal melainkan juga pada kasus-kasus lain. Dengan demikian, membawa ‘illat khauf al-mail pada kasus baru, maka banyak hal yang bisa ditangani.
Money politic adalah kasus baru (al-far’) yang tidak ditemukan ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam nash atau ijma’. Akan tetapi, kasus ini dapat disamakan dengan hadaya al-‘ummal karena keduanya memiliki ‘illat yang sama, yaitu khauf al-mail (dikhawatirkan terjadi kecenderungan pada salah satu pihak). Dengan demikian, hukum money politic adalah haram. Terlebih dalam negara demokrasi yang menerapkan sistem pemilihan pemimpin secara langsung, setiap warga negara yang punya hak pilih memiliki kedudukan yang sangat strategis (as-siyadah fi yad al-sya’bi), tidak kalah strategisnya dengan pejabat negara atau hakim dalam menentukan putusan hukum.
Qiyas dinilai benar secara metodologis bila memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas. Qiyas yang tidak memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut adalah sebuah kekeliruan. Mekanismen inilah yang membedakan antara qiyas dengan dalil-dalil sekunder lainnya.
C. Metode Istishlahi atau Maqashidi
Ijtihad dengan metode istishlahi ialah ijtihad yang mengacu pada maqashid as-syari’ah, yaitu tujuan umum dari pensyariatan hukum Islam. Karena itu ia juga bisa disebut ijtihad maqashidi. para fuqaha menyimpulkan bahwa syariat islam dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) manusia lahir dan batin, dunia dan akhirat. Kesimpulan ini mereka peroleh dari hasil penelitian (istiqra’) yang mereka lakukan terhadap nash-nash tasyri’ (al-Qur’an dan as-Sunnah), hukum-hukum syar’i, ‘illat-‘illatnya dan hikmah-hikmahnya.[21] Dengan demikian maqashid as-syari’ah tidak bisa dipisahkan dari nushush as-syari’ah, bahkan maqashid as-syari’ah tidak terwujud tanpa nushush as-syari’ah. Di pihak lain, nushush as-syari’ah dalam penafsiran dan penjelasan maknanya perlu/harus memperhatikan maqashid as-syari’ah sehingga ketentuan hukum yang digali darinya tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga kontekstual.
Maqashid as-syari’ah tidak hanya penting diperhatikan dalam menafsirkan nash, tetapi juga sangat dibutuhkan untuk menggali hukum syar’i yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. dalil-dalil sekunder semacam istihsan, mashlahah mursalah dan ‘urf pada hakikatnya merujuk pada maqashid as-syari’ah.
1) Istihsan
Istihsan dalam pengertian sederhana ialah kebijakan mujtahid yang menyimpang dari ketentuan al-qiyas yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum. Secara lebih bagus, Syaikh Abdul Wahab al-Khallaf mengatakan: “Istihsan ialah kebijakan mujtahid dengan berpegang kepada qiyas khafi dengan meninggalkan qiyas jail; atau meninggalkan hukum kulli dengan berpegang pada hukum juz’i-istisna’i (hukum pengecualian) karena ada dalil yang menghendaki demikian.”[22]
Jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua dalil qiyas yang satu jali dan yang lain khafi, maka pada dasarkan mujtahid harus berpegang pada dalil yang rajih, yaitu qiyas jali. Namun, atas pertimbangan-pertimbangan (dalil) tertentu, mujtahid bisa meninggalkan qiyas jali yang rajih dengan mengambil qiyas khafi yang marjuh. Cara kerja inilah yang dikenal dengan istihsan.
Begitu juga, jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua ketentuan hukum, yang satu hukum kulli dan yang lain hukum juz’i istisna’i, kemudian mujtahid mengambil hukum yang juz’i–istisna’i dan meninggalkan hukum kulli atas dasar pertimbangan kebutuhan (dharurah atau hajah), ini juga disebut istihsan. Contoh, dalam hukum (ketentuan) umum ditetapkan bahwa obyek transaksi (ma’qud ‘alaih) harus berupa sesuatu yang telah nyata ada. Akan tetapi, dari ketentuan hukum ini ada beberapa transaksi yang dikecualikan atas dasar kebutuhan masyarakat, seperti ijarah, salam, istishna’ (mirip akad salam), dan lain-lain.
Kedudukan istihsan sebagai salah satu pertimbangan penetapan hukum adalah masalah khilafiyyah (kontroversial), sebagian menerima dan sebagian lain menolak. Imam as-Syafi’i merupakan salah seorang yang menolak istihsan, dengan ungkapannya yang sangat terkenal:
مَنِ اسْتْحَسْنَ فَقَدْ شَرَّعَ.
