Masalah Zakat Fitrah: Dari Kadar Hingga Cakupan Sabilillah

0
126
Zakat Fitrah dan Permasalahannya

Penjelasan zakat fitrah di bawah ini adalah hasil dari forum Bahtsul Masail Syuriyah yang diselenggarakan oleh MWC NU Salaman, kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Forum ini diselenggarakan di Ponpes Az-Zarqony Kalongan Sidomulyo Salaman Magelang, 13 Ramadan 1444 H./03 April 2023 M.

Pendahuluan

Pembahasan kadar zakat, ashnaf zakat (fakir, miskin, sabilillah, amil), dan ketentuan barang/benda yang digunakan untuk zakat fitrah sudah dikaji dalam kitab-kitab fikih dan berulang kali dibahas dalam kajian-kajian fikih zakat, baik dalam internal maupun eksternal khususnya dalam forum bahtsul masail NU.

 Namun demikian, di kalangan NU sendiri masih terdapat beragam pemahaman terhadap berbagai keputusan bahtsul masail tersebut seiring perkembangan perundang-undangan zakat, sehingga sering muncul pertanyaan: “Berapakah kadar zakat fitrah?; Bagaimana dan atau siapa yang termasuk kriteria sabilillah?; Bagaimana penentuan kriteria fakir-miskin? Apa perbedaan Amil Syar’i dan Amil yang Belum Syari’?, Bagaimana ketentuan mencampur zakat yang dilakukan oleh penerima zakat (Syar’i dan Amil yang Belum Syari’)?”.

Terkait dengan beberapa permasalahan tersebut, diperlukan rumusan yang lebih praktis dan aplikatif yang dapat dijadikan rujukan bagi warga Nahdliyyin khususnya dan masyarakat Islam umumnya dalam menunaikan zakat demi keabsahannya secara syar’i. 

Kadar Zakat Fitrah

Bagi setiap orang kadar zakat fitrah yang harus dikeluarkan adalah satu sha’ makanan pokok yang biasa dikonsumsi di daerahnya, seperti beras, jangung dan semisalnya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw. Di antaranya adalah hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim sebagai berikut:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلّى اللهُ عليهِ وسَلّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ (مُتَّفَقٌ عَلَيْه)

“Sungguh Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan pada manusia sejumlah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum bagi setiap orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan muslim.” (Muttafaq ‘alaih).

كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللهِ صلّى اللهُ عليهِ وسَلّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ فَلَا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ مَا عِشْتُ (مُتَّفَقٌ عَلَيْه)

“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat fitrah pada masa Rasulullah saw bersama kami sejumlah satu sha’ makanan, satu sha’ kurma, satu sha’ gandum, satu sha’ kurma basah, atau satu sha’ susu padat. Lalu aku selalu mengeluarkannya seperti halnya aku mengeluarkannya sepanjang hidupku.” (Muttafaq ‘alaih)

Merujuk keputusan P4SK (Persatuan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Kaaffah) Anak Cabang Salaman Kabupaten  Magelang bila satu sha’ ditakar dengan kotak kayu, maka dengan ukuran bagian dalam sebagaimana berikut:

  1. panjang 15 cm;
  2. lebar 15 cm; dan
  3. tinggi 14,7 cm.

Seiring populernya satuan kilogram di tengah masyarakat kemudian ulama mengonversi satu sha’ dengan hasil yang berbeda-beda. Di antara hasil konversi itu adalah sebagai berikut:

  1. Menurut konversi masyhur seperti keterangan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh adalah 2,751 kg.[1]
  2. Menurut Kiai Muhammad Ali Maksum Jombang dalam kitab Fathul Qadir adalah 2,720 kg.[2]
  3. Menurut keterangan dalam kitab Mukhtashar Tasyyidul Bunyan karya  Syekh Muhammad bin Umar As-Saqaf adalah 2,5 kg.[3] 
  4. Menurut Hasil Bahtsul Masail Lembaga Bahtsul Masail PBNU 18 Mei 2020 tentang Pembayaran Zakat Fitrah dengan beras adalah 2,7 kg atau 2,5 kg.

Cakupan Sabilillah dalam Zakat Fitrah

Sebagai salah satu mustahiq zakat, sabilillah dipersoalkan apakah juga mencakup segala sektor  sosial (jami’ul wujuhil khair) atau tidak?. Mayoritas ulama menyatakan tidak, karena memahami sabilillah hanya mencakup sukarelawan perang. Namun demikian, sebagian ulama lain seperti yang dikutip oleh Imam Abu Bakar Muhammad bin Ali Al-Qaffal Al-Kabir As-Syasyi (291-365 H/904-976 M) mengatakan sabilillah mencakup seluruh sektor sosial.

