Asy-Syeikh Nawawi al-Bantani al-Jawi
(1230-1314 H/1815-1897 M)
           Masyarakat Banten termasuk masyarakat yang kuat memegang ajaran agamanya dan cenderung fanatik. Dengan jatuhnya kedaulatan Kesultanan Banten semakin menderita, apalagi semasa Cultuur Stelsel (tanam paksa). Penderitaan ini secara umum lebih berat di banding daerah lain di Indonesia, walaupun sama-sama anak jajahan. Penderitaan dan kemelaratan rakyat banten terungkap melalui buku karya Multatuli (Douwes Dekker) mantan presiden di Lebak Banten, yang berjudul Max Havelaar berisi kisah penderitaan Saijah dan Adinda.
           Di balik penderitaan pada pertengahan abad ke-19 tersebut, bumi banten justru bangkit dengan berbagai macam perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Salah satu yang terkenal adalah pemberontakan Cilegon 1888 yang dipimpin oleh Haji Wasid dan Tubagus Haji Ismail. Mereka yang terjun dalam peristiwa Cilegon tersebut tidak terlepas dari pengaruh dua ulama besar Banten, Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Abdul Karim al-Bantani. Keduanya bermukim dan belajar di Mekah, pernah pulang dan mendirikan pesantren di Banten untuk beberapa waktu dan kembali ke Mekah hingga akhir hayatnya, tetapi pengaruh mereka tetap luar biasa di Banten. Baik Syeikh Abdul Karim maupun Syeikh Nawawi adalah murid Syeikh Ahmad Khatib Sambas, bedanya Syeikh Abdul Karim mewarisi gurunya di bidang tarekat sebagai mursyid Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah, sedangkan Syeikh Nawawi mewarisi di bidang keilmuan fikih.
           Pernah Syeikh Nawawi kembali ke tanah air dari pengembaraannya di tanah suci Mekah, tetapi ternyata ia tidak betah tinggal lama di tanah air, karena situasi politik yang kurang menguntungkan. Tetapi ada pula yang menyebutkan bahwa dia adalah ulama muda yang rasional dan banyak mengikuti alur pemikiran Syeikh Abu Manshur al-maturidi, sedangkan masyarakat Banten masih tradisional berdasarkan alur pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari, walaupun keduanya dikalangan umat Islam dipandang sebagai tokoh Ahlussunnah wal Jamaah. Ada yang menyebutkan Syeikh Nawawi kembali ke Banten hanya beberapa bulan saja kemudan berangkat lagi ke Mekah untuk kedua kalinya dan bermukim di sana hingga akhir hayatnya.
Mbah Nawawi Banten Murid Ulama Besar Mekah
           Sampai dengan tahun 1860, ia belajar kepada ulama-ulama besar di Mekah, baik dari kalangan al-jawi maupun ulama asli Timur Tengah dan belahan dunia lainnya. Diantara gurunya yang terkenal adalah Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syeikh Abd al-Gani Bima, Syeikh Yusuf Sumbulawani, dan Syeikh Abd al-Hamid Daghestani, yang berasal dari Daghestani (wilayah Chesnya sekarang). Syeikh Ahmad Khatib as-Sambasi adalah seorang ulama intelektual dan spiritual yang terkenal di Mekah yang berasal dari Sambas (Kalimantan Barat). Diantara murid-muridnya ada empat orang yang terkenal dari kalangan al-Jawi, yakni Syeikh Nawawi al-bantani dan Syeikh Abd al-Karim al-bantani yang menonjol di dunia intelektual, Syeikh Abd al-Karim al-Bantani yang menonjol di dunia spiritual (sebagai pengganti gurunya menjadi mursyid Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah di Mekah) dan Syeikh Muhammad Khalil merupakan tipe campuran diantara mereka dan yang kembali ke tanah air dan menetap di Bangkalan hinga wafatnya. Diantara mereka, Syeikh Nawawilah yang paling senior dibanding yang lain, karena sebagai sahabat sekaligus sebagai guru mereka dalam hal tertentu.
           Setelah belajar selama 30 tahun, Syeikh Nawawi membaktikan diri sebagai pendidik sekaligus imam di masjid al-Haram Mekah selama 10 tahun (1860-1870) dan setelah itu ia lebih banyak mencurahkan tenaganya untuk mendidik santri di rumahnya dan mengarang kitab, hingga akhir hayatnya. J.A. Sarkis (sarjana Belanda) dalam bukunya, Dictionary of Arabic Printed Books, menyebutkan bahwa Syeikh Nawawi menulis lebih dari 39 kitab. Sedangkan menurut Prof. KH. Saifuddin Zuhri maupun KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ulama asal Banten ini menulis lebih dari 100 buah kitab besar maupun kecil. Karya ilmiyah ulama yang hafal al-Qur’an ketika baru berusia 18 tahun ini banyak membahas berbagai macam disiplin ilmu keislaman seperti tafsir, hadits, tauhid, tasawwuf, dan sebagainya.
Tafsir al-Munir, Kitab Rujukan Al Azhar
           Diantara karangan Syeikh Nawawi yang terkenal adalah Tafsir al-Munir yang ditulisnya selama tiga tahun (1302-1305 H/1887-1890 M) dengan judul asli Murah labib li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid. Kitab tafsir ini termasuk tafsir yang ilmiyah dan lebih rasional diantara sebagian kitab tafsir sebelumnya.Kitab ini dipergunakan sebagai rujukan di Universitas al-Azhar, sehingga namanya terkenal di sana.
