Bulan Dzul Hijjah adalah bulan yang kedua belas dalam perhitungan Kalender Hijriyah, bulan ini termasuk bulan yang penuh dengan sejarah dalam Agama Islam, di mana di dalamnya mengandung banyak hikmah yang bisa kita petik darinya. Di antara hal yang bersejarah adalah pelaksanaan Ibadah Haji dan disyariatkannya Qurban yang keduanya mengacu pada Agama kakek Nabi Muhammad SAW yaitu Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. yang kesemuanya menempati sebuah Lembah yang tandus yang bernama Mekkah di mana Ka’bah dibangun di situ.
Pada hari Arafah juga terdapat hal yang sangat bersejarah dalam Islam, yaitu turunnya ayat terakhir dalam Al-Qur’an yaitu Surat Al-Maidah ayat ketiga yang isinya :
“Pada hari ini telah aku sempurnakan agama kalian dan telah aku sempurnakan nikmatku untuk kalian dan aku telah rela Islam sebagai Agama kalian”.
Ayat ini turun pada peristiwa Haji Wada’ yaitu Haji terakhir Rasulullah SAW yang tiga bulan kemudian tepatnya bulan Rabiul Awal beliau meninggalkan dunia yang fana ini. Sedangkan saat turunnya ayat ini para Sahabat bergembira karena Agama Islam telah sempurna dan direstui oleh Allah, akan tetapi Abu Bakar justru menangis karena ia memahami bilamana tugas seseorang sudah selesai maka akan tiba waktunya untuk pulang.
Beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Adha, hampir semua Institut Pendidikan di Yaman diliburkan sampai beberapa hari pasca Lebaran yang totalnya sekitar sepuluh harian, baik itu Lembaga Pendidikan Negeri maupun Swasta tak terkecuali Imam Shafie College yang berlokasi di Kota Mukalla yang merupakan Ibu Kota Provinsi Hadramaut, Republik Yaman.
Selama masa liburan Idul Adha Alhamdulillah bisa kami habiskan di Kota Tarim yang jaraknya hanya 7 jam jika ditempuh melalui jalur darat, baik itu dengan Bus maupun kendaran pribadi. Sebenarnya bisa saja ditempuh melalui jalur udara dari Bandara Rayan Kota Mukalla menuju Bandara Kota Seiwun yang merupakan tetangga Kota Tarim, hanya saja karena dampak perang dan konflik yang berkepanjangan hingga saat ini hampir semua Bandara di Yaman belum bisa dioperasikan.
Untuk di kampus kami sendiri libur dimulai tanggal 8 Dzul Hijjah di mana sebagian Mahasiswa melakukan puasa Tarwiyah, apalagi warga Tarim mulai tanggal 1 sampai tanggal 9 mayoritas melakukan puasa sunnah khususnya tanggal 9 yang bertepatan dengan Wuquf di Arafah, sedangkan pahalanya adalah pengampunan Dosa selama dua tahun, setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya sebagaimana disebutkan dalam Hadits :
“Puasa di hari Arafah, sesungguhnya aku berharap kepada Allah agar diampuni dosa tahun yang lalu dan yang akan datang”. HR. Tirmidzi, sedangkan dalam riwayat Imam Muslim : Setelah Nabi Muhammad SAW ditanya tentang Puasa Arafah beliau menjawab : “(Puasa Arafah) menghapus dosa di tahun yang lalu dan setelahnya”.
Hanya saja Puasa Arafah tidak dianjurkan bagi orang yang sedang melaksanakan Wuquf di Arafah karena dikhawatirkan badannya melemah saat Wuquf sehingga mengganggu aktivitas pelaksanaan Ibadah Haji, hal ini bila merujuk pada Madzhab Syafi’i.
