Home Fiqih Maulid Nabi Bid’ah, Benarkah ? Ini Penjelasan Lengkapnya

Maulid Nabi Bid’ah, Benarkah ? Ini Penjelasan Lengkapnya

0
maulid nabi bid'ah

Oleh: Ahmad Muntaha AM

Peringatan Maulid Nabi

Peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw atau lebih masyhur dikenal dengan istilah Mauludan adalah kegiatan mengingat, menghayati dan memuliakan kelahirannya. Dalam catatan sejarah, seperti ditulis oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang dikutip Sayyid al-Bakri dalam I’ânah ath-Thâlibîn, Mauludan sudah sejak dulu (pasca abad ke tiga hijriyah) diselenggarakan msyarakat muslim di berbagai wilayah Islam dengan berkumpul di suatu tempat, baik rumah, lapangan, mushalla maupun masjid dengan tujuan mewujudkan rasa cinta terhadap Rasulullâh Saw.

Mereka bersama-sama melantunkan ayat-ayat suci al-Qurân, membaca sejarah ringkas kehidupan dan perjuangan Rasulullâh Saw, mendengarkan lantunan solawat dan syair-syair pujian terhadap beliau dan ceramah agama. Tidak jarang pula, mereka memberikan santunan kepada fakir miskin. Sedangkan acara Mauludan secara besar-besaran dipelopori oleh al-Muzhafar Abû Sa’îd (549-630 H/1154-1233 M), raja Irbil, Baghdad,[1] adik ipar Panglima Besar Perang Salib, Shâlahuddîn al-Ayyûbi (532-589 H/1137-1193 M).[2] Sampai sekarang, Mauludan menjadi rutinitas di berbagai belahan dunia, sebagaimana di Nusantara.

Format Acara Maulid Nabi Berkembang

Bermuara dari karateristik dasar manusia yang senang dengan hal baru, format acaranya pun berkembang sesuai peradaban dan tingkat keberagamaannya. Dari yang sederhana dengan pembacaan kitab-kitab maulid, semisal al-Barzanji ataupun ad-Diba’i seperti yang dijumpai di desa-desa dan bilik-bilik pesantren, ataupun format megah dengan acara yang cukup variatif, semisal sekatenan.[3]

Namun, akhir-akhir ini sekelompok orang menentang tradisi Mauludan dengan berbagai dalih, semisal menganggapnya sebagai bid’ah yang sesat-menyesatkan dan dilarang agama. Di lain sisi, tidak sedikit pihak pro Mauludan yang kurang menghayati dan mengerti hakikatnya. Maka wajar bila kedua arus pemikiran masyarakat ini sering clash (bertabrakan), dari yang kecil-kecilan seperti perang wacana di internet dan pengajian-pengajian umum, sampai benturan fisik yang sangat disayangkan. Karenanya, mari kita rehat sejenak dari hiruk pikuk ini sembari menelaah fenomena Mauludan tanpa meragukan keagungan kelahiran Nabi Muhammad Saw, pribadi yang telah menuntun kita menjadi generasi terdidik dan beretika.

Hakikat Maulid Nabi

Sudah semestinya orang Islam mensyukuri dan merasa bahagia atas semua karunia Allâh Swt, apalagi karunia iman dan Islam yang merupakan karunia teragung. Semuanya bermuara pada karunia Allâh Swt yang telah mengutus Rasulullah Saw sebagai rahmat bagi seluruh alam. Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ [الأنبياء: 107]

 “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiyâ`: 107)

Karenanya, kelahiran beliau menjadi peristiwa maha penting yang harus diingat, dihayati dan dijadikan batu loncatan demi meraih prestasi spiritual yang lebih tinggi. Atas rahmat agung inilah kita diperintahkan untuk berbahagia sebagaimana firman Allâh Swt;

قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ [يونس: 58]

 “Katakanlah: “Dengan karunia Allâh dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Demikian itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” ( QS. Yûnus: 58)

Menurut penafsiran Ibn ‘Abbâs Ra, maksud karuniaNya dalam ayat ini adalah adalah ilmu, sementara rahmat Allâh Swt adalah Rasulullâh Saw.[4] Maka berdasarkan ayat ini kita diperintah atas lahirnya Nabi Muhammad Saw yang menjadi rahmat bagi umat manusia. Maka hakikat Mauludan tiada lain adalah mengungkapkan kebahagiaan dan rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad Saw.

