Tatkala tanah haram sedang diguncang oleh kebijakan sepihak oleh raja Ibnu Sa’ud untuk menerapkan sistem satu madzhab. Ulama’ nusantara dengan sigap mempersiapkan misinya untuk berangkat ke tanah haram melalui Komite Hijaz. Komite ini bermula dari kelompok diskusi kecil yang didirikan di Surabaya, tepatnya kawasan makam Ampel bernama Taswirul Afkar. Beberapa kiai yang terlibat dalam pendirian Taswirul Afkar adalah orang-orang penting dari berbagai organisasi di Indonesia, antara lain KH. Wahab Chasbullah yang berperan dalam pendirian NU, KH. Mas Mansur tokoh termasyhur organisasi Muhammadiyah, dan Kiai Dahlan Achyad sebagai pendiri organisasi MIAI.
Forum diskusi Taswirul Afkar pada mulanya sederhana, bersifat terbatas untuk kalangan tertentu. Kemudian seiring perkembangan waktu, Taswirul Afkar mulai diminati oleh pemuda. Kondisi ini dimanfaatkan untuk membina kontak antara sejumlah tokoh muda, tokoh agama dan tokoh intelektual. Taswirul Afkar berusaha mencari berbagai solusi keagamaan dalam kehidupan sehari-hari hingga merambah pada pembahasan politik perjuangan mengusir penjajah. Pada akhirnya perkumpulan ini menjadi embrio berdirinya Nahdlatul Ulama’.
Artikel ini berusaha mengangkat tokoh sentral pendiri Taswirul Afkar yakni Kiai Dahlan Achyad. Bukan berarti menafikan tokoh-tokoh lain yang juga pendiri Taswirul Afkar. Melainkan keprihatinan penulis akan rekonstruksi tokoh ini (Kiai Dahlan Achyad) masih sangat minim. Acapkali nama Kiai Dahlan Achyad menjadi kabur dengan nama Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Lebih-lebih dalam beberapa referensi ditemukan data yang tidak akurat, seperti MIAI didirikan oleh KH. Mas Mansur (Muhammadiyah), KH. A. Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH. A. Wahab Chasbullah (NU) dan W. Wondoamiseno (PSII). Padahal secara historis KH. A. Dahlan (pendiri Muhammadiyah) wafat tahun 1923, sedangkan MIAI berdiri tahun 1937. Logisnya tidak mungkin MIAI didirikan oleh tokoh yang telah wafat selama 14 tahun. Oleh karena itu kita harus jeli terhadap tokoh yang memiliki kemiripan nama. Karena bila dibiarkan dapat berdampak pada kaburnya peran-peran strategis dari tokoh tersebut.
Riwayat Hidup
Ahmad Dahlan Ahyad lahir pada tanggal 30 Oktober 1885 M bertepatan dengan 13 Muharram 1303 H di Kebondalem Surabaya. Beliau adalah putra keempat dari enam bersaudara dari pasangan KH. Muhammad Ahyad dan Nyai Hj. Mardliyah. Namanya mirip dengan KH. Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah yang berasal dari Yogyakarta. Untuk membedakan antara Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan Ahmad Dahlan pendiri Taswirul Afkar cukup dilihat dari nama akhirnya yaitu Achyad yang merupakan nama dari ayahnya. Lain halnya dengan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah yang semula memiliki nama Muhammad Darwis. Nama Ahmad Dahlan (dari Muhammad Darwis) terinspirasi dari nama seorang mufti Madzhad Syafi’I yang sangat termasyhur pada zamannya yakni Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan.
Nasab melalui ayahnya Kiai Ahyad merupakan keturunan ketujuh bersambung dengan Sayyid Sulaiman yang dimakamkan di Mojoagung Jombang. Dengan begitu, ayah Kiai Dahlan masih rintisan darah dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Karena Sayyid Sulaiman adalah putra dari Syaikh Abdul Rahman al-Syaibani, yang menikah dengan Nyai Syarifah Khadijah, Putra Maulana Sultan Hasanuddin Banten, dan cucu dari Sunan Gunung Jati. Sedangkan ibu Nyai Mardliyah (ibu Kiai Dahlan) adalah adik KH. Abdul Kahar saudagar kaya nan terkenal dari Kawatan Surabaya juga cukup dekat dengan Kiai-Kiai NU.
Perpaduan antara kedua orang tua Kiai Dahlan Achyad yang berbeda latar belakang ini menurut Wasid sangat ideal. Sebab, komitmen keduanya (sebagai agamawan dan saudagar) memastikan dapat menopang satu sama lain. Untuk tidak berlebihan, pernikahan ini mengingatkan pernikahan yang dilakukan oleh Rasulullah dengan Sayyidah Khadijah (saudagar yang kaya raya). Dari perpaduan inilah, membawa Dahlan kecil mewarisi karakter kedua orang tuanya. Di satu sisi karakter agamawan dari ayahandanya di sisi yang lain karakter seorang saudagar dari ibunya.
Riwayat pendidikan Kiai Dahlan Achyad bermula dari ayahandanya sendiri yakni Kiai Achyad, pemangku Pesaantren Kebondalem. Melalui restu orangtuanya nyantri ke Syaikhona Kholil Kademangan Bangkalan. Kemudian melanjutkan pengembaraan ilmu ke Kiai Mas Bahar Sidogiri Pasuruan. Sayangnya hingga saat ini, masih belum ditemukan data yang akurat apa saja yang dia pelajari di Pesantren Kebondalem. Hanya saja Wasid sedikit menafsirkan bahwa, di pesantren Kebondalem (milik ayahandanya sendiri) Dahlan muda belajar dasar-dasar agama, praktik shalat dan ibadah lainnya. Sedangkan di Pesantren Kademangan Dahlan muda belajar ilmu Nahwu, Fikih dan Sharaf. Sedangkan di Pesantren Sidogiri Dahlan muda belajar materi tafsir, hadits dan hisab.
