Bisakah kita beragama tanpa bermazhab? Bisa. Dan ini perlu kita kaji dari pengertiannya terlebih dahulu.
Mazhab secara bahasa adalah isim makan dari zahaba, yang berarti berangkat. Tempat pergi. Atau bisa juga berarti jalan. Ini definisi menurut imam Khathib as-Syirbini dalam kitab al-Iqna’nya.
Secara istilah, mazhab adalah pendapat yang dipilih oleh seorang mujtahid dalam beragama, dalam mengantarkan kita keselamatan di akhirat. Singkatnya, mazhab adalah pemahaman mujtahid atas agama islam. Jika diistilahkan dalam fikih, berarti pemahaman mujtahid atas fikih.
Sebelum lebih jauh, kita perlu bersepakat bahwa kaum muslim dengan berhubungan dengan Allah Swt., sesama manusia dan makhluk yang lain, memiliki aturan hidup yang tidak boleh dilanggar.
Lalu bagaimana cara mengetahui aturan-aturan tersebut?
Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda,
تركتُ فيكم أَمْرَيْنِ لن تَضِلُّوا ما تَمَسَّكْتُمْ بهما : كتابَ اللهِ وسُنَّةَ نبيِّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ
Aku tinggalkan dua hal yang jika berpegangan pada keduanya, kalian tidak akan tersesat: Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. (HR. Malik bin Anas r.a.)
Hadis ini menjadi dasar bahwa keduanya, yakni Al-Qur’an dan hadis Nabi, menjadi sumber primer Islam. Barangsiapa mengingkari salah satunya sebagai sumber Islam, maka ia telah keluar dari Islam.
Cara Beragama Tanpa Bermazhab
Lalu bagaimana cara berpegangan kepada keduanya?
Satu-satunya cara adalah dengan mengkaji keduanya.
Di sini masalah mulai muncul. Mayoritas umat Islam bukanlah orang yang mampu memahami keduanya. Kita tidak memiliki piranti yang mumpuni untuk memahaminya.
Para sahabat, para ulama, adalah orang-orang yang mampu memahami Al-Qur’an dan hadis. Tapi, dibandingkan dengan jumlah umat Islam, jumlah dari beliau-beliau ini minoritas. Tidak banyak. Dan memang sudah dari dulu mayoritas umat Islam tidak bisa memahami Al-Qur’an dan Hadis secara langsung.
Maka bagaimana caranya?
Cara terbaik adalah dengan mengikuti pendapat orang yang mampu memahaminya. Mengikuti pendapat orang-orang yang mampu menggali makna dan hukum dari Al-Qur’an dan hadis. Orang-orang ini disebut mujtahid.
Untuk menjadi mujtahid, syaratnya sangat berat. Minimal ia harus menguasai 12 fan ilmu. Menguasai Al-Qur’an dengan tafsir, ilmu tafsir, ilmu lughah, ilmu nahwu, ilmu hadis, makrifatu an-nasikh wa al-mansukh, dan lain-lain. Ia juga harus juga bisa mengetahui apakah hadisnya bisa digunakan sebagai dalil. Apakah maqbul, bisa diterima, dengan shahih, hasan dan segala macamnya, dan hadis dlaif yang masih bisa digunakan dengan syarat-syarat tertentu.
Dia juga harus mengetahui sanad hadis itu. Diteliti. Bersambung atau tidak. Setelah itu, diteliti masing-masing periwayatnya. Harus mengetahui ilmu jarh wa ta’dil. Ilmu i’lal hadis.
Ilmu-ilmu ini sulit. Ini hanya bisa dikuasai ahli hadis yang sangat tinggi. Belum lagi nanti bertemu dengan dua hadis yang maknanya bertentangan. Ini nanti bisa diketahui dengan ilmu ushul fiqh.
Baca juga Cara Bermazhab yang Benar
Dalil Bermazhab
Dengan persyaratan sangat ketat tersebut, tidak mungkin semua umat Islam disuruh untuk mengambil langsung hukum dan syariat dari Al-Qur’an dan hadis. Karena meskipun andaikan kita dapat membaca terjemah, pemahaman kita akan berbeda dengan pemahaman orang yang memiliki ilmu. Ini seperti perbedaan pemahaman anak kecil dengan pemahaman orang dewasa.
Dalam memandang gajah semisal. Anak kecil mungkin akan memahaminya sebagai hewan yang berukuran besar, memiliki belalai, dan ciri-ciri fisik lainnya. Sementara orang dewasa, akan memahami anatomi tubuh, sehat atau tidak, dan seterusnya.
Di dalam Al-Qur’an sendiri telah disebutkan
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,
Para ulama sepakat ayat ini adalah dalil bagi orang yang tidak dapat memahami Al-Qur’an dan hadis, dia wajib mengikuti pendapat salah satu mujtahid. Karena jika ia langsung mengambil dari keduanya tanpa penguasaan kompetensi di atas, dia akan tersesat.
Karena itu, slogan kembali ke Al-Qur’an dan hadis perlu kita kaji ulang.
Jika slogan ini berarti semua orang harus mengambil hukum dari keduanya tanpa memperdulikan penafsiran ulama, pendapat mazhab, dan tanpa kompetensi yang memadai, ini sesat.
Jika slogan ini berupa ajakan untuk mempelajari ilmu yang bisa menuntun kita memahami Al-Qur’an dan hadis, tentu sebuah ajakan yang baik.
Wallahu a’lam.
Simak keterangan selengkapnya di fanpage aswajamuda.com