Fatwa Ulama tentang Maulid Nabi

Secara garis besar, di kalangan ulama terdapat dua alur pemikiran terkait Mauludan; pertama, Ibn Taimiyah (661-727 H/1263-1328 M), mewakili pemikiran yang tidak melegalkan Mauludan, dan kedua, mayoritas ulama yang mengakui legalitasnya.

Maulid Nabi Bid’ah menurut Ibn Taimiyah

Dengan tegas Ibn Taimiyah mengatakan, Maulid nabi bid’ah dan tidak disukai generasi salaf, karena pada kenyataannya Mauludan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dua generasi mulia pasca Rasulullâh Saw.[5] Ia menyatakan, andai Mauludan termasuk amal saleh yang dianjurkan, pasti generasi salaf menyelengarakannya, sebab merekalah generasi terbaik dalam Islam. Penyelenggara Mauludan tidak lain ibarat orang yang senang menyampuli al-Qurân dengan indah tanpa pernah membacanya, atau gemar membacanya tanpa mengikuti petunjuknya, dan laksana orang membangun masjid megah namun lalai meramaikannya dengan ibadah, yang ada hanya gebyar luar tanpa mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi ruhnya.[6]

Bahkan dalam Mauludan sering terjadi hal-hal yang jauh dari nilai-nilai agama, seperti perkumpulan laki-laki dan perempuan, bernyanyi, berjoget dan lain semisalnya, seperti fakta yang disampaikan al-Fâqihâni (654/656-731 H), ulama muta`akhirîn madzhab Mâliki di Iskandaria, Mesir. [7]

Dalam Maulid Nabi Terdapat Berbagai Kebajikan

Kendati begitu,  menurut Ibn Taimiyah tidak bisa dipungkiri, dalam Mauludan pun terdapat berbagai kebajikan, maka tokoh kontroversial ini tidak setuju dengan pelarangan Mauludan tanpa perhitungan. Menurutnya, orang yang kontra Mauludan pun sering tidak lebih baik dari pada orang yang pro Mauludan. Ajaran Islam tentang amar ma’ruf nahi munkar perlu dipahami secara benar. Keduanya bagai dua sisi mata uang,  satu dan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Maka kemungkaran tidak boleh dicegah keculai disertai amar ma’ruf. Sebagaimana perintah menyembah Allâh Swt yang sekaligus berarti larangan menyekutukanNya.

Sebab inti dari masalah ini adalah kesaksian tiada Tuhan selain Allâh Swt. Hal ini berdasar karateristik dasar manusia yang tidak akan meninggalkan suatu aktifitas tanpa beralih pada yang lainnya. Karenanya, sebelum melarang Mauludan harus dipertimbangkan dahulu, apakah bila dilarang akan semakin lebih baik atau tidak, berganti melakukan amal saleh atau lebih parah melakukan berbagai larangan agama. Dengan tujuan mulia, yakni mencintai Rasulullâh Saw dan kesungguhan menandingi tradisi orang Nasrani yang memperingati kelahiran Yesus Kristus (Natal), orang yang menyelenggarakan Mauludan akan mendapat pahala agung dariNya, walaupun sebenarnya amal yang dilakukan (Mauludan) adalah bid’ah. [8] Ibn Taimiyah berkata;

إَِنَّهُ يَحْسُنُ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ مَا يُسْتَقْبَحُ مِنَ الْمُؤْمِنِ الْمُسَدِّدِ