Di antara ulama yang mendukung pendapat terakhir ini kalangan ulama Syafiiyah ada Al-Hasan bin Muhammad An-Naisaburi (wafat 406 H/1016 M) kitab Tafsir an-Naisaburi atau Ghara`ib al-Qur`an)[4] dan Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar Al-Fakhr ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M) dalam kitab Mafatihul Ghaib.[5]

Pendapat yang menyatakan sabilillah mencakup seluruh sektor sosial juga diakomodir dalam Keputusan Munas Alim Ulama NU di Yogyakarta pada 30 Agustus 1981 untuk membolehkan pemberian zakat pada masjid, madrasah, panti-panti asuhan, yayasan sosial/keagamaan, dan semisalnya.[6]

Dari ragam pendapat tentang cakupan makna sabilillah tersebut MWCNU Kecamatan Salaman memilih pendapat yang menyatakan sabilillah mencakup seluruh sektor sosial. Pendapat ini dapat dijadikan landasan untuk memberikan zakat fitrah kepada para guru ngaji; imam, muazin dan petugas kebersihan masjid/mushola; serta orang-orang yang memperjuangkan agama Islam secara sukarela.

Baca Juga: Zakat Profesi bagi Penceramah dan Muballigh

Kriteria Fakir Miskin

Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan atau pekerjaan yang layak baginya yang mencukupi kebutuhan hidup diri dan orang-orang yang wajib dinafkahinya sesuai kelayakan hidupnya; atau mempunyai harta dan atau pekerjaan yang layak baginya namun tetap tidak mencukupi kebutuhan hidup diri dan orang yang wajib dinafkahinya sesuai kelayakan hidupnya selama sisa umur ghalib (umur manusia secara umum, yaitu 62 tahun).[7] Yakni orang yang mempunyai harta dan atau pekerjaan yang menghasilkan harta kurang dari separo dari kebutuhan hidup diri dan orang-orang yang wajib dinafkahinya. Maksud kebutuhan hidup adalah kebutuhan sandang, pangan, papan dan kebutuhan lain yang sesuai dengan kelayakannya.

Sedangkan miskin adalah orang yang mempunyai harta dan atau pekerjaan yang layak baginya dan hampir mencukupi kebutuhan hidup diri dan orang yang wajib dinafkahinya sesuai kelayakan hidupnya selama sisa umur ghalib (umur manusia secara umum, yaitu 62 tahun). Yakni orang yang mempunyai harta dan atau pekerjaan yang menghasilkan harta separo atau lebih dari kebutuhan hidup diri dan orang yang wajib dinafkahinya.

Bila sebenarnya seseorang dalam kondisi fakir dan miskin, namun kebutuhan hidupnya telah dicukupi oleh suami atau kerabat (ayah, anak, saudara dan semisalnya) maka ia tidak termasuk fakir dan miskin, sehingga tidak berhak menerima zakat. Seperti halnya orang yang bekerja setiap hari dan menghasilkan harta untuk kebutuhan hidupnya.[8]

Adapun cara pengelola zakat—baik amil atau panitia—menentukan status fakir miskin seseorang secara praktis adalah menggunakan standar sebagai berikut:

  1. Dugaan kuat.
  2. Pengakuan.
  3. Bayyinah atau informasi dua saksi.
  4. Isfifadhah atau kemashuran, minimal dari 3 orang.[9]

Perbedaan Amil Zakat dan Panitia Zakat

Amil zakat dalam konteks syar’i adalah orang yang ditunjuk Imam (penguasa tertinggi negara) sebagai penarik, pengumpul dan pendistribusi zakat kepada delapan (8) golongan yang berhak menerimanya. Amil merupakan kepanjangan tangan dari Imam. Al-Qadhi Abdul Haq bin Ghalib Al-Andalusi Al-Maliki (481-543 H/1088-1147 M) dalam tafsirnya, Al-Muharrar Al-Wajiz, menjelaskan:

وَأَمِّا الْعَامِلُ فَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِي يَسْتَنِيبُهُ الْإِمَامُ فِي السَّعْيِ فِي جَمْعِ الصَّدَقَاتِ وَكُلُّ مَنْ يَصْرِفُ مِنْ عَوْنٍ لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ فَهُوَ مِنَ (الْعَامِلِيْنَ).

