Permasalahan dan pembahasan tentang kontroversi hukum menggambar dan membuat tiruan makhluk hidup dalam Islam telah menjadi diskusi panjang. Hal ini telah dibahas sejak lama dan menimbulkan kontroversi hukum yang cukup banyak.
Sebagai catatan, gambar atau suatu bentuk kasat mata, baik berbentuk dua dimensi (lukisan, karikatur, dsb) atau tiga dimensi (patung, boneka, action figure, dsb) dalam bahasa Arab disebut sebagai shurah (الصورة).
Sayyid Alwi al-Maliki dalam kitab Majmu’ Fatawa wa Rasail pernah menjelaskan hukum ini secara singkat dan mudah dimengerti. Beliau menulis jawaban tersebut berdasarkan kesimpulan dari kitab salah satu ulama Madinah, kitab Ifadah Ahli Tanwir bima Qila Min at-Tafshil fi at-Tashwir. Dengan perincian sebagai berikut,Â
Pertama, suatu bentuk rupa tiga dimensi, dengan wujud makhluk hidup yang sempurna, tapi tujuannya bukan untuk mainan perempuan seperti boneka, maka haram.
Kedua, suatu bentuk rupa tiga dimensi, dengan wujud makhluk hidup yang tidak sempurna. Dalam artian ada suatu cacat yang dengan cacat itu andaikan dia punya nyawa maka tidak bisa hidup, hukumnya dilegalkan menurut pendapat empat madzhab.
Misalnya membuat replika makhluk hidup tapi tidak memiliki kepala.
Ketiga, suatu bentuk gambar dua dimensi (lukisan, sulaman, dsb) tapi memang untuk diletakkan di tempat yang tidak terhormat. Maka diperbolehkan. Semisal karpet, seprey, bantal, tikar, keset, yang bergambar binatang. Tapi ada pula ulama yang melarang hal ini.
Keempat, suatu bentuk gambar dua dimensi, tapi diletakkan di tempat terhormat, seperti lukisan yang diberi bingkai, diletakkan di dinding. Mural yang diletakkan di sebuah kubah. Korden berhias gambar binatang, dsb. Maka ada ragam pendapat lintas madzhab.
Menurut madzhab Imam Abu Hanifah, imam Syafi’i, dan imam Ahmad, hal itu tidak diperbolehkan. Tapi menurut madzhab imam Malik hanya sebatas makruh. Beberapa ulama salaf juga ada yang memperbolehkan.
Untuk era modern seperti sekarang, ada juga permasalahan khusus seperti profesi komikus, pembuat film animasi, fotografer, dan sebagainya.
Kelima, rupa tiga dimensi tapi difungsikan sebagai mainan perempuan. Bisa melatih dan membantu meningkatkan kecerdasan dan imajinasi anak kecil. Seperti boneka, atau sejenisnya. Maka ini jelas diperbolehkan.
Keenam, gambar atau wujud apapun, baik tiga dimensi atau dua dimensi. Tapi bukan merupakan makhluk hidup yang bernyawa. Seperti replika pohon, buah-buahan, gunung, diorama kota besar, lukisan pemandangan, dsb. Hal tersebut jelas diperbolehkan.
Kesimpulannya, untuk bisa menjadi haram menurut kerangka pendapat disini, suatu shurah haruslah dalam bentuk: makhluk hidup tiga dimensi tidak cacat anggota yang menyebabkan kematian, lalu shurah itu dibuat dalam rangka bukan untuk mainan anak kecil, dan nantinya diletakkan di tempat terhormat. Jika tidak memenuhi kriteria itu, maka masih ada celah silang pendapat antara ulama.
Menyikapi perbedaan pendapat ini, sebaiknya jangan buru-buru berteriak dan memvonis “ini haram” “ini harus dihancurkan”, bila menemukan misalnya gambar atau lukisan makhluk hidup. Melihat orang memakai baju bergambar binatang, atau tahu ada korden bersulam membentuk pola makhluk hidup. Atau jangan sembarangan menyuruh kawan yang berprofesi sebagai komikus atau pelukis untuk resign dari pekerjaannya. Sebab disitu masih ada celah beda pendapat ulama.
Tapi saat melihat benda-benda semacam itu, kita juga sebaiknya tidak memilikinya. Kita tidak usah membelinya. Silahkan jika orang lain ingin menyimpan, mungkin mereka ikut pendapat yang memperbolehkan. Hal ini dalam rangka kehati-hatian sebab ada ulama yang memang melarang.
Wallahu a’lam.