“Sunguh kejelekan seorang mukmin yang lurus akan menjadi kebajikan bagi sebagian orang.” [9]

Seperti anjuran Imam Ahmad bin Hanbal, agar tidak mengusik pejabat yang membangun masjid super megah, karena mempertimbangkan kemaslahatannya. Dari pada diusik dan akan melakukan tindakan yang tidak ada kemaslahatanya sama sekali. Demikian pendapat Ibn Taimiyah telah kita kaji bersama.[10]

Mayoritas Ulama Membolehkan Tradisi Maulid Nabi

Sementara itu, mayoritas ulama melegalkan tradisi Mauludan. Mereka menganggap Mauludan merupakan pembaruan yang dilegalkan syariat. Hal ini dibuktikan dengan beberapa nash hadits melalui ijtihad. Ibn Hajar al-‘Asqalâni (773-752 H/1372-1449 M)[11] berada di urutan terdepan barisan ini. Menurutnya, dalil Mauludan sudah ditulis oleh al-Bukhâri dan Muslim dalam kitab hadist shahih mereka. Beliau berkata;

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بدْعَةٌ لَمْ تُنْقَل عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلَكِنَّهَا مَعَ ذَلِكَ قَدِ اشْتَمَلَتْ عَلى مَحَاسِنٍ وَضِدِّهَا. فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتُجْنِبُ ضِدَّهَا كَانَ بِدْعَةً حَسَنَةً وَإِلاَّ فَلاَ … وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلى أَصْلٍ ثَابِتٍ، وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسَأَلَهُمْ، فَقَالُوا: هَذَا يَوْمٌ أَغْرَقَ اللهُ فِيهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَّى فِيهِ مُوسَى، فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا لِلهِ تَعَالَى. فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ لِلهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إسْدَاءِ نِعْمَةٍ وَدَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ. وَالشُّكْرُ لِلهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُودِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنْ النِّعْمَةِ بِبُرُوزِ هَذَا النَّبِيِّ. [12]

“Hukum asal acara Mauludan adalah bid’ah. Tidak dinukil dari salah seorang as-salaf ash-shâlih, generasi tiga abad (pertama). Kendati begitu, sungguh Mauludan memuat berbagai kebajikan dan (juga) sebaliknya. Karenanya, siapa saja memperhatikan kebajikan yang ada di dalamnya dan menjauhi kebalikannya, maka Mauludan (yang diselenggarakan) merupakan bid’ah hasanah. Jika tidak demikian, maka bukan bid’ah hasanah, namun bid’ah madzmûmah. … Dan telah jelas dasarnya bagiku atas dalil yang legal, yaitu hadîts dalam kitab ash-Shahihain, yaitu: “Sungguh Nabi Muhammad Saw mengunjungi Madinah, lalu menjumpai warga Yahudi berpuasa hari ‘Asyurâ`, kemudian belliau menanyainya. Mereka menjawab; “Hari ini (bertepatan dengan) hari saat Allâh Swt menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa, maka kami memuasainya, karena bersyukur kepada Allâh Ta’ala.” Maka dari hadîts ini dapat dipahami, (anjuran) mewujudkan rasa syukur kepada Allâh Swt atas karuniaNya pada hari tertentu dari nikmat yang diterima dan bahaya yang dihindarkan. Perwujudan syukur itu (dianjurkan pula untuk) diulangi pada hari yang sama di setiap tahunnya. Syukur kepada Allâh Swt dapat dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, dan membaca al-Qurân. Adakah nikmat yang lebih agung dari kelahiran Nabi Saw ini?”