“Adapun amil adalah orang yang mengganti Imam dalam menarik zakat, dan setiap orang yang berkerja membantu amil yang pasti dibutuhkannya, maka ia termasik golongan amil.” [10]

Definisi senada juga disampaikan Ibnu Qasim Al-Ghazi (859-918 H/ 1455-1512 M), dalam karya legendarisnya, Fathul Qarib:

وَالْعَامِلُ مَنِ اسْتَعْمَلَهُ الْإِمَامُ عَلَى أَخْذِ الصَّدَقَاتِ وَدَفْعِهَا لِمُسْتَحِقِّيْهَا.

“Amil adalah orang yang ditugasi Imam untuk memungut zakat dan menyerahkan kepada mustahiqnya.”[11]

Dalam konteks Indonesia, amil resmi yang sesuai UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PP Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah:

  1. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
  2. Lembaga Amil Zakat (LAZ).
  3. Amil Perseorangan dan Kumpulan Peseorangan untuk wilayah yang tidak terjangkau BAZNAS atau LAZ.

Lembaga-lembaga inilah yang masuk kategori amil dengan segala ketentuannya. Dengan demikian, pengelola zakat atau panitia zakat bentukan sekelompok masyarakat seperti di masjid dan mushola, tidak dapat disebut sebagai amil selama tidak menginduk kepada BAZNAS atau LAZ sesuai ketentuanya. Namun hanya suatu kepanitiaan yang membantu pelaksanaan zakat masyarakat yang mempunyai hukum berbeda dengan amil, sebagaimana dalam tabel berikut:[12]

PerbedaanBAZNAS dan LAZPanitia Zakat
StatusWakil mustahiq, sehingga bila terjadi penyelewengan dalam pengelolaan zakat, kewajiban zakat muzakki telah gugur.Wakil dari muzakki, sehingga bila terjadi penyelewengan dalam pengelolaan zakat, kewajiban zakat muzakki belum gugur.
Keabsahan ZakatZakat sah dengan diserahkan kepada BAZNAS atau LAZZakat belum sah sehingga benar-benar sampai kepada mustahiq
HakBerhak mengambil sebagian zakat sebagai biaya operasional bila dibutuhkan.Berhak mendapatkan bagian zakat atas nama amil.Tidak berhak mengambil sebagian zakat sebagai biaya operasional.Tidak berhak mendapatkan bagian zakat atas nama amil.

Mencampur Beras Zakat

Masing-masing amil resmi maupun panitia zakat berkewajiban menyampaikan seluruh zakat kepada para mustahiq. Namun demikian bila zakat diserahkan kepada amil resmi maka zakat yang dilaksanakan sudah sah; sedangkan bila zakat disahkan kepada panitia zakat, maka zakat tidak akan sah sehingga benar-benar sampai kepada para mustahiq. Imam An-Nawawi menyatakan:

وعلى تقدير خيانة الوكيل لا يسقط الفرض عن المالك لان يده كيده فما لم يصل المال الي المستحقين لا تبرأ ذمة المالك بخلاف دفعها إلى الامام فانه بمجرد قبضه تسقط الزكاة عن المالك

“Dan andaikan wakil muzakki (seperti panitia zakat) berkhianat, maka kewajiban membayar zakat belum gugur dari pemilik harta (muzakki), karena penguasaan wakil muzakki terhadap harta zakat sama dengan penguasaan muzakki. Karenanya selama zakat belum sampai kepada para mustahiq maka tanggungan zakat muzakki belum gugur. Berbeda bila zakat diserahkan kepada Imam (amil resmi), maka hanya diserahterimakan kepadanya kewajiban zakat telah gugur dari muzakki.”[13]

Dari pertimbangan hukum fiqih di atas, maka panitia zakat hendaknya tidak mencampur beras zakat sekira berkemungkinan sebagian zakat yang diserahkan oleh muzakki akan kembali kepadanya, sehingga kewajiban zakatnya belum gugur.

Rekomendasi

Berdasarkan kajian dari data fiqih tentang perihal zakat fitrah sebagaimana tersebut di atas, maka MWCNU Kecamatan Salaman memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan dimaksud sebagai berikut:

Kadar Zakat Fitrah

  1. Mendorong pelaksanaan Zakat Fitrah agar menggunakan takaran sha’ kotak kayu dengan ukuran bagian dalam sebagai berikut: panjang 15 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 14,7 cm.
  2. Bila Zakat Fitrah dilaksanakan dengan ukuran kilogram, maka dengan beras sejumlah 2,7 kg.

