Dahulu, di berbagai negara muslim, tanpa terkecuali Indonesia, sebelum adanya kesadaran tentang persamaan peran gender, posisi perempuan sangat lemah.
Kondisi mereka pada umumnya tidak berpendidikan, tidak memiliki skill dan keterampilan, tidak mengerti hak-hak sebagai manusia merdeka, tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) dalam perkawinan karena sangat tergantung kepada suami, baik secara psikis maupun finansial, dan tidak banyak berkiprah di dunia publik, terutama di bidang politik.
Akibatnya, perempuan hanya menjadi obyek dan bukan subyek dalam semua program pembangunan. Tidak heran jika mereka sangat rentan akan perlakuan eksploitasi dan kekerasan. (Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender [Yogyakarta: Kibar Press, 2007], halaman 17.)
Perempuan juga ditempatkan pada posisi inferior. Peran mereka terbatas sehingga akses untuk memperoleh kekuasaan juga terbatas, akibatnya perempuan mendapatkan status yang lebih rendah dari laki-laki.
Sebagai ibu atau sebagai isteri, mereka memperoleh kesempatan yang terbatas untuk berkarya di luar rumah, penghasilan mereka sangat tergantung pada kerelaan laki-laki.
Meskipun bersama dengan anggota keluarganya merasakan perlindungan yang diperoleh dari suaminya, hak-hak yang diperolehnya jauh lebih terbatas daripada hak-hak yang dimiliki suaminya. (Allan G. Johnson, Human Arrangements: an Introduction to Sociology [San Diego: Harcourt Brace Jovanovich Publisher, 1986], halaman 399-400.)
Di dalam pengalaman sehari-hari, antara laki-laki dan perempuan senantiasa terjadi konflik dan ketegangan gender. Perempuan tetap memiliki keinginan untuk bergerak secara leluasa guna meningkatkan status dan rasa percaya diri tetapi budaya dalam masyarakat membatasi keinginan mereka, terutama bagi mereka yang telah kawin, apalagi jika sudah mempunyai anak.
Pada saat itu, perempuan menghadapi beban ganda (double burden). Di satu sisi mereka perlu berusaha sendiri, tetapi di sisi lain mereka harus lebih konsisten mengasuh anak dan mengurus keluarga.
Laki-laki lebih leluasa melakukan berbagai kegiatan produktif, selain karena mereka terbebas dari fungsi-fungsi reproduksi seperti mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi, juga budaya masyarakat menuntut laki-laki untuk berperan lebih besar di sektor non-keluarga (non-family role obligation). (Allan G. Johnson, Human Arrangements: an Introduction to Sociology [San Diego: Harcourt Brace Jovanovich Publisher, 1986], halaman 400-401.)
Upaya regenerasi sudah dilakukan oleh para bu nyai untuk menggantikan peran mereka di dalam kegiatan tersebut, namun tidak memperoleh hasil yang memuaskan. Ketidakberhasilan upaya regenerasi tersebut disebabkan oleh kendala-kendala sebagai berikut:
Pertama, kesibukan masing-masing bu nyai di dalam mengurus rumah tangga dan pesantren masing-masing.
Kedua, sulitnya mencari figur pengganti para bu nyai tersebut karena calon penggantinya
(biasanya putri kiai) dianggap kurang mampu dan kompeten.
Ketiga, jika ditemukan pengganti figur para bu nyai tersebut, maka tidak akan bertahan lama dan tidak aktif kembali jika telah menikah karena alasan harus mengikuti suaminya.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh para bu nyai tersebut secara tidak langsung dipengaruhi oleh tradisi pesantren yang selama ini memandang kedudukan perempuan di pesantren bukan untuk memperdalam ilmu, mereka belajar hal-hal yang berkaitan dengan kesiapannya sebagai calon isteri yang shalihah.
Hal itu bisa kita lihat dari materi-materi pelajaran yang diajarkan untuk santri perempuan, terutama di pesantren-pesantren yang belum tersentuh pendidikan umum.
Mereka diajari kitab-kitab sederhana yang isinya lebih banyak tentang panduan menjadi perempuan dan isteri shalihah.
Kajian tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu lainnya yang diajarkan kepada mereka disesuaikan dengan kapasitas keperempuanan mereka. Kapasitas keperempuanan yang umum dipahami oleh kalangan pesantren adalah perempuan sebagai pendukung kaum laki-laki.
Sebagai pendukung, maka mereka tidak perlu memiliki kemampuan keagamaan yang setara dengan laki-laki. Biarlah nanti suami-suami mereka yang akan mengajarkan agama pada mereka.