“Barangsiapa menggunakan istihsan sebagai dalil, berarti ia telah membuat-buat syariat baru.”
Walau demikian, istihsan dengan pengertian di atas sesungguhnya secara de facto diamalkan oleh hampir semua fuqaha’, termasuk Imam as-Syafi’i sendiri. Sedangkan istihsan yang ditolak as-Syafi’i bukan istihsan dengan pengertian di atas melainkan istihsan yang didasarkan atas keinginan subjektif seseorang tanpa pijakan dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.[23]
Istihsan sesungguhnya bukanlah keinginan nafsu seseorang dalam proses penetapan hukum. Sebaliknya, istihsan mempunyai pijakan dalil yang muaranya tak lain untuk memelihara kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Pada kenyataannya, dalam berbagai kasus hukum, penggunaan istihsan tidak dapat dihindari.
2) Al-Mashlahah al-Mursalah
Mashlahah berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat. Mashlahah dan manfaat adalah dua kata yang se-wazan dan semakna. Mashlahah juga diartikan sebagai tindakan yang membawa manfaat. Seperti menuntut ilmu adalah mashlahah karena membawa manfaat, dan seterusnya. Sedangkan dalam terminologi ushul fiqh, mashlahah adalah setiap hal yang menjamin terwujud dan terpeliharanya maksud tujuan syar’i (maqashid as-syari’ah), yaitu hifzh ad-din, hifzh an-nafs, hifzh al-‘aql, hifzh an-nasl/hifzh al-‘irdl, dan hifzh al-mal.[24]
Para ulama membagai mashlahah ke dalam tiga bagian, yaitu:[25] pertama, adalah mashlahah mu’tabarah, yaitu mashlahah yang diapresiasi syar’i melalui nash al-Qur’an atau as-Sunnah, seperti diharamkannya setiap minuman yang memabukkan. Kedua, adalah mashlahah mulgha, yaitu mashlahah yang dinafikan oleh syar’i melalui nash al-Qur’an atau as-Sunnah, seperti penyamaan pembagian harta waris antara anak laki-laki dan anak perempuan yang dianggap sebagai mashlahah. Ketiga, adalah mashlahah mursalah, yaitu mashlahah yang tidak memiliki acuan nash, baik nash yang mengakui (i’tibar) ataupun yang menafikannya (ilgha’), seperti merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw, penulisan dan penyatuan al-Qur’an dalam satu mushaf, pencatatan pernikahan, dan lain-lain.
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan mashlahah mursalah. Walau begitu, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, syariat Islam terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi ibadah dan dimensi mu’amalah. Ulama sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan acuan hukum dalam wilayah ibadah. Sebab, ibadah berbasis pada ketundukan dan kepasrahan secara total, karena nilai mashlahah-nya tidak dapat dinalar akal pikiran manusia.[26]
Sedangkan dalam wilayah mu’amalah, ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan mashlahah mursalah. Ulama yang menerima mashlahah mursalah sebagai acuan hukum menetapkan syarat-syarat sebagai berikut: a) harus berupa mashlahah haqiqiyah-qath’iyyah (faktual), bukan mashlahah wahmiyah (semu), b) harus berupa mashlahah ‘ammah-kulliyah (kemaslahatan umum), bukan mashlahah fardiyyah-khasshah (personal-subjektif), c. harus tidak berlawanan dengan hukum atau prinsip-prinsip yang ditetapkan berdasar nash atau ijma’,[27] d) al-Ghazali menambahkan satu syarat, yaitu: mashlahah dimaksud bersifat dharuriyyah (keharusan.[28
3) ‘Urf
‘Urf adalah sesuatu yang sudah dikenal bersama dan dijalani oleh masyarakat, baik berupa perbuatan (amali) ataupun perkataan (qauli).[29] ‘Urf dan ‘adah adalah dua kata yang mafhumnya berbeda tetapi ma shadaq-nya sama. Artinya, dua kata tersebut memiliki akar yang berbeda. Akan tetapi sesuatu yang disebut ‘urf sekaligus juga disebut ‘adah dan sesuatu yang bisa disebut ‘adah sekaligus juga bisa disebut ‘urf. Dengan demikian, ‘urf dan ‘adah merupakan kata yang sinonim yang dalam bahasa Indonesia disebut tradisi.[30]
Para ulama membagi ‘urf dari segi wilayah berlakunya ke dalam dua bagian: a) ‘urf ‘amm, yaitu ‘urf yang berlaku pada seluruh atau mayoritas umat manusia pada masa tertentu, b) ‘urf khashsh, yaitu ‘urf yang berlaku pada masyarakat, komunitas atau daerah tertentu pada masa tertentu.[31] Sementara dari segi kesesuaiannya dengan nash dan prinsip-prinsip syariat, ‘urf dibagi menjadi dua macam: (a). ‘urf shahih yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau as-Sunnah dan tidak menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan yang halal, b) ‘urf fasid, yaitu ‘urf yang bertentangan dengan nash sharih al-Qur’an atau as-Sunnah, menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal.[32]
Namun, ada pandangan tunggal tentang kebolehan berhujjah dengan ‘urf. Walau demikian, para ulama sepakat bahwa ‘urf fasid tidak dapat dijadikan acuan dalam penetapan hukum. Sedangkan ‘urf shahih diperselisihkan di kalangan mereka. Aimmah al-madzahib al-arba’ah menjadikan ‘urf shahih sebagai acuan penetapan hukum, tapi dengan kadar berbeda. Imam madzhab yang dikenal paling banyak menggunakan urf adalah imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Ahmad bin Hanbal dan imam Syafi’i[33].