Pada kurun berikutnya Imam as-Suyûthi (849-911 H/1445-1505 M)[13] menyusulnya dengan dalil lain, yaitu aqiqah Nabi Muhammad Saw bagi dirinya sendiri, padahal kakeknya, Abdul Muthalib, sudah mengaqiqahinya di hari ke tujuh pasca kelahirannya, sementara aqiqah hanya disyariatkan satu kali seumur hidup, maka aqiqah yang dilakukan Nabi Muhamamd Saw harus dipahami sebagai ungkapan rasa syukur karena telah dijadikan sebagai rahmat bagi seluruh alam dan sebagai tasyri’–penyariatan untuk mengungkapkan rasa syukur itu–bagi umatnya, seperti halnya beliau membaca solawat untuk dirinya sendiri karena alasan tasyri’. Imam as-Suyuthi berkata;

وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهُ عَلَى أَصْلٍ آخَرَ، وَهُوَ مَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيْ عَنْ أَنَس أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ وَرَدَ أَنَّ جَدَّهُ عَبْدَ الْمُطَلِّبِ عَقَّ عَنْهُ فِيْ سَابِعِ وِلاَدَتِهِ وَالْعَقِيْقَةُ لاَ تُعَادُ مَرَّةً ثَانِيَةً، فَيُحْمَلُ ذَلِكَ عَلى أَنَّ الَّذِيْ فَعَلَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِظْهَارٌ لِلشُّكْرِ عَلى إِيْجَادِ اللهِ إِيَّاهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ وَتَشْرِيْعٌ لِأُمَّتِهِ كَمِا كَانَ يُصَلِّيْ عَلى نَفْسِهِ لِذَلِكَ، فَيُسْتَحَبُّ لَنَا أَيْضًا إِظْهَارُ الشُّكْرِ بِمَوْلِدِهِ بِاْلاِجْتِمَاعِ وَإِطْعَامِ الطَّعَامِ وَنَحْوِ ذلِكَ مِنْ وُجُوْهِ الْقُرُبَاتِ وَإِظْهَارِ الْمَسَرَّاتِ[14]

“Dan jelas bagiku mendasari mauludan dengan dalil yang lain. Yaitu Hadîts yang diriwayatkan al-Baihaqi dari Anas; “Sungguh Nabi Saw beraqiqah untuk dirinya setelah kenabian, sementara itu sungguh telah warid(datang dari Nabi Saw) sungguh kakeknya, Abdul Muthalib, telah mengaqiqahinya pada hari ke tujuh setelah kelahirannya. Sedangkan aqiqah itu tidak diulangi kedua kalinya. Maka hal itu (mesti) dipahami bahwa yang dilakukan Nabi Saw adalah ungkapan rasa syukur karena Allâh Swt telah mencipta-kannya sebagai rahmat bagi semesta alam, dan pemberlakuan Syarî’at bagi umatnya, seperti halnya beliau membaca shalawat bagi dirinya karena tujuan pemberlakuan Syarî’at. Maka disunnahkan pula bagi kita mengungkapkan syukur atas kelahirannya dengan berkumpul, menyediakan hidangan dan semisalnya dari berbagai ibadah serta menampakkan kebahagiaan.”

Walaupun perawi hadîts yang ditakhrij al-Baihaqi tentang aqiqah Nabi Muhammad Saw tersebut masih diperbincangkan para pakarnya, namun hadits itu mempunyai sanad lain yang perawinya merupakan perawi Shahîh al-Bukhâri, kecuali al-Haitsam,[15] namun ia adalah perawi tsiqah, yaitu;

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ عَنْ ثُمَامَةَ وَعَنْ أَنَسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بُعِثَ نَبِيًّا (رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ) [16]

“Ahmad berkisah kepadaku, ia berkata: “al-Haitsam berkisah kepadaku, ia berkata; “Abdullâh berkisah kepadaku, dari Tsumâmah dan dari Anas: “Sungguh Nabi Saw beraqîqah bagi dirinya setelah diutus menjadi nabi.” (HR. ath-Thabrâni)