Sabilillah

Menghimbau kepada pengelola Zakat Fitrah di dusun-dusun agar membagikan sebagian Zakat Fitrah kepada para guru ngaji, imam, muadzin dan petugas kebersihan; serta orang-orang yang memperjuangkan agama Islam secara sukarela.

Kriteria Fakir dan Miskin

  • Fakir adalah orang yang tidak punya harta dan pekerjaan sama sekali, atau punya harta dan atau pekerjaan tapi tidak mencukupi 50 % kebutuhannya dan orang-orang yang wajib dinafkahinya sesuai kelayakannya sampai umur 62 tahun hitungan hijriyah.
  • Miskin adalah orang yang tidak punya harta dan pekerjaan sama sekali, atau punya harta dan atau pekerjaan tapi tidak mencukupi 100 % kebutuhannya dan orang-orang yang wajib dinafkahinya sesuai kelayakannya sampai umur 62 tahun hitungan hijriyah.
  • Status fakir dan miskin seseorang gugur bila ia dinafkahi oleh suami atau kerabat (ayah, anak, saudara dan semisalnya).
  • Status fakir dan miskin seseorang juga gugur bila ia bekerja setiap hari dan hasilnya dapat mencukupi kebutuhan diri dan orang yang wajib dinafkahinya sesuai kelayakannya.
  • Untuk menentukan status fakir miskin seseorang, pengelola zakat menggunakan empat (4) standar sebagai berikut: (a) dugaan kuat bahwa ia masuk kategori fakir miskin; (b) pengakuan orang yang bersangkutan; (c) dua orang saksi; atau (d) informasi umum dari minimal tiga orang yang menyatakan orang tersebut adalah fakir miskin.

Status Amil

  • Menghimbau kepada para pengelola zakat di lingkungan warga NU Kecamatan Salaman untuk menginduk pada BAZNAS atau LAZ di Kabupaten Magelang agar menjadi amil resmi.
  • Untuk panitia zakat yang belum menjadi amil resmi agar benar-benar menyampaikan  seluruh zakat kepada para mustahiq sehingga zakatnya sah.
  • Untuk panitia zakat yang belum menjadi amil resmi agar tidak mengambil biaya operasional dan hak amil dari zakat yang dikumpulkan. 

Mencampur Beras Zakat Fitrah

Menghimbau kepada Warga NU se-Kecamatan Salaman yang panitia zakat yang belum menjadi amil resmi agar:

  • tidak menyampur beras zakat sehingga berkemungkinan kembali kepada muzakki yang menyerahkannya, sehingga zakatnya belum sah karena belum dipastikan sampai kepada para mustahiq.
  • Menjamin sampainya seluruh zakat yang terkumpul kepada para mustahiq, sehingga zakat yang dilakukan benar-benar terjamin keabsahannya.

File Hasil Keputusan Bahtsul Masail MWC NU Salaman selengkapnya bisa didownload di sini.


[1] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Darul Fikr), juz I, halaman 119:

وحدات المكاييل: الصاع الشرعي أو البغدادي: (4) أمدادأو(5 و3/1) رطل، أي أربع حَفَنات كبار،ووزنه: (7،685) درهماً أو (75،2) لتراً أو (2176)غم وهو رأي الشافعي وفقهاء الحجاز والصاحبين باعتبارأن المد: رطل وثلث بالعراقي، وعند أبي حنيفة وفقهاء العراق: ثمانية أرطال باعتبار أن المد رطلان، فيكون (3800غم).وفي تقدير آخر هو الشائع أن الصاع (2751غم).

[2] A Muntaha AM, Fikih Zakat Madzhab Empat dan Ijtihad Modern, (Kediri: Gerbang Lama: 2011), halaman 55-56:

[3] Muhammad bin Umar bin Thaha As-Shafi As-Saqaf, Mukhtashar Tasyyidul Bunyan, (Jeddah: 1987), halaman 205:

(ب) والصناع أربعة أمداد .. والمد ثمانية عشر أوقية من رطل ونصف في جهتنا ) في حضرموت الداخل سابقا أما اليوم فالرطل موحد وهو سنة عشر أوقية  في كامل المنطقة [ اثنان كيلو ونصف تقريبا] .

[4] Al-Hasan bin Muhammad an-Naisaburi, Tafsir an-Naisaburi, juz IV, halaman 169:

وظاهر لفظ الآية لا يوجب القصر على الغزاة فلهذا نقل القفال عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقة إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد لأن كلها في سبيل الله.