Contoh-contoh ‘urf: a) Perempuan yang haid dengan teratur, dalam menentukan kadar haid dapat berpedoman pada ‘urfnya. b) Pemberian pranikah terhadap calon istri tidak dipandang sebagai bagian dari mas kawin berdasarkan ‘urf yang berlaku di sebagian daerah di Indonesia. c) Kata al-marhum dalam ‘urf Indonesia hanya digunakan untuk orang yang meninggal dunia. Padahal arti asalnya (yang dirahmati Allah) bisa digunakan untuk orang hidup atau orang mati.
Ada beberapa kaidah terkait dengan peranan ‘urf sebagai acuan hukum, di antaranya:
اَلْمَعْرُوفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوطُ شَرْطًا. [34]
“Sesuatu yang telah dikenal sebagai suatu kebiasaan, sama halnya dengan sesuatu yang dianggap sebagai syarat.”
اَلثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِّ.[35]
“Sesuatu yang telah ditetapkan oleh ‘urf sama halnya dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh nash.”
Di samping sebagai acuan hukum, sesungguhnya urf dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menjabarkan (tafsir) ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat ijmali dan tidak memiliki standar praktis. Dalam kitab al-Asybah wa al-nazhair dikatakan:
كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلَا ضَابِطَ لَهُ فِيهِ وَلَا فِي اللُّغَةِ يَرْجِعُ فِيهِ إِلَى الْعُرْفِ.[36]
“Setiap sesuatu yang datang dari syar’i secara mutlak dan tidak ada batasan baginya, baik dalam syariat maupun dalam kebahasaan, maka sesuatu tersebut dikembalikan pada ‘urf (kebiasaan).”
Dengan menjadikan ‘urf sebagai salah satu acuan hukum mak hukum Islam menjadi sangat dinamis. Sebab, hukum dapat berubah karena berubahnya ‘urf. Dalam kaidah ushul fiqh dikatakan:
اَلْأَحْكَامُ الْمَبْنِيَّةُ عَلَى الْعُرْفِ تَتَغَيَّرُ بِتَغَيُّرِهِ زَمَانًا وَمَكَانًا.[37]
“Hukum-hukum yang didasarkan pada tradisi bisa berubah sebab perubahan waktu dan tempat keberadaan tradisi tersebut.”
Istinbath hukum berdasarkan ‘urf masuk dalam lingkup ijtihad istishlahi. Ini artinya, menjadikan maslahah sebagai tujuan syariat berkonsekuensi logis pada keharusan memperhatiakn ‘urf manusia selama tidak bertentangan dengan syarat.
Penutup
Akhirnya penting dinyatakan sekali lagi bahwa metode istinbath ini harus dilakukan oleh orang yang ahli yang telah memenuhi persyaratan untuk melakukan istinbath. Istinbath pun harus dilakukan secara jama’i (kolektif) bukan secara fardi (individual). Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan istinbath al-ahkam.
Sekiranya disebut bahwa metode istinbath ini terdiri dari metode bayani, metode qiyasi dan metode istishlahi-maqashidi yang mencakup istihsan, mashlahah mursalah dan ‘urf, maka tak menutup kemungkinan metode maqashidi ini untuk diperlebar cakupannya pada istishhab dan sadd ad-dzari’ah seperti telah diuraikan di dalam kitab-kitab ushul fiqh.