Legalits Maulid Nabi Didukung Berbagai Kisah Keutamaan

Menurut Syaikh Syamsuddin bin al-Jazari, legalitas Mauludan juga didukung dengan berbagai kisah keutamaannya, seperti riwayat masyhur tentang peringanan siksaan bagi Abu Lahab karena merasa bahagia atas kelahiran Nabi Muhammad Saw. Gembong kafir Jahiliyah ini mendapatkan keringanan siksa neraka setiap hari Senin.[17] Imam al-Bukhâri mencatat;

قَالَ عُرْوَةُ: وَثُوَيْبَةُ مَوْلاَةٌ لأَبِيْ لَهَبٍ، كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتِ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ، قَالَ لَهُ: مَاذَا لَقِيتَ؟ قَالَ أَبُو لَهَبٍ: لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِى هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ[18]

“’Urwah berkata: “Tsuwaibah adalah mantan budak Abu Lahab. Abu lahab telah memerdekakannya, lalu ia menyusui Nabi Saw. Setelah Abu Lahab mati, sebagian keluarganya bermimpi melihat kondisinya yang parah. Ia bertanya; “Apa yang kau jumpai?” Abu Lahab menjawab: “Aku tidak menjumpai (kenyamanan) setelah berpisah (mati) dari kalian, namun aku diberi minuman segini (sedikit), dengan sebab aku merdekakan Tsuwaibah.”

Dalam hal ini as-Suhaili (508-580 H) menyebutkan, bahwa orang yang bermimpi adalah  Sayyid ‘Abbâs Ra;

وَذَكَرَ السُّهَيْلِيُّ أَنَّ الْعَبَّاس قَالَ: لَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَب رَأَيْته فِي مَنَامِي بَعْد حَوْلٍ فِي شَرِّ حَالٍ، فَقَالَ: مَا لَقِيتُ بَعْدَكُمْ رَاحَةً إِلاَّ أَنَّ الْعَذَابَ يُخَفَّفُ عَنِّي كُلَّ يَوْم اثْنَيْنِ. قَالَ: وَذَلِكَ أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ يَوْم الْاثْنَيْنِ وَكَانَتْ ثُوَيْبَة بَشَّرَتْ أَبَا لَهَب بِمَوْلِدِهِ فَأَعْتَقَهَا[19]

“Dan as-Suhaili menuturkan: “Sungguh al-‘Abbâs berkata: “Ketika Abu Lahab telah mati, setelah setahun aku bermimpi melihatnya dalam keadaan parah. Lalu ia berkata: “Aku tidak menemukan kenyamanan setelah berpisah (mati) dari kalian, namun sungguh telah diringankan siksa bagiku setiap hari Senin.” Al-‘Abbas berkata: “Hal itu dikarenakan Nabi Saw dilahirkan di hari Senin dan Tsuwaibah memberi kabar gembira kepada Abu Lahab dengan kelahirannya, lalu ia memerdekakan Tsuwaibah.”

Maulid Nabi Bisa Menjadi Wajib

Berdasarkan beberapa dalil di atas maka dimengerti, bahwa Mauludan merupakan pembaruan yang disyariatkan, atau meminjam istilah Ibn Hajar al-‘Asqalâni, hukum Mauludan adalah bid’ah hasanah. Sedangkan Imam as-Suyûthi tegas mengatakan sunnah. Bahkan, perayaan Maulid Nabi Saw bisa menjadi wajib, karena menandingi perayaan-perayaan yang membahayakan dan berbau mungkar, seperti ketika tahun baru, banyak orang merayakannya dengan foya-foya dan mabuk-mabukan. Demikian hemat  Syaikh al-Mubasyir ath-Tharâzi, Syaikh al-Islam asal Turkistan. Dalam al-Mausu’ah al- Syaikh Yûsuf Khaththâr menyebutkan;