           Kitab-kitab kuning lain karangan Syeikh Nawawi al-bantani banyak sekali, sebagian membahas masalah secara lepas tanpa terkait dengan kitab lain sebelumnya dan sebagian merupakan syarah (komentar, penjelasan atau perluasan dari kitab yang dikarang ulama lain sebelumnya). Sedangkan jangkauan isinya ada yang berkenaan dengan ilmu tauhid, fikih, tasawuf, hadits, nahwu, sharaf adapula pembahasan shalawat, fadhail al-a’mal dan sebagainya.
Diantara kitab karangan Syaikh Nawawi tersebut adalah Syarah al-Jurumiyah (1881) berisi komentar terhadap kitab nahwu dengan judul sama, Syarah manasik al Haj komentar atas kitab karangan Syaikh Syarbini (1880); Tanqih al-Qaul (meluruskan Pendapat) Syarah atas Lubab al-Hadits karya as-Suyuti. Fath al-Majib (1881); Syarah atas kitab ad-Dur al-Farid fi at-Tauhid karya gurunya sendiri Syaikh Nawawi al-Jawi; Fath al-Majid (1881) berisi fikih Syafi’I; Sullam at-TAuhid (Tangga pertolongan) berisi fikih Syafi’I (1881); Safinah an-Najah (Perahu keselamatan) berisi tentang fikih Syafi’I; Tijan ad-Daruri Syarah fi Tauhid, karya al-Bajuri berisi tauhid dan akhlak (1884); Sullam al-Munajah (Tangga untuk mencapai keselaatan); Syarah kitab safinah ash-Shalah karangan al-Hadhrami (1884); at-Tausyih, syarah kitab fath al-Qarib al-Mujib karya al-Ghazi; sullam al-Fudhala’ syarah manzhumah hidayah al-azkiya; berisi ajaran tasawwuf; misbah adz-Dzalam (Nur adz-Dzalam) 1857, berisi tentang hukum dan akhlak; Syarah al-Barzanji (1883) kupasan tentang shalawat diba’ dan al-Barzanji.
Syarah Isra’ Mi’raj dari karya Syaikh al-Barzanji; Syarah asma’ul Husna kupasan tentang 99 asma’ul Husna; nashaih al-ibad, nasihat-nasihat untuk hamba Allah, untuk gemar beribadah dan memperbanyak amal shalih; Dzariyah al-Yaqin (1886) membahas tentang doktrin Syaikh as-Sanusi dengan Tarekat Sanusiyahnya; Syarah Suluk al-Jidah berisi komentar kitab karya Syaikh al-Hadhrami tentang akhlak tasawwuf; Riyadh al-Badi’ah, berisi pandangan Syaikh Nawawi terhadap tarekat, ia tidak mengikuti tarekat seperti gurunya, Syaikh Ahmad Khatib Sambas, tetapi secara objektif mengakui tarekat selama tidak bertentangan dengan syari’at; al-Ibriz ad-Dani, berisi tentang tarih demikian pula kitab Bughyah al-Awam dan Fath ash-Shamad.
Karyanya di bidang sastra diantaranya, Fathu Ghafir al-Khatiyyah dan Lubab al-Bayan. Ada karya Syaikh Nawawi, Nihayah az-Zain fi irsyad al mubtadin yang merupakan syarah dari kitab fath al-Mu’in karangan Syaikh al-malibari (1883) berisi ilmu fikih, tetapi di dalamnya juga di bahas secara luas tentang khuntsa (wadam), yang saat itu belum banyak dibahas oleh orang lain. Ia juga menulis Uqud al-Lujain tentang kesetiaan dan ketaatan istri kepada suaminya.
Tetap Memperhatikan Perjuangan Bangsa Indonesia
           Syaikh Nawawi walaupun hidup di Mekkah, tetapi banyak memperhatikan perkembangan di tanah air, termasuk perkembangan politik penjajahan. Di Mekkah ulama besar asal Banten ini membentuk koloni Jawa, sebuah perkumpulan yang menghimpun masyarakat Jawa (nusantara) yang bermukim di tanah suci. Dalam menghadapi colonial Belanda, Syaikh Nawawi tidak agresif atau reaksioner, meski ia sangat anti Belanda. Ia lebih banyak mengembangkan kaderisasi lewat pendidikan dan keagamaan.
Baca Juga: Seri Artikel Biografi Ulama
           Murid-murid Syaikh Nawawi al-Bantani banyak sekali dan tidak hanya terbatas dari kalangan al-Jawi (Melayu), tetapi juga dari belahan dunia lainnya. Dari kalangan al-Jawi diantara murid-muridnya adalah Syaikh Muhammad Dawud (Perak, Malaysia), KH. Asy’ari (Bawean, Gresik), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang, pendiri Nahdlatul Ulama’) dan KH. Raden Asnawi (Kudus). Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi wafat di Mekkah tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah bertepatan tahun 1897 Masehi. Walaupun ulama besar ini telah wafat, tetapi kitab-kitab karangannya banyak dibaca orang hingga sekarang.
Sumber: H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, h. 652-656 (Jakarta: GelegarMedia Indonesia, 2010).