[5] Muhammad bin Umar Al-Fahr Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, (Beirut: Dar Ihya-it Turats Al-‘Arabi), juz XVI, halaman 90:

واعلم أن ظاهر اللفظ في قوله وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ لا يوجب القصر على كل الغزاة فلهذا المعنى نقل القفال في ( تفسيره ) عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد لأن قوله وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ عام في الكل

[6] Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, (Surabaya, Khalista: 2015), halaman 378-380:

336. Memberikan Zakat kepada Mesjid, Pondok, Madrasah

S. Bagaimana hukumnya apa yang berlaku di masyarakat umum dengan memberikan zakatnya kepada mesjid, madrasah, panti-panti asuhan, yayasan sosial/keagamaan dan lain-lain pembagian tertentu?

J. Memberikan zakat kepada mesjid, madrasah, pondok pesantren dan sesamanya hukumnya ada dua pendapat:

1.   Tidak boleh, berdasarkan keputusan Muktamar NU ke-1, masalah nomor 5.

2.     Boleh berdasarkan kitab Tafsir al-Munir I/344. Demikian pula para ahli fiqh menyatakan boleh menyalurkan zakat kepada segala macam sektor sosial yang positif, seperti membangun mesjid, madrasah, mengurus orang mati dan lain sebagainya. Pendapat ini dikuatkan juga oleh fatwa Syaikh Ali al-Maliki dalam kitab Qurrah al-‘Ain, 73, yang menyatakan: “Praktek-praktek zaman sekarang banyak yang berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana Imam Ahmad dan Ishaq yang memperbolehkan penyaluran zakat pada sektor di jalan Allah, seperti pembangunan mesjid, madrasah dan lain-lainnya.

[7] Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami, Tuhfah al-Habib ala Syarhil Khatib, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, tt.), Juz III, 80-81:

الفقير وهو من لا مال له ولا كسب لائق به يقع جميعهما أو مجموعهما موقعا من كفايته مطعما وملبسا ومسكنا وغيرها مما لا بد له منه على ما يليق بحاله وحال ممونه كمن يحتاج إلى عشرة ولا يملك أو لا يكتسب إلا درهمين أو ثلاثة أو أربعة وسواء أكان ما يملكه نصابا أم أقل أم أكثر … المسكين وهو من له مال أو كسب لائق به يقع موقعا من كفايته ولا يكفيه كمن يملك أو يكتسب سبعة أو ثمانية ولا يكفيه إلا عشرة والمراد أنه لا يكفيه العمر الغالب. ويمنع فقر الشخص ومسكنته كفايته بنفقة قريب أو زوج أو سيد لأنه غير محتاج كمكتسب كل يوم قدر كفايته

قوله : ( من كفايته ) أي لبقية عمره الغالب وهو اثنان وستون سنة من ولادته اه ق ل … قوله : ( لا يكفيه العمر الغالب ) أي بقيته وهو اثنتان وستون سنة ق ل

Al-Bakri bin Muhammad Syaththa al-Dimyati, Ianatut Thalibin, (Beirut: Darul Fikr, tt.), Juz II, h. 187:

والفقير من ليس له مال ولا كسب لائق يقع موقعا من كفايته وكفاية ممونه … والمسكين من قدر على مال أو كسب يقع موقعا من حاجته ولا يكفيه … كمن يحتاج لعشرة وعنده ثمانية ولا يكفيه الكفاية السابقة وإن ملك أكثر من نصاب حتى أن للإمام أن يأخذ زكاته ويدفعها إليه …  (ولو أعطاها) أي الزكاة ولو الفطرة (لكافر أو من به رق) ولو مبعضا غير مكاتب ( أو هاشمي أو مطلبي) … ( أو غني ) وهو من له كفاية العمر الغالب على الأصح،  وقيل من له كفاية سنة أو الكسب الحلال اللائق (لم يجزىء) ذلك عن الزكاة ولا تتأدى بذلك إن كان الدافع المالك وإن ظن استحقاقهم.ثم إن كان الدافع يظن الاستحقاق الإمام برىء المالك.