وَقَالَ الْمُبَشِّرِ الطَّرَازِيْ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى إِنَّ اْلاِحْتِفَالَ بِذِكْرِى الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ الشَّرِيْفِ أَصْبَحَ وَاجِبًا أَسَاسِيًّا لِمُوَاجَهَةِ مَا اسْتُجِدَ مِنِ الاحْتِفَالاَتِ الضَّارَّةِ  فِيْ هذِهِ اْلأّيَّامِ[20]

“Dan al-Mubasyir ath-Tharâzi rahimallâhu ‘anhu Ta’âla berkata; “Sungguh perayaan dzikr al-maulid an-nabawi asy-syarîf menjadi kewajiban mendasar karena menandingi perayaan-perayaan yang membahayakan, yang populer di masa-masa sekarang ini.”

Karena itu, meskipun Mauludan tidak pernah dilakukan Rasulullâh Saw dan generasi salaf, namun legal dalam syariat Islam. Sementara itu, berbagai hal yang tidak selaras dengan nilai-nilai agama yang kadang terjadi dalam acara Mauludan, semuanya harus disikapi sesuai dengan status hukumnya. Gurauan, dendangan lagu dan lain sebagainya yang hukumnya mubâh dan sebatas menyiratkan kebahagiaan, maka diperbolehkan, yang bersifat makruh, khilâf al-aulâ dan haram seharusnya dihindari, seperti kata Imam as-Suyûthi;

وَأَمَّا مَا يُعْمَلُ فِيْهِ، فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ فِيْهِ عَلى مَا يُفْهِمُ الشُّكْرَ ِللهِ تَعَالَى مِنْ نَحْوِ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ مِنَ التِلاَوَةِ، وَاْلإِطْعَامِ، وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَيْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّبَوِيَّةِ وَالزُهْدِيَةِ الْمُحَرَّكَةِِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ. وَأَمَا مَا يُتَّبَعُ ذلِكَ مِنَ السِّمَاعِ وَاللَّهْوِ وَغَيْرِ ذلِكَ، فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقَالَ مَا كَانَ مِنْ ذلِكَ مُبَاحًا بِحَيْثُ يَقْتَضِي السُّرُوْرَ بِذَلِكَ الْيَوْمَ لاَ بَأْسَ بِإِلْحَاقِهِ بِهِ، وَمَا كَانَ حَرَامًا أَوْ مَكْرُوْهًا فَيُمْنَعُ وَكَذَا مَا كَانَ خِلاَفُ اْلأَوْلَى.[21]

“Dan format acara yang diselenggarakan dalam Mauludan, hendaknya dicukupkan dengan acara yang menyiratkan ungkapan rasa syukur kepada Allâh Ta’âla seperti yang telah disebutkan, yaitu membaca al-Qurân, menghidangkan jamuan, sedekah, mendendangkan pujian kenabian dan kezuhudan yang dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebajikan dan beramal demi akhirat. Sedangkan selainnya, seperti mendengarkan lagu (selain pujian tadi), gurauan dan semisalnya, maka hendaknya yang mubâh, yakni yang membuat bahagia di hari itu maka tidak mengapa dimasukkan dalam acara Mauludan, sedangkan yang haram atau makruh maka dicegah, begitu pula yang khilâf al-aulâ.”

Selain al-‘Asqalâni, as-Suyûthi, Hasanain Muhammad Makhlûf dan al-Mubasyir ath-Tharâzi, banyak ulama lain yang melegalkan Mauludan, di antaranya adalah Abû Syâmah (599-665 H/1202-1267 M) guru Imam an-Nawawi, as-Sakhâwi (831-902 H/1427-1497 M) murid Ibn Hajar al-‘Asqalâni, Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H/1504-1567 M), dan Ahmad bin Zaini Dahlân (1231-1304 H/1817-1886 M). Bahkan tidak sedikit kitab Maulid Nabi Saw karya mereka yang akhirnya mendapatkan tempat tersendiri di tengah-tengah kaum muslimin, seperti Maulid al-Burdah karya Muhammmad al-Bushiri (608-696 H/1212-1296 M), Maulid al-Barzanji karya Ja’far bin Hasan bin Abdul Karîm al-Barzanji (w. 1177 H/1764 M), Maulid ad-Diba’ karya Abdurrâhman bin Ali ad-Diba’i (866-944 H/1461-1537 M) , Maulid Simth ad-Durar Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (1259-1333 H/ 1839-1913 M), dan yang termutakhir adh-Dhiyâ’ al-Lâmi’ karya Habib ‘Umar bin Muhammad bin Hâfizh.