Keputusan Muktamar NU Ke-33 di Jombang, 7-11 Rabi’ul Akhir 1431 H/1-6 Agustus 2015 M
Tentang: Masail ad-Diniyyah al-Maudhu’iyyah: Metode Istinbath al-Ahkam dalam NU
Ditetapkan di: Jombang
Pada tanggal: 04 Agustus 2015
Tim Perumus
Ketua merangkap anggota: KH. Afifuddin Muhajir (PBNU) dan KH. Arwani Faishal (LBM PBNU)
Sekretaris merangkap anggota: KH. Abdul Jalil (PWNU Jawa Tengah), KH. Sarmidi Husna (LBM PBNU) dan KH. Hudallah Ridwan (LBM PWNU Jawa Tengah)
Anggota: KH. Syafruddin Syarif (PWNU Jawa Timur), Dr. H. Muqsith Ghazali (LBM PBNU), Dr. H. Syafiq Hasyim, KH. Muhibbul Aman Aly (PWNU Jawa Timur), KH. Fuad Thohari, H.M. Taufiq Damas, KH. Imam Jazuli dan Dr. H. Sa’dullah Afandi
End Note:
[1] ‘Atha’ al-Rahman an-Nadwi, al-Ijtihad wa Dauruhu fi Tajdid al-Fiqh al-Islami dalam Dirasat al-Jami’ah al-Islamiyyah al-‘Alamiyah, Desember 2006, Jilid III, h. 82.
[2] An-Nadwi, al-Ijtihad wa Dauruhu fi Tajdid al-Fiqh al-Islami, Jilid III, h.82.
[3] Al-Jizani, Manhaj as-Salaf fi al-Jami’ bayn al-Nushush wa al-Maqashid wa Tathbiquha al-Mu’ashirah, (Riyadh: al-Mamlakah al-‘Arabiyah asl-Sa’udiyyah Wizarah al-Ta’lim al-‘Ali, 2010), h. 42-43.
[4] Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, h.165.
[5] Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), Juz IV, h. 189.
[6] Al-Jizani, Manhaj as-Salaf fi al-Jami, h. 41.
[7] As-Suyuthi, al-Kaukab as-Sathi’ Nazhm Jam’ al-Jawami’, (ttp.: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1998), h. 212.
[8] Zakariya al-Anshari, Ghayah al-Wushul, h. 83.
[9] Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, h.143-152.
[10] Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Juz IV, h. 189.
[11] Saya dalam pembahasan ini maksudnya adalah KH. Afifuddin Muhajir selaku penulis awal Draf Istinbath Hukum ini.
[12] Sayyid Mubarak, Mashadir al-Fiqh al-Islami, (16 Maret 2012).
[13] Khudhairi Bik, Tarikh al-Tasyri al-Islamiy, h. 116.
[14] Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, h. 52.
[15] Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, h. 60.
[16] Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, h. 60-61.
[17] Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, h. 68-70.
[18] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Dimasyqa: Dar al-Fikr, 1986, Juz I, h. 703.
[19] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Dimasyqa: Dar al-Fikr, 1986, Juz I, h. 704.
[20] Al-Munawi, Faidh al-Qadir, Bairut: Dar al-Ma’rifah, tth., Juz VI, h. 353.
[21] Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 173.
[22] Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 79-80.
[23]Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 83.
[24]Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 197-205.
[25]Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Mu’assasah Qurthubiyyah, tanpa tahun, h. 236-237.
[26]Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h. 238.
[27]Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 86-87.
[28]Abd al-Hayy al-Farmawi, “Syuruth al-Amal bi al-Mashlahah al-Mursalah” dalam Hadyu al-Islam, (Selasa, 6 Juli 2010).
[29]Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h.89.
[30]Abd al-Jalil Mabrur, Mabahits fi al-‘Urf, h. 86-87.
[31]Muhammad Gharayibah, “Takhshish ‘Aamm an-Nash as-Syar’i bi al-‘Urf, dalam al-Majallah al-Urduniyyah fi ad-Dirasat al-Islamiyyah, (2005), ke-1.
[32]Muhammad Gharayibah, “Takhshish ‘Aamm an-Nash as-Syar’i bi al-‘Urf, dalam al-Majallah al-Urduniyyah fi al-Dirasat al-Islamiyyah. Lihat juga Mahmud ‘Abud Harmusy, al-‘Urf, (Beirut: Jami’ah al-Jinan, tth.), h.5.
[33]Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 90. Lihat juga: Mahmud ‘Abud Harmusy, al-‘Urf, h. 5.
[34] Ahmad bin Muhammad az-Zarqa, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Dimisyqa: Dar al-Qalam, 1989), h. 237.
[35] Abdul Aziz Muhammad Azzam, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2005), h. 196.
[36] As-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha’ir fi al-Furu’, (Semarang: Toha Putra, tth.), h. 69.
[37]Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 91.