Setelah lama ia mengembara mencari ilmu dari pesantren ke pesantren, Kiai Dahlan kembali ke kampung halaman untuk melanjutkan estafet pesantren milik ayahandanya. Sayangnya hingga kini tidak ditemukan data yang valid kapan Kiai Dahlan mulai menjadi pengasuh pesantren Kebondalem secara resmi. Ketika memangku pesantren Kebondalem, ia menuliskan karya Tadzkirat al-Naf’ah dicetak tahun 1353 H atau bertepatan tahun 1935 M. Karya ini membahas bab sholat khususnya shalat Jumat. Sebenarnya penulisan kitab ini dilatar belakangi oleh kondisi keberagamaan Kota Surabaya yang sedang diintervensi oleh Wahabi. Sebab era 1930 Kota Surabaya adalah salah satu dari kota yang menjadi tempat bertarungnya beragam ideologi (keagamaan). Dengan hadirnya kitab ini seolah Kiai Dahlan ingin berpartisipasi menggerus ideologi yang menyimpang tersebut dan kembali meluruskannya. Hanya saja kitab ini berisi satu topik pembahasan yakni shalat Jumat.
Pada tahun 1913 – 1932 M, Kiai Dahlan menjadi pembimbing haji. Pada tahun tersebut umur Kiai Dahlan cukup muda yakni antara 27 sampai dengan 47 tahun. Periode umur yang produktif tersebut dia gunakan dengan optimal. Sebagai pembimbing haji tentunya Kiai Dahlan tahu betul keterpurukan bangsa ini yang saat itu dalam cengkraman kolonialisme. Lebih-lebih kerasnya ideologi trasnasionalis radikal (Wahabi) semakin menjadikan Kiai Dahlan prihatin dan ingin segera membentengi ideologi bangsa ini. Alhasil, pada tahun 1914 Kiai Wahab mempunyai gagasan untuk mendirikan studi club yang hendak dijadikan sebagai media diskusi perkembangan islam Ahlussunnah wa al-Jama’ah, gagasan ini ia ungkapkan pada Kiai Dahlan. Dengan antusias, Kiai Dahlan menyambut ide cemerlang tersebut. Dari ide tersebut terlahirlah Taswirul Afkar. Perkumpulan ini menjadi titik awal perjuangan ‘ulama’-‘ulama’ mengawal ideologi aswaja di bumi Nusantara ini dari gerakan transnasionalis radikal (Wahabi). Dikatakan titik awal karena setelah perkumpulan ini terbentuk, muncullah gerakan selanjutnya.
Pada tahun 1926 M berdirilah organisasi secara resmi untuk benar-benar menghalau Wahabi, yakni Nahdlatul Ulama’. Organisasi akbar ini dipimpin oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Rais Akbar) sedangkan Kiai Dahlan sebagai wakil ketua dan Kiai Wahab sebagai sekretaris (Katib Awal). Kedudukan Kiai Dahlan sebagai orang nomor dua di NU kala itu cukup berpengaruh. Dua tahun kemudian, digagas sebuah misi ke tanah haram untuk menghadap raja Abdul Aziz bin Sa’ud agar tidak lagi menerapkan egoisme dalam bermadzhab. Misi tersebut dikenal dengan nama Komite Hijaz. Melalui misi tersebut hingga kini keleluasaan bermadzhab tetap berlangsung di tanah haram.
Kepeduliannya terhadap ideologi semakin terlihat tatkala Kiai Dahlan mendapat amanah sebagai Ketua MIAI pada tahun 1937. Di Majelis ini peran Kiai Dahlan begitu besar. Kiai Dahlan sebagai tuan rumah saat dirintisnya MIAI pada tanggal 12-15 Rajab 1358 H atau 18-21 September 1937 M. Dimasa senjanya saat Kiai Dahlan berumur 65, dia tetap berkomitmen untuk agamanya. Tahun 1956-1959, Kiai Dahlan tercatat sebagai ketua Pengadilan Agama di Gresik. Sayangnya hingga saat ini masih belum ditemukan apa saja perannya saat menjabat sebagai ketua Pengadilan Agama di Gresik.
Perjalanan kehidupan Kiai Dahlan meninggalkan jejak yang patut untuk direfleksikan. Kiai Dahlan adalah sosok ‘ulama’ yang konsisten berjuang didunia pendidikan. Hal ini ditunjukkan dari posisinya sebagai pemangku Pesantren Kebondalem juga sebagai pendiri perkumpulan Tasiwrul Afkar. Selain sebagai sosok yang konsisten berjuang didunia pendidikan, Kiai Dahlan begitu teguh membentengi bangsa ini dari gerakan Wahabi. Hal ini dibuktikan dengan posisinya sebagai Wakil Rais Akbar NU pada periode pertama. Usaha selanjutnya selain menjadi pejabat elite NU periode pertama untuk menghalau gerakan ini, Kiai Dahlan menulis satu kitab yang diberi anam Tadzkiratun Naf’ah. Meskipun berbeda ideology bahkan cenderung bertentangan, Kiai Dahlan tidak serta-merta menunjukkan respon yang radikal atau menggunakan tindakan kekerasan agar Wahabi tidak leluasa menyebarkan pahamnya. Usaha menulis kitab ini dinilai lebih tentram daripada menggunakan tindak kekerasan.
Oleh :
Rangga Sa’adillah S.A.P
Wakil Ketua II STAI Taswirul Afkar Surabaya