KH. MUH. ASNAWI UMAR
(ULAMA’ PURWOREJO)
TAHUN 1916 – 1986
OLEH : KH. MUH. ACHADI ASNAWI
AYAHKU DAN GURUKU KH. MUH. ASNAWI UMAR
Masa Kecil
Di sekitar tahun 1916 (tanggal dan bulannya kurang jelas) di desa (sekarang kelurahan) Pangenjurutengah Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo lahirlah seorang anak bernama Kasan (yang kemudian nama dewasanya Muh. Asnawi) dari pasangan suami – isteri Bapak Amat Umar dan Ibu Nurriyah yang bermata pencaharian petani dan pedagang beras. Hidup di alam penjajahan Belanda, semuanya serba bersahaja dilihat dari segala aspek : sosial, ekonomi dan sebagainya. Kasan kecil dan keluarganya, tak lain dari sebagian komunitas yang akrab dan tak jauh dari kondisi dan potret dari keadaan waktu itu. Kasan kecil hanya tamat Sekolah Rakyat dan mengenal agamanya (Islam) dari orang tuanya, disamping guru-guru ngaji di kampung desanya. Pak Ahmat Umar (ayah Kasan) kebetulan mempunyai sebuah langgar kecil (surau) di dekat rumahnya. Agaknya dari situlah kecenderungan Kasan terhadap agama Islam dimulai.
Masa Remaja
Setamat Sekolah Rakyat, ketika umur Kasan + menginjak 14 tahun, ia pergi mondok ke Pesantren Watucongol – Muntilan, mengaji dan berguru kepada Hadratus Syekh Romo KH. R. Dalhar. Cukup lama ia berkhidmah disana, sampai + total selama 16 tahun sampai akhirnya ia dipercaya sebagai Qori (pembaca Kitab kuning) dan lurah pondok disana. Kasan atau Muh. Asnawi bahkan sangat disayang oleh Romo KH. R. Dalhar dan menjadi tangan kanan kepercayaan beliau. Ketika Romo KH. R. Dalhar mengetahui bahwa Muh. Asnawi senang dan tertarik dengan hadis-hadis Nabi SAW, maka disuruhlah ia untuk memperdalam (mengaji) hadis ke Pesantren Tebu Ireng–Jombang–Jawa Timur. Maka dengan patuh, Muh. Asnawi kemudian berangkat ngaji mondok ke Pesantren Tebu Ireng, untuk berkhidmah kepada Hadratus Syekh Hasyim Asyari. Kurang lebih selama 3 tahun, Muh. Asnawi mengaji di Pesantren tersebut, utamanya memperdalam hadis dan segala ihwalnya. Sepulang dari Pesantren Tebu Ireng, Muh. Asnawi sempat kembali ke Pesantren Watu Congol Muntilan, walau tidak seberapa lama .
Pulang Kampung
Ketika usia Muh. Asnawi sudah merangkak menginjak dewasa, sebagai pemuda yang sudah lumayan mengenyam pendidikan pesantren, ia oleh masyarakat mulai dipercaya untuk mengajar / mulang ngaji di Mushola rintisan ayahnya (Pak Amat Umar) dan di seputar kampungnya. Ia pun kemudian diambil menantu oleh Bapak H. Munawir dari Baledono Krajan Purworejo dijodohkan dengan putrinya – Khotijah. Tetapi agaknya Allah belum menakdirkan menjadi jodohnya, sebab ternyata Muh. Asnawi masih mondar-mandir ke pesantrennya di Watu Congol, belum bisa meninggalkannya secara total, walau beliau telah beristri. Akhirnya, pernikahan itupun kandas di tengah perjalanan yang masih teramat pendek, berakhir dengan furqoh (perceraian). Rupanya Muh. Asnawi masih lekat dan ental dengan almamater pesantrennya, sampai akhirnya baru bisa total meninggalkan Pesantrennya setelah ia dinikahkan lagi dengan Chomsatun binti H. Munawir (adik kandung Khotijah, mantan istrinya dahulu). Perkawinan yang kedua itu tercatat dalam salinan kutipan nikah tertanggal 10 Rabiul Awal 1359 H atau 18 April 1940. Dari perkawinan kedua inilah, kemudian Muh. Asnawi menurunan putra-putrinya yang sekarang. Sedangkan dengan istri pertama (Ibu Khotijah) belum sempat memberikan keturunan. Ibu Khotijah sendiri, kemudian diperistri oleh Bapak H. Thoifur dari Somolangu – Kebumen, dan kemudian menurunkan anak-anak putri yang banyak. Setelah mukim di rumah, Muh. Asnawi kemudian mendirikan Pondok Pesantren untuk menampung santri-santri yang mengaji yang rumahnya jauh. Pondok itu teramat sederhana, yakni berupa panggung dari bambu terdiri dari beberapa guthekan (kamar), yang kemudian menjadi Pondok Pesantren “NURUL HIDAYAH” sampai sekarang. Beralamat di Pangenjurutengah Gang Santri Purworejo Telepon 321250 .
