Bagi umat Islam di Indonesia, perihal ke-Esaan Tuhan seharusnya tidak menimbulkan gesekan internal umat namun, realitas sosial selalu menampakkan kondisi sebaliknya. Bahkan, perselisihan umat Muhammad itu bisa dikatakan sebagai agenda rutin. Penyebabnya tidak lain adanya bermacam-macam komunitas di dalam tubuh umat tersebut. Padahal, terciptanya kelompok-kelompok itu agar saling mengenal, bukan menjegal.
Sebagai mahluk sosial, pertentangan antar-sesama tentu sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Akan tetapi, api konflik tersebut masih bisa dipadamkan atau dijaga agar tidak membesar.
Sebenarnya, banyak cara yang dapat diusahakan untuk meredam gejolak perselisihan antar-kelompok masyarakat misalnya, saling menghormati sekaligus menghilangkan kecurigaan di dalam benak setiap komunitas yang berbeda. Barangkali, langkah pertama yang harus ditempuh adalah memahami dan terbuka untuk mendengarkan paham setiap kelompok terkait makna ke-Esa.an Tuhan. Penyatuan perspektif terkait falsafah dasar itu merupakan akar yang harus ditanamkan sejak dini. Langkah tersebut dilakukan agar antar-kelompok tidak saling menghujamkan tuduhan-tuduhan tanpa bukti kepada golongan yang berbeda dalam hal ekspresi beragama misalnya, tuduhan sebagai kelompok sesat dan kelompok radikal.
Biografi Ibrahim Al-Bajuri
Bertolak dari premis di atas, artikel ini membahas pengertian sifat ke-Esa.an Tuhan perspektif ulama dari kelompok tradisionalis. Perspektif ulama yang dianggap bisa mewakili kelompok itu adalah Ibrahim Al-Bajuri.
Tokoh tersebut adalah seorang ulama dari Mesir yang memiliki nama lengkap Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad Al-Jizawi bin Achmad Al-Bajuri. Dia lahir pada tahun 1783 M. di Bajur, Mesir. Dia memperoleh gelar kehormatan sekaligus gelar tertinggi dari Universitas Al-Azhar Kairo pada tahun 1847 M. Kemudian, Ibrahim Al-Bajuri menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1860 M.
Kemampuan Ibrahim Al-Bajuri dalam keilmuan Syariah membutnya layak mendapat gelar Syaikh Al-Azhar ke-19. Dia pun juga terkenal sebagai ulama yang produktif dalam kepenulisan. Hingga kini, karya-karyanya masih dikaji oleh banyak orang, termasuk para pelajar di Indonesia, misalnya Hasiyah Al-Bajuri, Tuhfah Al-Murid bi Syarhi Jauharat At-Tauhid, dan Tahqiq al-Maqam Ala Kifayat al-Awam.
Dua karya yang disebut terakhir itu menanggapi buku Ilmu Kalam sebelumnya. Bolehjadi, Ibrahim Al-Bajuri merasa penjelasan para ulama sebelumnya belum konprehensif. Keterangan terkait ketuhanan tidak sesederhana bahwa Tuhan adalah substansi yang keberadaannya tidak tercipta, tetap, berbeda dari ciptaannya, berdiri sendiri, Maha Satu sekaligus, keberadaanya yang kuasa; berkehendak; mengetahui; hidup; mendengar; melihat; dan tidak bisu. Oleh karena itu, di dalam 2 karyanya, Al-Bajuri menerangkan secara konprehensif terkait setiap differentia dan propria keberadaan Tuhan.
Uraian Ibrahim di dalam dua karyanya itu menggunakan teori 50 akidah sebagai suatu framework (kerangka kerja). Dari situ, kita akan melihat paradigma ke-Esaan Tuhan perspektif dirinya. Apakah paradigma ke-Esaan Tuhan akan berbeda makna apabila menggunakan teori Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat yang digigit erat oleh kelompok lain sebagai framework-nya? Khusus di dalam artikel ini, penulis hanya akan mendiskusikannya dari perspektif Ibrahim Al-Bajuri.