Mayoritas Ulama Membolehkan Maulid Nabi

Kesimpulannya, hukum Mauludan diperselisihkan ulama. Bid’ah madzmûmah atau tidak disyariatkan menurut Ibn Taimiyah berhadapan dengan mayoritas ulama yang menilainya masyrû’iyah (dibenarkan dalam agama–bid’ah hasanah, sunnah ataupun wajib–). Selain itu perlu diperhatikan, ulama yang tidak melegalkannya tidak membenarkan pelarangannya secara mutlak tanpa pertimbangan maslahat atau tidaknya. Tidak pasti orang yang melarangnya lebih baik dari orang yang memeringatinya. Begitu pula ulama yang mengakui legalitas Mauludan tidak serta merta membolehkan peringatan Mauludan dengan berbagai acara yang keluar dari nilai-nilai agama.

Berangkat dari fakta khilâfiyah ini, semestinya kita bersikap bijak tanpa terseret ke dalam konflik berkepanjangan. Lebih-lebih mampu memberi pemahaman tentang tradisi Mauludan yang benar kepada mereka, sebagaimana ulama yang bijak menyikapi berbagai persoalan umat, sembari menanti perjumpaan agung dengan Baginda Rasulullâh Saw di surga, seperti asa Habib Umar bin Muhammad bin Hâfizh yang terukir dalam pamungkas syair adh-Dhiyâ’ al-Lâmi’nya;

يَا رَبَّنَا وَاجْمَعْنَا وَأَحْبَابًا لَنَـا   فِيْ دَارِكَ الْـفِرْدَوْسِ يَارَجْــوَانَا

بِالْمُصْطَفَــى صَلَّى عَلَيْهِ وَآلِهِ   مَا حَــرَّكَتْ رِيْحُ الصَّبَا أَغْصَانَا

“Wahai Tuhan kami! Kumpulkan kami dan kekasih-kekasih kami di surga firdausmu. Wahai Harapan kami …

Demi Nabi terpilih, semoga solawat senantiasa terlimpahkan padanya dan keluarga-keluarganya, selama angin pagi menggoyang ranting-ranting pepohonan.


Referensi

  1. Al-‘Asqalâni, Ibn Hajar. Tth. Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari Juz IX, Beirut: Dar al-Ma’rifah.
  2. Al-Bukhari Muhammad bin Isma’il. 1400 H. Al-Jami’ ash-Shahih Juz III, Kairo: al-Maktabah as-Salafiyah.
  3. Al-Haitsami, Nurruddin Ali bin Abi Bakar. 1422 H/2001 M. Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
  4. As-Suyuthi, Abdurrahman. 1403 H/1983 M. Al-Hawi li al-Fatâwa Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Baca Referensi Lengkap

5. Ath-Thabarani, Sulaiman bin Ahmad. 1415 H/1995 M. Al-Mu’jam al-Ausath Juz I Kairo: Dar al-Haramain.
6. Az-Zirikla, Khairuddin. 2002. Al-A’lâm Juz I, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin.
7. Hayyan, Muhammad bin Yusuf Abu. 1413 H/1993 M. Tafsir al-Bahr al-Muhith Juz V, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
8. Muhammad, Yûsuf Khaththâr. 1999. Al-Mausu’ah al-Yusufiyah fi Adillah ash-Shufiyah Juz I, Damaskus: Nadhar.
9. Syaththâ, al-Bakri bin Muhammad. Tth. I’anah ath-Thalibin Juz III, Mesir: al-Maimuniyah.
10. Taimiyah, Ibn. 1408 H/1987 M. Al-Fatâwa al-Kubrâ Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
11. Taimiyah, Ibn. Tth. Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim Juz II, Riyadh: Maktabah ar-Rusyd.