Pada tanggal 9 Dzul Hijjah hampir semua orang yang ada di Tarim melaksanakan Puasa Arafah baik itu penduduk pribumi maupun pendatang untuk menuntut ilmu di Kota Tarim maupun sekedar Ziarah. Pada sore harinya setelah selesai melaksanakan jama’ah Shalat Ashar, saya bersama Mahasiswa lainnya menuju ke sebuah tempat yang bernama Khelih yang berlokasi di pusat keramaian Kota Tarim menggunakan Bus Kampus serta Mobil. Ketika sampai di lokasi saya melihat 3 Bus yang berisi Mahasiswa Univ. Al-Ahgaff Tarim, ada pula teman-teman dari Darul Mushthafa dan Rubath Tarim, di lokasi saya juga bertemu dengan beberapa teman dari Mukalla yang hendak mengikuti Evakuasi pada bulan ini.
Di Khelih sendiri terdapat sebuah Gedung serbaguna yang menampung sekitar 1000 orang serta halamannya yang mampu menampung 2000 orang. Mulai dari pukul 16.30 waktu setempat kami bersama ribuan warga Tarim dan Para Pelajar dari Indonesia turut hanyut dalam irama Do’a, Dzikir, Shalawat dan Munajat di area Khelih bersamaan dengan orang-orang Haji yang Wuquf di Arafah. Acara ini dihadiri oleh Tokoh dan Pembesar Kota Tarim dari kalangan Ulama’ dan Habaib.
Pembacaan Do’a, Dzikir, Shalawat dan Munajat tersebut dipimpin langsung oleh Mufti Tarim yaitu Habib Ali Masyhur Bin Hafidz kakak dari Habib Umar Bin Hafidz. Kemudian tepat pada pukul 17.00 waktu setempat beliau memberikan Tausiyah sekitar setengah jam membahas tentang sekelumit keutamaan Hari Arafah serta hal-hal yang bersejarah di dalamnya.
Setelah setengah jam memberikan Tausiyah dan Siraman Rohani, sambil lalu menunggu setengah jam menuju waktu Maghrib ada seseorang yang melantunkan Qasidah-Qasidah Yaman hingga Qasidah ditutup menjelang Adzan dikumandangkan. Di sela-sela mendengarkan Lantunan Qasidah serta menunggu masuknya waktu Maghrib, para petugas berdiri membagikan Kurma dan minuman kepada jama’ah untuk persiapan buka puasa.
Bersamaan dengan tenggelamnya Matahari di Ufuk barat, Adzan Maghrib menggema di seantero Kota Tarim, sedangkan para jama’ah dan Ulama’ memakan Kurma yang sudah dibagikan. Selesai menghabiskan Kurma yang dibungkus plastik kecil ini, para hadirin berdiri merapikan barisan untuk melaksanakan Shalat Maghrib berjama’ah yang langsung diimami oleh Habib Ali Masyhur Bin Hafidz.
Selesai melaksanakan Shalat Maghrib berjama’ah, kini para hadirin membuat lingkaran berisi lima orang untuk bersiap-siap menyantap makan malam dalam satu nampan nasi yang berlauk daging kambing serta sedikit taburan kismis. Setelah selesai melahap hidangan makan malam mereka bubar ke rumah masing-masing.
Lantunan Takbir bergema di Masjid-Masjid Tarim yang berjumlah 400 Masjid hingga larut malam, dahulu hanya berkisar 360 Masjid hanya saja seiring berangsurnya zaman dari masa ke masa di mana setiap tahunnya banyak yang membangun Masjid maka pada saat ini telah mencapai jumlah 400 Masjid, padahal Kota Tarim hanya sebesar luas satu kecamatan yang ada di Indonesia. Kebiasaan orang-orang Tarim selain menghidupkan malam Hari Raya dengan Takbir, mereka juga menghidupkannya dengan Tilawah Al-Qur’an dan ibadah-ibadah lainnya.
