Kedudukan Hisab Falaki Terhadap Rukyah Hilal Dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyyah

0
3020

Pendahuluan

Sampai hari ini perbincangan tentang kapan awal puasa Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha masih tetap relefan, padahal setiap tahun selalu didiskusikan oleh berbagai kalangan, bahkan dibahas dalam beberapa even-even diskusi hukum Islam. Diantara mereka ada yang berharap adanya keseragaman, ada yang menganggap bahwa perbedaan adalah keniscayaan dan ada pula yang beranggapan bahwa perbedaan adalah perpecahan diantara kaum muslimin.

Melalui tulisan ini, saya mencoba memberikan gambaran mengenai hal di atas berdasarkan sumber referensi secara proporsianal-obyektif, agar kita semua dapat mengambil suatu kesimpulan yang tepat dan tidak saling menyalahkan pihak lain, selama pendapat mereka dapat diakomodir oleh dasar hukum yang tepat melalui pola bermanhaj yang mu’tabar.

Sumber Hukum Tentang Awal Puasa Ramadhan dan Idul Fithri

  1. Al-Qur’an, antara lain :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (البقرة : 189 )

Mereka bertanya kepada engkau tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. (Al-Baqarah : 189 )

  1. Al-Hadits

Amat banyak hadits Nabi SAW yang menjelaskan tentang awal puasa dan idul fithri. Secara garis besar ada tiga macam redaksi, yaitu :

قال النبيُّ صلى الله عليه وسلّم «صُوموا لِرُؤْيتهِ وأفطِروا لرُؤيته، فإن غُبِّيّ عليكم فأكملوا عِدَّةَ شَعبانَ ثلاثين».  رواه البخاري ومسلم واحمد وابوداود واللفظ للخاري

Nabi SAW bersabda, puasalah kalian ketika telah melihat hilal, dan berbukalah (berhari-rayalah) kalian ketika telah melihat hilal. Lalu jika hilal terhalang atas kalian, maka sempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari. HR : Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud. Redaksi hadits milik Bukhari

عن ابنَ عمرَ رضيَ اللهُ عنهما قال: سَمعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلّم يقول: «إذا رَأيتُموهُ فصوموا، وإِذا رأَيتُموهُ فأفطِروا. فإن غُمَّ عليكم فاقْدُرُوا له». رواه البخاري ومسلم ومالك واحمد واللفظ للخاري

Dari Ibnu Umar RA ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, apabila kalian telah melihat hilal maka puasalah, dan apabila kalian telah melihat hilal maka berbukalah. Lalu apabila hilal terhalang atas kalian, maka kira-kirakan hilal itu. HR : Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad. Redaksi hadits milik Bukhari.

عن نَافِعٍ عن ابن عُمَرَ ، قال قال رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلّم: «الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ. فَإنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلاَثِينَ رواه مسلم وابوداود واللفظ لأبي داود

Dari Nafi’, dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, bulan (syahr) itu 29 hari, maka janganlan kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan berbuka (hari raya) hingga kalian melihat hilal. Lalu apabila hilal tertutup atas kaian, maka kira-kirakan hilal dengan bilangan 30 hari.  HR : Muslim dan Abu Dawud. Redaksi hadits milik Abu Dawud

Penetapan awal puasa pada masa Nabi SAW

Rasulullah SAW dalam memulai puasa adalah terlebih dahulu melihat hilal sebgaimana hadits riwayat Ibnu Umar RA.

عن ابن عُمَرَ ، قال: «تَرَاءى النَّاسُ الهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلّم أنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ».رواه ابوداود

Dari Ibnu Umar RA berkata, manusia telah berhasil melihat hilal, lalu aku memberitahukan kepada Rasulullah SAW bahwa aku telah melihat hilal, lalu beliau berpuasa dan memerintahkan manusia berpuasa. HR : Abu Dawud

Kemudian ketika hilal tidak berhasil dirukyah, maka menggenapkan Sya’ban atau Ramadhan 30 hari, sebagaimana yang terdapat pada kebanyakan riwayat hadits.

Interpretasi teks hadits “ فاقدروا له ”

Awal mula perdebatan tentang penggunaan ilmu Falak dalam penentuan awal bulan Qamariyyah, adalah dari interpretasi (penafsiran) teks hadits “ فاقدروا له ”. Di bawah ini saya kemukakan perbedaan pendapat tentang interpretasi teks hadits tersebut, yaitu :

  1. Menurut jumhur ulama’ (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat serta sejumlah kalangan dari ahli ilmi),[1] mengira-ngirakan bilangan bulan berjalan sempurna 30 hari, sehingga usia Sya’ban dan Ramadhan digenapkan 30 hari.[2] Hal ini dikarenakan diketemukan beberapa riwayat hadits yang menuntut makna teks hadits “faqduru lahu” pada penggenapan bilangan bulan berjalan menjadi 30 hari, yaitu :

فإن غُبِّيَ عليكم فأكملوا عِدَّةَ شَعبانَ ثلاثين».  رواه البخاري

   Lalu apabila hilal tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban 30 hari. HR : Bukhari

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْماً» رواه مسلم

   Lalu apabila hilal terhalang atas kalian, berpuasalah 30 hari. HR : Muslim

   Bahkan ada riwayat yang lebih sharih, yaitu :

فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلاَثِينَ». رواه مسلم وابوداود واللفظ لمسلم