Legenda

[1] Al-Bakri bin Muhammad Syaththâ, I’anah ath-Thalibin Juz III (Mesir: al-Maimuniyah, tth.),  365-366.
[2] Permaisuri Raja Muzhaffar, Rabî’ah Khatûn binti Ayyûb adalah saudara kandung Shâlahuddîn al-Ayyûbi.
[3] Sekatenan adalah tradisi Mauludan selama sepuluh harian yang diselenggarakan Kraton Ngayojokarto dengan berbagai acara, semisal pasar malam, tumpengan, pengarakan Kyai Selamet–kerbau putih yang diangap keramat dan lain sebagainya–.
[4] Muhammad bin Yusuf Abu Hayyan, Tafsir al-Bahr al-Muhith Juz V (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H/1993 M),  169.
[5] Ibn Taimiyah, Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim Juz II (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, tth.), 619-620.
[6] Ibn Taimiyah, al-Fatâwa al-Kubrâ Juz IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1408 H/1987 M), 414.
[7] Abdurrahman as-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatâwa Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H/1983 M), 191.
[8] Ibn Taimiyah, Iqtidhâ, 619-620.
[9] Ibid., 620.
[10] Ibid.
[11] Nama lengkapnya adalah Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad al-Kanâni al-‘Asqalâni, Syaikh al- Islâm yang berdarah Palestina ini lahir dan wafat di Kairo, Mesir. Termasuk pakar sejarah dan hadîts. Fath alBâri, kitab penjelas Shahîh al-Bukhâri membuktikan kualitas ilmiahnya, di samping berbagai karya lainnya,  semisal Bulûgh al-Marâm tentang hadîts-hadîts bab fikih, ad-Durar al-Kamînah tentang tokoh abad ke delapan, Taqrîb at-Tadzhîb tentang perawi hadîts dan lain sebagainya. Baca Khairuddin az-Zirikla, al-A’lâm Juz I (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2002), 178.
[12] As-Suyûthi, al-Hawî, 196.
[13] Bernama lengkap Abdurrahmân bin Abî Bakar bin Muhammad Sabîquddîn al-Khudhairi as-Suyûthi. Seorang pakar fiqh, Hadîts dan sastra. 600 kitab dengan berbagai tema membuktikan produktifitasnya dalam dunia tulis-menulis. Mulai berkosentrasi menulis pada usia 40 tahun, namun isyarat kealimannya sudah terlihat saat kelahirannya. Kala itu ayahnya meminta diambilkan sebuah kitab kepada ibunya, namun mendadak ia melahirkan dan Abdurrahmân kecil lahir ditengah-tengah koleksi kitab ayahnya. Karena itu, ia dijuluki Ibn al-Kitâb (anak buku).
[14] Ibid.
[15]  Nurruddin Ali bin Abi Bakar al-Haitsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid Juz IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1422 H/2001 M), 65.
[16]  Sulaiman bin Ahmad ath-Thabarani, al-Mu’jam al-Ausath Juz I (Kairo: Dar al-Haramain: 1415 H/1995 M), 298.
[17] As-Suyûthi, al-Hawî, 196.
[18] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih Juz III (Kairo: al-Maktabah as-Salafiyah: 1400 H), 363.
[19] Ibn Hajar al-‘Asqalâni, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari Juz IX (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth.), 145.
[20] Yûsuf Khaththâr Muhammad, al-Mausu’ah al-Yusufiyah fi Adillah ash-Shufiyah Juz I (Damaskus: Nadhar, 1999), 141.
[21] As-Suyûthi, al-Hawi, 196.

Ilustrasi: freepik