Sesampainya di penginapan, kami melanjutkan dengan jama’ah Shalat Isya’ setelah sesaat sebelumnya kami mengambil jeda untuk istirahat sebentar. Setelah selesai membaca Wirid rutin Ba’da Isya’, teman-teman membuat Khataman Qur’an bersama dalam rangka Haul salah seorang ayah dari teman kami yang merupakan Ulama’ besar di Jawa Timur yang semasa Hidupnya beliau mengabdikan diri untuk berdakwah hingga setiap kali mengadakan Majelis dihadiri puluhan ribu masa.
Keesokan harinya, sebelum sarapan pagi sekitar pukul 6 waktu setempat kami berangkat ke Jabanah untuk melaksanakan Shalat Idul Adha. Jabanah ini bentuknya seperti Masjid, hanya saja Jabanah ini tidak diwakafkan untuk Masjid yang pada ketentuannya berkaitan dengan banyak Hukum Syariah. Nah selain digunakan untuk Shalat Hari Raya, Jabanah biasanya juga digunakan untuk Pelaksanaan Shalat Jenazah, karena di Tarim tak ada Jenazah yang dishalati di Masjid untuk keluar dari Khilafnya Madzhab Hanafi yang menyatakan jasad manusia itu menjadi najis karena mati sehingga tidak boleh dimasukkan ke Masjid, walaupun di Tarim ini mayoritas bermadzhab Syafi’i akan tetapi berdasarkan kesepakatan Ulama’nya mereka mengamalkan 4 Madzhab sekaligus dalam masalah Khilafiyahnya.
Jarak dari Penginapan ke Jabanah hanya 10 menit menggunakan mobil, sedangkan Jabanah sendiri berlokasi di Pusat Kota Tarim yaitu berseberangan dengan Makam Zanbal yang terlenal itu dan hanya berjarak 300 meter dari Masjid Jami’ Tarim. Saat tiba di Jabanah, saya lihat jama’ah Shalat Ied sudah memadati lokasi. Jabanah sendiri mampu menampung sekitar 3000 jama’ah, hanya saja tak ada perempuan Shalat satu tempat dengan laki-laki di sini walaupun itu Shalat Ied sebagaimana lazim kita saksikan di Indonesia.
Hal ini tak lain untuk menjaga kehormatan wanita, di sisi lain bagi warga Tarim adalah dianggap suatu hal yang tabu jika ada sebuah perkumpulan yang di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan walaupun untuk Shalat. Bahkan di Masjd-Masjid di Kota ini kita tidak akan menemukan perempuan Shalat di Masjid maupun itu Shalat lima waktu, Shalat Tarawih dan sejenisnya.
Hal ini sempat terjadi di kampung saya dari Kyai pertama yang menempatinya, tepatnya di Dusun Trebung, Desa Taman, Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang, Madura. Di mana sejak dahulu kala kaum wanita dilarang medekati Masjid dan Mushalla untuk keperluan apapun khususnya Shalat dan baca Al-Qur’an. Hal ini berlangsung lama dari generasi ke generasi hingga tiba pada masa Kh. Zubeir Abrori memperkenankan para wanita untuk memasuki Masjid hingga sekarang.
Sembari menanti Shalat yang didirikan pada pukul 7 pagi, para jama’ah mengikuti lantunan Takbir yang menggema di Speaker Jabanah. Setelah Shalat Ied didirikan, kemudian dilanjutkan dengan Khutbah tentang Hari Raya Idul Adha yang berdurasi 35 menit. Selesai mendengarkan Khutbah, para jama’ah salam-salaman dan cipika-cipiki satu sama lain di area Jabanah.
Di sekitar area Jabanah banyak orang berjualan makanan ringan seperti kentang goreng, Pop Corn dan berbagai jenis gorengan Yaman. Selain banyak penjual makanan ringan, di Area Jabanah juga banyak ditemukan penjual mainan anak-anak, karena di hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha adalah surga bagi anak-anak Yaman untuk berbelanja mainan yang bermacam-macam jenisnya.