Lebih jauh, bahkan Bu Nyai Hj. Roikhanah Faqih menyatakan bahwa sulitnya mencari figur pengganti para bu nyai tersebut karena para kiai muda (gus) lebih mengutamakan faktor kecantikan fisik daripada faktor kapasitas dan kapabilitas pendidikan keagamaan di dalam memilih isteri yang akan diperankan sebagai bu nyai di pesantrennya masing-masing.
Sehingga sangat sulit untuk mengharapkan para isteri kiai muda tersebut menjadi bu nyai yang memiliki kemampuan dan keinginan untuk ikut serta mendampingi para santri di dalam kegiatan tersebut.
Namun, hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena bu nyai bukan merupakan antitesis dari kiai. Jika seorang kiai adalah seorang laki-laki yang memiliki kapasitas keilmuan keagamaan yang mumpuni (menguasai kitab kuning) dan menggunakan pesantren sebagai basis sosialnya, maka keberadaan bu nyai pada umumnya sama sekali tidak demikian.
Untuk menjadi kiai, misalnya, harus memiliki beberapa syarat:
Pertama, pemahamannya tentang ilmu agama tidak diragukan.
Kedua, komitmen moral yang tinggi. Ketiga, kedua hal tersebut harus mendapat pengakuan dari masyarakatnya.
Tidak demikian dengan bu nyai, seorang perempuan langsung mendapat predikat bu nyai jika ia menikah dengan seorang kiai. Jadi, bu nyai adalah kategori kebudayaan yang tidak berkaitan dengan dunia keilmuan dan keagamaan, tetapi berkaitan dengan dunia perkawinan.
Dengan demikian, posisi bu nyai di dalam pesantren tidak terlalu sentral sebagaimana posisi kiai. Ketidaksentralan inilah yang menyebabkan posisi bu nyai tidak terlalu berarti di lingkungan pesantren. Tanpa kehadiran bu nyai, pesantren tidak akan berhenti. akan tetapi tanpa kiai, pesantren akan mati.
Oleh karena itu, peran kelompok perempuan dengan representasi tertingginya sebagai bu nyai tidak terlalu menonjol dan sama sekali tidak diperhitungkan di lingkungan pesantren.
Karena semakin berkurangnya keaktifan para bu nyai yang berakibat kepada kevakuman kegiatan dialog interaktif dan tanya jawab ini, maka para bu nyai sepakat untuk menyerahkan keberlangsungan kegiatan ini kepada para kiai dan ustadz yang tergabung dalam Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) Putra Se-Jawa Madura sehingga disepakati bahwa kegiatan dialog interaktif dan tanya jawab RMI Putri Kota dan Kabupaten Kediri diformalkan menjadi FMP3 Jatim, dengan kegiatan utama Bahsth al-Masa’il.
FMP3 Jatim dibentuk pada tahun 2003 dan pertama kali menyelenggarakan Bahsth al-Masa’il pada tanggal 3 Agustus 2003 di Pondok Pesantren Putri As-Sa’idiyah Jamsaren Kota Kediri.
FMP3 Jatim pertama kali dipimpin oleh KH. Atho’illah Sholahuddin Anwar (Ketua Dewan Penasehat) dan Ust. Nur Salim Habibi (Ketua Umum Dewan Harian).
Saat ini, kegiatan Bahsth al-Masa’il FMP3 Jatim diikuti oleh delegasi dari sekitar 127 pondok pesantren putri di Jawa Timur sehingga kegiatan ini mencerminkan terwujudnya konsepsi fiqh min al-nisa’ (fikih dari perempuan) yang merupakan bagian dari konsep fiqh al-nisa’ (fikih perempuan) yang diidealkan oleh Syafiq Hasyim dimana fiqh al-nisa’ (fikih perempuan) digambarkannya sebagai:
Pertama, fiqh fi al-nisa’ (fikih tentang perempuan), artinya persoalan-persoalan yang dibahas dalam fikih ini adalah segala ketentuan hukum Islam yang menyangkut tentang diri perempuan.
Kedua, fiqh li al-nisa’ (fikih untuk kaum perempuan), artinya fikih ini dirumuskan untuk kepentingan kaum perempuan.
Ketiga, fiqh min al-nisa’ (fikih dari perempuan), artinya fikih yang dirumuskan oleh kaum perempuan.
(Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam [Bandung: Mizan, 2001], halaman 243-244.)
Hingga saat ini, Bahsth al-Masa’il FMP3 Jatim sudah dilaksanakan sebanyak lebih dari 24 kali di berbagai pesantren putri di daerah Jawa Timur. Hal tersebut diharapkan bisa membuat FMP3 Jatim semakin kokoh dengan tradisi keilmuan pesantren dan menjadi simpul penjalin solidaritas dan silaturrahim antar pesantren putri se-Jawa Timur.
Wallahu a’lam
Penulis: Dr. Moh. Shofiyul Huda MF, M.Ag. Dosen IAIN Kediri dan Peneliti FMP3.