[8] Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami, Tuhfah al-Habib ala Syarhil Khatib, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, tt.), Juz III, 80-81:

الفقير وهو من لا مال له ولا كسب لائق به يقع جميعهما أو مجموعهما موقعا من كفايته مطعما وملبسا ومسكنا وغيرها مما لا بد له منه على ما يليق بحاله وحال ممونه كمن يحتاج إلى عشرة ولا يملك أو لا يكتسب إلا درهمين أو ثلاثة أو أربعة وسواء أكان ما يملكه نصابا أم أقل أم أكثر … المسكين وهو من له مال أو كسب لائق به يقع موقعا من كفايته ولا يكفيه كمن يملك أو يكتسب سبعة أو ثمانية ولا يكفيه إلا عشرة والمراد أنه لا يكفيه العمر الغالب. ويمنع فقر الشخص ومسكنته كفايته بنفقة قريب أو زوج أو سيد لأنه غير محتاج كمكتسب كل يوم قدر كفايته

قوله : ( من كفايته ) أي لبقية عمره الغالب وهو اثنان وستون سنة من ولادته اه ق ل … قوله : ( لا يكفيه العمر الغالب ) أي بقيته وهو اثنتان وستون سنة ق ل

Al-Bakri bin Muhammad Syaththa al-Dimyati, Ianatut Thalibin, (Beirut: Darul Fikr, tt.), Juz II, h. 187:

والفقير من ليس له مال ولا كسب لائق يقع موقعا من كفايته وكفاية ممونه … والمسكين من قدر على مال أو كسب يقع موقعا من حاجته ولا يكفيه … كمن يحتاج لعشرة وعنده ثمانية ولا يكفيه الكفاية السابقة وإن ملك أكثر من نصاب حتى أن للإمام أن يأخذ زكاته ويدفعها إليه …  (ولو أعطاها) أي الزكاة ولو الفطرة (لكافر أو من به رق) ولو مبعضا غير مكاتب ( أو هاشمي أو مطلبي) … ( أو غني ) وهو من له كفاية العمر الغالب على الأصح،  وقيل من له كفاية سنة أو الكسب الحلال اللائق (لم يجزىء) ذلك عن الزكاة ولا تتأدى بذلك إن كان الدافع المالك وإن ظن استحقاقهم.ثم إن كان الدافع يظن الاستحقاق الإمام برىء المالك.

[9] Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj pada Hawasyit Tuhfah, (Mesir: Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra), juz VII, halaman 161-164:

 ( فصل ) في بيان مستند الإعطاء وقدر المعطى (من طلب زكاة)، أو لم يطلب ، وأريد إعطاؤه وآثر الطلب؛ لأنه الأغلب (وعلم الإمام ) أو غيره ممن له ولاية الدفع وذكره فقط؛ لأن دخله فيها أقوى من غيره ، والمراد بالعلم الظن كما يعلم مما يأتي ( استحقاقه ) لها ( أو عدمه عمل بعلمه ) … ( وإلا ) يعلم شيئا من حاله، ( فإن ادعى فقرا أو مسكنة ) ، أو أنه غير كسوب ، وإن كان جلدا قويا ( لم يكلف بينة ) لعسرها وكذا يحلف ، وإن اتهم لما صح: أنه صلى الله عليه وسلم أعطى من سألاه الصدقة بعد أن أعلمهما أنه لا حظ فيها لغني ولا لقوي مكتسب ، ولم يحلفهما مع أنه رآهما جلدين …

An-Nawawi, Al-Minhaj, juz I, halaman 298:

فصل من طلب زكاة وعلم الإمام استحقاقه أو عدمه عمل بعلمه، وإلا فإن ادعى فقرا أو مسكنة لم يكلف بينة، فإن عرف له مال وادعى تلفه كلف، وكذا إن ادعى عيالا في الأصح. ويعطى غاز وابن سبيل بقولهما، فإن لم يخرجا استرد، ويطالب عامل ومكاتب وغارم ببينة، وهي: إخبار عدلين، ويغني عنها الاستفاضة، وكذا تصديق رب الدين والسيد في الأصح.

[10] Abdul Haq bin Ghalib Al-Andalusi, Al-Muharrar Al-Wajiz fit Tafsiril Kitab Al-‘Aziz (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1422 H/2001 M), juz III, halaman 49.

[11] Ibn Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib pada Hasyiyah al-Bajuri (Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tth.), juz I, halaman 283.

[12] Al-Majmu’, II/365 dan VI/138, Al-Umm, II/74, Bughyatul Mustarsyidin, 147, Ghayah Talkhishil Murad, 143; Al-Hawi lil Fatawi, 244; dan Tuhfatul Muhtaj, III/350-351.

[13] Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad), juz VI, halaman 138.