Setelah keluar dari Area Jabanah dengan membeli sakantong plastik Kentang Goreng seharga 200 Reyal Yaman atau setara dengan Rp. 14.000, sejenak kami berhenti untuk mengisi perut yang sedari pagi belum makan untuk persiapan selanjutnya berziarah ke Makam Para Wali di Pemakaman Zanbal yang letaknya hanya 50 meter dari Jabanah.
Selesai mengganjal perut dengan kentang goreng, bergegas kami melanjutkan perjalanan ke Pemakaman Zanbal. Di samping pintu masuknya disediakan Air Minum dingin untuk umum, sejenak kami mampir ke tempat minum untuk menghilangkan dahaga dan sisa-sisa kentang yang menyangkut di tenggorokan.
Kini tiba saatnya kami memasuki area Pemakaman Zanbal yang terkubur ribuan wali di dalamnya. Dimulai dari Faqih Muqoddam yang nama aslinya adalah Habib Muhammad Bin Ali Ba’alawy yang merupakan pendahulu dan rujukan para Habaib khususnya dalam Metode Dakwah dan Thoriqoh yang mayoritas Habaib di Hadramaut dan Indonesia menganut Thoriqoh Alawiyah, sedangkan beliau itu hidup semasa dengan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani. Setelah membaca Yasin dan Tawassul di depan makam Faqih Muqoddam kami bersama para jama’ah lainnya silih berganti berdo’a kemudian pindah ke depan Makam Habib Umar Muhdhar kemudian memasuki area Makam Habib Abdullah Bin Abu Bakar di bawah Kubah Al-‘Aydrus dan diakhiri di Makam Imam Abdullah Al-Haddad.
Selesai menziarahi Makam Para Wali, kami berkunjung ke Kompleks Pemakaman Sahabat Nabi SAW, di mana sekitar 70 Sahabat dari Ahli Badar turut dimakamkan di sekitar Pemakaman Zanbal. Dahulu kisahnya pada masa Khilafah Abu Bakar beliau mengutus para Sahabat dalam memerangi Kemurtadan selepas sepeninggalan Rasulullah SAW yang 70 di antaranya adalah mereka yang pernah hadir di Perang Badar.
Tak lupa foto-foto sana-sini kemudian kamipun pulang ke kepenginapan. Di penginapan kami bersama teman-teman bergegas memasak Nasi kemudian membakar daging kambing yang dibumbui dengan sambal kacang dan kecap. Masya Allah nikmatnya luar biasa dan sedikit mengobati kerinduan kami akan masakan Indonesia di antaranya sate, hanya saja kami tidak membuat sate karena terlalu lama proses untuk memotong-motong daging kemudian menusuknya dan memanggang satu persatu, makanya daging hanya dipotong besar-besar dan langsung dipanggang di atas pembakaran menggunakan arang.
Selesai menyantap daging bakar yang disiram kecap manis ABC dan dilumuri dengan sambal kacang, saya dan teman-teman kini menyibukkan masing-masing dengan HPnya sendiri untuk menghubungi sanak famili yang ada di Indonesia, tuk sekedar menghapuskan kerinduan yang selama ini terpendam karena terpisah oleh jarak dan waktu.
Di belakang penginapan, kami melihat salah seorang keluarga Dosen ada yang sedang memotpng kambing Qurban untuk kami, bedanya di sini menyembeleh Qurban itu gak rame-rame kayak di Indonesia. Beliau hanya sendiri menduduki kambing yang sudah pasrah kemudian langsung digorok. Dagingnya dimasak untuk makan siangnya, Alhamdulillah pekan ini akan menjadi pekan Kambing seperti tahun kemaren. Siang malam hanya makan daging kambing, beda dengan Indonesia yang setiap rumah hanya mendapat jatah 1/4 kg, hal ini karena kurangnya kesadaran berqurban di masyarakat yang mengira Qurban hanya sekali saja seumur hidup. Padahal Qurban ini disunnahkan setiap tahunnya bagi mereka yang mampu. Bahkan dulu waktu guru saya Buya Yahya selama tinggal di Yaman bersama isteri selalu mendapatkan kiriman daging Qurban sebanyak setengah kambing langsung, hal ini tak lain karena kesadaran tinggi masyarakat Hadramaut untuk berqurban.