Masa Perjuangan
Sebagai seorang yang telah matang dalam kedewasaanya, Muh. Asnawi sebagai pribadi yang telah berkeluarga dan sebagai anggota masyarakat sekaligus sebagai bagian dari komunitas Umat Islam, ia pun dengan segala kekuatan dan kemampuannya berjuang agar eksistensinya selalu membawa manfaat. Ia pun berjuang untuk keluarganya dengan berjualan sebagai tukang kemasan kecil-kecilan dari satu pasar ke pasar yang lain. Di samping itu, ia juga berjuang untuk agamanya, dengan mengajar mengaji baik mengaji kitab-kitab, maupun pengajian umum di berbagai tempat, termasuk pula mengajar dengan sistem madrasi. Dalam kancah perjuangan organisasi keislaman, Muh. Asnawi aktif di organisasi Nadlatul Ulama, tercatat ia sebagai Ketua PERTANU (Persatuan Tani Nahdlatul Ulama). oleh karenanya, ia sempat mengikuti event-event muktamar NU di berbagai tempat (Medan-Surabaya-Jakarta dan sebagainya). Era pasca Khittoh NU, beliau dipercaya sebagai Rois Syuriyah NU Cabang Purworejo hingga wafatnya.
Era Sebagai Pegawai
Kurang lebih di tahun 1953, lantaran dorongan dan ajakan serta motivasi dari karibnya-Almarhum KH. Saifudin Zuhri (Mantan Menteri Agama- Angota DPR / PR – RI), Muh. Asnawi diterima sebagai Pegawai Negeri Sipll di lingkungan Kementrian Agama. Ia ditugaskan pada Kantor Kenaiban (sekarang KUA) Kota Purworejo. Disitu pula ia kemudian menjadi Naib / Penghulu atau petugas pencatat nikah dan sekaligus sebagai Kepala KUA, pada akhirnya karier beliau terus meningkat sampai kemudian menjadi Kepala Dinas Urusan Agama Islam Kabupaten Purworejo merangkap sebagai Kepala Kantor Perwakilan Departemen Agama Kabupaten Purworejo (Embrionya Kantor Departemen Agama Kabupaten). Beliau pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tanggal 1 Januari 1972 dengan pangkat terakhir Penata Muda Golongan III/a.
Sisi Kegiatan Lain
Disamping beliau aktif dalam pemerintahan, juga dalam pelbagai kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Beliau melakukan kegatan da’wah ke daerah-daerah, keluar masuk kampung, desa bahkan sampai ke pelosok pegunungan, terutama pada acara-acara mauludan, rejeban dan sebagainya, terkadang beliau pulang sampai larut malam bahkan menjelang subuh. Sering kali beliau pulang dengan membawa berkat (nasi makanan komplit) dengan ukuran kaliber (pakai engkung dan telor yang banyak, pisang 1 lirang dan sebagainya). Seorang yang selalu mengantar beliau dengan sepeda motornya (merk : IFA) adalah Bapak Suprapto (almarhum) mantan Kepala SD Pangenrejo, bertahun-tahun pak Suprapto mendampingnya. Pada tanggal 1 April 1962, beliau mendirikan jama’ah pengajian dengan nama : Jama’ah Qulhu (kemudian berubah menjadi jama’ah / Thoriqooh Ikhlasiyah) dengan wiridan utamanya membaca surat Qulhu / Ikhlas minimal sebanyak 1000 kali dalam satu selapanan (+ 36 hari). Pengajian itu diselengarakan setiap Ahad Kliwon antara pukul 09.30 – 12.30 WIB bertempat di Musholla dan sekitarnya (pondok, rumah). Pada mulanya, yang mengikuti pengajian (kebanyakan orang-orang tua) hanya berkisar 25 – 30 orang, kemudian berkembang terus hingga mencapai ribuan jama’ah setelah berjalan puluhan tahun. Sampai dengan saat ini (waktu tulisan dibuat: red), pengajian itu masih tetap eksis dengan hari dan waktu yang tidak diubah (pengajian akbar, selapanan Ahad Kliwon) dan dengan jumlah anggota yang sudah tercatat dalam buku induk telah mencapai lebih 5.000 orang. Disamping itu, beliau juga mengajarkan (mursyid) Thoriqoh Sadziliyah, yang beliau terima dari gurunya – Romo Kyai Dalhar. Beliau juga pernah aktif mengadakan pengajian “Dalailul Khoirat” dengan keliling dari rumah ke rumah seminggu sekali, pada sekitar tahun 1960 – 1970. Disamping itu pula, beliau mengadakan pengajian membaca Kitab Shohih Bukhori dan Muslim di Mushollanya dan di Masjid Agung Purworejo (kemudian berkembang menjadi darusan Kitab Bukhori yang diadakan keliling di tempat-tempat orang / Kyai yang bersedia