Paradigma Ke-Esaan Tuhan
Ulama Mesir tersebut menerangkan bahwa makna Maha Satu harus ditinjau dari 3 sisi: Ke-Esaan substansi, Ke-Esaan Sifat, dan Ke-Esaan Perbuatan. Diferensial Tuhan Maha Satu memiliki makna penafian 5 kuantitas. Artinya, memahami ke-Esa.an Tuhan adalah menegasikan 5 macam kuantitas Tuhan dari 3 sudut itu. Adapun perinciannya sebagai berikut[1]:
- Keesaan substansi Tuhan berarti menegasikan 2 kuantitas, kolektif substansial dan pluralis substansial. Menegasikan kuantitas kolektif adalah meyakini bahwa substansi Tuhan tidak berkomposisi. Menegasikan kuantitas pluralis adalah meyakini bahwa tiada substansi lain yang sama dengan substansi Tuhan.
- Keesaan sifat Tuhan berarti menegasikan 2 kuantitas, kolektif sifat dan pluralis sifat. Menegasikankuantitas kolektif adalah meyakini bahwa sifat Tuhan tidak ada unsur pembentuknya. Menegasikan kuantitas pluralis adalah meyakini bahwa tiada substansi lain yang memiliki sifat setara dengan sifat Tuhan.
- Keesaan perbuatan Tuhan berarti menegasikan kuantitas pluralis. Maksudnya meyakini bahwa tiada substansi yang Maha Menggerakan dan Maha Menciptakan kecuali Tuhan. Apabila kuantitas kolektif pada perbuatan Tuhan merujuk pada kolektifitas universal, Al-Bajuri tidak menafikannya karena semua yang bergerak; keteraturan alam; dan lain-lainnya, penciptanya adalah Tuhan secara langsung tanpa perantara. Apabila kuantitas kolektif merujuk pada kolektifitas partikular, Al-Bajuri menegasikan hal itu.
Barangkali, pembaca perlu istirahat sejenak untuk memahami uraian di atas. Di sana, ungkapannya menggunakan istilah-istilah yang kurang familiar karena kelemahan penulis. Dengan demikian, tulisan ini bisa dikatakan sebagai terjemah sifat ke-esaan Tuhan perspektif Al-Bajuri.
Pengertian terjemah itu sendiri menurut Az-Zarqani ada 4. Hanya saja, penulis tidak membahasnya karena tidak ada ruang yang cukup.
Setelah kerangka makna ke-Esa.an Tuhan perspektif Al-Bajuri terbaca, kita tidak ragu mengatakan Ulama Mesir itu tidak menegasikan kuantitas perbuatan Tuhan. Dengan demikian, kita akan lanjut melihat implikasi cara pandang semacam itu pada keyakinan seseorang.
Al-Bajuri menggambarkan keyakinan seseorang yang beranjak dari cara memandang ke-Esa.an. Gambaran tersebut ada 4[2]:
- Seseorang yang meyakini bahwa Api itu mampu membakar, makai ia telah kafir.
- Seseorang yang meyakini bahwa Api itu mampu membakar karena telah menerima kemampuan itu dari Tuhan, maka ia telah tersesat.
- Seseorang yang meyakini keterkaitan antara keberadaan Api sebagai ciptaan Tuhan dan membakar sebagai perbuatan Tuhan adalah suatu yang pasti berdasarkan akal, maka dia itu bodoh.
- Seseorang yang meyakini keterkaitan antara keberadaan Api sebagai ciptaan Tuhan dan membakar sebagai perbuatan Tuhan adalah suatu kebiasaan, maka dia adalah orang yang selamat.
Potret keyakinan terakhir itu merupakan implikasi dari paham keesaan Tuhan perspektif Al-Bajuri. Sampai di sini, uraian di atas sekurang-kurangnya dapat merepresentasikan pemahaman ke-Esa.an Tuhan dari kelompok tradisionalis. Selanjutnya, bagaimana paradigma ke-Esaan Tuhan dari teori Rububiyah, Asma wa As-Sifat, dan Uluhiyah itu?
[1] Ibrahim bin Muhammad bin Achmad, Tuhfatul Murid Syarh Jauharatu At-Tauhid, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Alamiyyah, 2004), Hlm. 70.
[2] Ibrahim bin Muhammad bin Achmad, Tuhfatul Murid Syarh…Hlm. 111.
Penulis: Achmad Fattah Abdurrohman. Mahasiswa Semester 3 Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir di STAI SW Magelang. Pernah mengenyam pendidikan di beberapa pesantren, salah satunya adalah PP Al-Asnawi Salam Kanci Bandongan.