Pada malam harinya setelah selesai melaksanakan Shalat Maghrib berjama’ah, kami dikumpulkan oleh salah seorang Dosen disebuah ruangan untuk rehat sejenak bershalawat bersama. Dengan perlengkapan seadanya, teman-teman menabuh Marawis, Baskom, Kardus dan Piring untuk mengiringi Qasidah dan Gambus yang dilantunkan. Ditengah senandung Qasidah yang merdu, beberapa Mahasiswa berdiri di depan untuk menari, dengan silih berganti mereka menari dengan asyiknya sesuai irama Qasidah yang disenandungkan.
Di antara mereka ada yang melakukan Tarian Jafin, ada juga Tarian Gambus bahkan ada pula yang melakukan Tarian Samman Ala Aceh, hanya saja karena tanpa persiapan sehingga mereka menari dengan seenaknya tanpa mengikuti kaidah Tarian Samman Aceh. Di antara mereka ada yang maju di hadapan hadirin seorang diri dengan mengenakan Kopyah tinggi, Jubah Besar dan kaos kaki, tiba-tiba ia berputar mengikuti irama lagu dan tenggelam dalam alunan Shalawat, yah itulah Tarian Shufi yang terkenal itu, tarian yang merupakan mediasi Dzikir dari Thoriqoh Maulawiyah yang banyak berkembang di Turki.
Sesaat acara terpotong oleh Isya’ hingga akhirnya kami lanjutkan kembali berqashidah dan bernasyid serta menari bersama dalam irama menghilangkan kepenatan Aktivitas Kuliah dan Pesantren yang sehari-harinya banyak menguras pikiran dan tenaga Mahasiswa Imam Shafie College sekaligus santri di Ribath Imam Shafii.
Selesai acara Qashidahan, salah seorang Dosen menyambungkan kami kepada Rektor Imam Shafie College yang sedang berada di Jeddah, Arab Saudi yaitu Syeikh Muhammad Bin Ali Ba’atiyah yang kami Mahasiswa sekaligus Santrinya akrab memanggil beliau dengan sapaan “Sayyidi Syeikh”. Selama durasi 20 menit beliau menyampaikan pesan-pesan rohani dan arahan kepada kami. Sebagaimana kebiasaan beliau bilamana sedang berada di luar dan bertepatan dengan hari raya dan sejenisnya, beliau selalu menghubungi kami untuk menanyakan kabar dan sedikit memberikan arahan. Bahkan lebaran tahun kemaren beliau memberi THR kepada setiap Mahasiswa dengan kisaran antara 10.000 – 50.000 Real Yaman atau setara dengan Rp. 600.000 – 3.000.000 sesuai dengan kondisi perekonomian masing-masing. Begitulah adanya kami temukan para Habaib dan Masyayikh di Hadramaut yang merupakan Pendidik Jiwa yang sejati serta suka bersedekah kepada siapapun dengan jumlah yang cukup besar.
Oleh : Imam Abdullah El-Rashied
Mahasiswa Fakultas Syariah Imam Shafie College Hadramaut – Yaman
Assalamualaikum, saya ingin sekali bisa menuntut ilmu di Tarim. Saya belum bisa berbahasa ‘arab. Usai S1 saya ingin melanjutkan pesantren disana. Kira2 biaya yang harus siapkan berapa ya? Syukron sebelumnya
Bisa kursus ke Darullughah wa Da’wah Pasuruan mungkin
2 tahun kira-kira 25 juta di Habib Salim as-Syatiri sudah komplit, kurang tahu kalau al-Ahqaf
minimal muqim disana berapa tahun pak? boleh nggak kalau hanya 1 tahun..
Kurang paham … maaf
Comments are closed.