mengunduh). Tercatat pula, beliau pernah aktif mengajar di Sekolah Persiapan IAIN (SP. IAIN) Purworejo dari sekitar tahun 1962 – 1972, bahkan sempat menjadi Staf Direktorium sekolah tersebut. Disamping itu beliau juga menjadi Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN “Sunan Kalijaga” Cabang Purworejo, dengan memegang mata kuliah Pengantar Ilmu Hadis dan Hadis, dan sekitar tahun 1966 – 1975 (sampai kemudian lembaga itu dilikuidasi ke induk IAIN “ Sunan Kalijaga” Yogyakarta). Selepas dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Cabang Purworejo (karena dilikuidasi), beliau bersama-sama dengan Ulama-ulama Purworejo (KH. Nawawi Shiddiq, Kyai R. Damanhuri, KH. Djamil, Kyai Maftuh Muhtar dan sebagainya) mendirikan Perguruan Tinggi Islam “Imam Puro” (PTII) dengan membuka dua fakultas (Tarbiyah dan Syariah). Beliau sempat menjadi Dekan Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi tersebut sampai dengan wafatnya. (Cat : PTII sekarang bernama STAINU). Beliau juga menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Purworejo, sebuah organisasi yang menjembatani antara umat Islam dan Pemerintah, jabatan tersebut, beliau embank hingga wafatnya. Di kalangan para jama’ah haji Purworejo, beliau juga dipercaya sebagai Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Kabupaten purworejo (IPH) yang beliau rintis berdirinya di Kabupaten Purworejo (sekarang menjadi IPHI). Disamping itu, masih segar dalam ingatan para pendengarnya beliau sering berda’wah pula lewat stasiun radio “Yafsi” Purworejo.
Karya – Karya Beliau
Bapak KH. Muh. Asnawi Umar cukup produktif dalam menulis, terbukti banyak karya-karya tulis yang beliau tinggalkan, diantaranya :
- Kitab “Durraotul Ahadis”
- Kitab “Arbain Al Asnawiyah”
- Risalah “ Manaqib Sadziliyah”
- Risalah “Mustikaning Surat”
- Risalah “Aqoid 50”
- Risalah “Al-Manqulatu fi bayani fadlilati qiroati suratil ikhlashi wal kalimatit thoyyibah”
- Risalah “ Surat Yasin dengan faidah-faidah dan khasiyah-khasiyahnya”
- Risalah “Mustikaning surat, Tahlil dan Do’a-doa penting”
- Syiiran-syiiran terdiri dari berbagai edisi.
Sifat – Sifat Beliau
Sifat-sifat beliau yang menonjol dan sudah ditengarai oleh banyak orang adalah disiplin, moderat, lentur, telaten dalam memelihara sesuatu pengajian, mengikuti perkembangan zaman dan banyak inisiatif. Beliau wafat pada tanggal 24 Dzulhijjah 1406 H atau 29 Agustus 1986 dalam usia 70 tahun (Allahummagh firlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu), satu pekan setelah pulang dari ibadah haji yang ke-2, meninggalkan satu orang putra dan lima orang putri, yaitu :
- Asfiyah (Swasta)
- Awaliyah (PNS)
- Fatimah (Swasta)
- Muh. Asnawi (PNS)
- Isnaeni (PNS)
- Rohimah (PNS)
Pesan – pesan
Diantara kata-kata / pesan beliau yang sering diucapkan dan dihafal oleh anak cucu dan murid / santri adalah :
- Cekat-ceket (segera, jangan lambat)
- Clipas-clipus / Gopas-gapes (untuk mengatakan murid / santri yang kurang tegas / kurang bertanggung jawab
- Ojo wedi karo wong, ora bakal dibrakot (jangan takut terhadap sesame orang, tidak akan digigit!)
- Aworo dlimor ojo nganti kawor (bergaulah dengan siapa saja, tapi jangan sampai terpengaruh yang negatif)
- Ba’da sholat fardlu ojo lali kirim fatihah kanggo bapak-ibune (ba’da sholat fardlu jangan lupa kirim fatihah untuk bapak-ibunya).
Demikian sekilas mengenang mendiang Almarhum Bapak KH. Muh. Asnawi Umar, semoga anak, cucu dan murid-murid beliau mampu meneruskan perjuangan beliau menegakan Agama Islam dan melestarikan kebaikan-kebaikan yang telah beliau rintis dan lakukan. Mudah-mudahan Allah swt. Mengampuni segala dosa beliau dan menerima amal sholihnya.
Purworejo, 23 Januari 2003
Penulis,
Muh. Achadi Asnawi
Catatan :
Tulisan ini dipersembahkan untuk keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Hidayah, Pangenjurutengah Purworejo pada khususnya, dan masyarakat muslim pada umumnya.
Sumber: aaghine.wordpress