   Lalu apabila hilal tertutup atas kalian, maka kira-kirakan hilal dengan bilangan 30 hari. HR : Muslim dan Abu    Dawud. Redaksi hadits milik Abu Dawud

   Interpretasi di atas dalam teori ushul fiqh dikenal dengan haml al-muthlak ‘ala al-muqayyad (mengarahkan      dalil yang lepas kepada yang terbatas).[3]

  1. Menurut ulama’ madzhab Hanbali terdapat tafsil :
    1. Apabila hilal terhalang oleh mendung atau sejenisnya, maka menurut satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal mengira-ngirakan hilal berada di balik mendung dan malam itu sudah masuk tanggal bulan baru, sehingga bilangan Sya’ban dan Ramadhan 29 hari.[4] Pendapat ini sejalan dengan pendapat para sahabat Nabi SAW yang lain yaitu Umar bin Khaththab, putranya yaitu Abdullah, ‘Amr bin al-‘Ash, Abu Hurairah, Anas bin malik, Mu’awiyah, Aisyah dan Asma’ keduanya putri Abu Bakar, dan dari generasi sesudahnya adalah al-Muzani, Abu Utsman al-Nahdi, Ibnu Abi Maryam, Mutharraf bin Abdillah, Maimun bin Mihran, Thawus dan Mujahid.[5]
      1. Apabila cuaca cerah (tidak terdapat hambatan rukyah) namun hilal tidak berhasil dirukyah, maka bilangan bulan yang sedang berjalan digenapkan 30 hari.[6]
  2. Menurut Ibnu Suraij (madzhab Syafi’i) dan ulama’ lain seperti Mutharraf bin Abdillah al-Syukhairi dan Ibnu Qutaibah, mengira-ngirakan keberadaan hilal dengan perhitungan ilmu Falak (astronomi).[7]

Kedudukan Ilmu Falak Dalam Penentuan Awal Bulan

Ilmu Falak dalam keterkaitannya dengan penentuan awal bulan qamariyah menduduki posisi amat strategis. Hal ini dapat kita lihat betapa tingginya apresiasi para ulama’ fiqh (fuqaha’) dalam kepentingan seputar persoalan hilal dan juga berbagai persoalan fiqh yang lain.[8]

  1. Ilmu Falak digunakan dalam melakukan rukyah hilal. Seseorang yang akan melakukan observasi hilal terlebih dulu harus sudah dapat menentukan arah hilal (utara atau selatan matahari), posisi hilal (miring, tegak atau telentang), irtifa’ (ketinggian) hilal dari ufuq, mukuts hilal (lama hilal di atas ufuq) dan lain sebagainya.
  2. Ilmu Falak sebagai referensi hakim dalam menerima laporan rukyatul hilal, sebab seorang hakim wajib bersikap hati-hati dan cermat dalam setiap menerima laporan rukyah guna penentuan awal bulan, apakah terdapat kecocokan antara keberadaan hilal yang dilaporkan dan hasil perhitungan ilmu Falak atau tidak, dan kepribadian pelaku rukyah itu sendiri. [9]
  3. Ilmu Falak boleh diamalkan dalam menentukan awal bulan. Pengamalan ilmu Falak dalam menentukan awal bulan atas dasar hadits “ فاقدروا له ” menurut interpretasi Mutharraf (tabi’in), Ibnu Suraij (madzhab Syafi’i), dan lainnya.

Teks hadits  “ فاقدروا له ” adalah satu paket (qadhiyah) dengan hadits perintah rukyah. Jadi harf “فاء “ pada “ فاقدروا له ” adalah harf ‘athaf yang mempunyai faidah berututan-kesegaraan (tartib ma’at-ta’qib). Oleh karena itu penggunaan hisab falaki untuk menentukan awal bulan, seharusnya juga dipakai/diamalkan setelah rukyah dinyatakan gagal sebab mendung atau lainya, sebagaimana yang contohkan oleh sahabat Abdullah bin Umar yang sekaligus sebagai perawi hadits tersebut. Tertib pengamalan seperti itulah yang kemudian diikuti oleh generasi ulama’ sesudahnya, sebagaimana dinyatakan al-Syaukani dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid :

وروي عن بعض السلف أنه إذا أغمي الهلال، رجع إلى الحساب بمسير القمر، والشمس، وهو مذهب مطرف بن الشخير، وهو من كبار التابعين ( بداية المجتهد – (ج 1 / ص 228)

Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf, bahwa ketika hilal tertutup awan (atau lainnya), maka boleh menggunakan hisab perjalanan bulan – matahari, dan cara ini adalah madzhab Mutharraf bin Syukhair yaitu seorang pembesar tabi’in. (Bidayah al-Mujtahid juz 1 hal 228)[10]

Penutup

Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan :

  1. Penentuan awal puasa Ramadhan dan Idul Fithri pada masa Rasulullah SAW adalah menggunakan rukyah hilal yang kemudian beliau itsbatkan kepada para kaum muslimin.
  2. Penggunaan hisab dengan mengabaikan rukyah tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada Nabi SAW, sebab sesuai dengan urutan teks “ فاقدروا له ” harusnya didahului rukyah yang ternyata hilal gagal dilihat, sebagaimana dilakukan sahabat Ibnu Umar.
  3. Rukyah sebagaimana menjadi pedoman Pemerintah RI, MUI dan Nahdlatul Ulama’ (NU) adalah melibatkan hisab falaki, agar dapat menghasilkan rukyah hilal yang akurat, dan disisi lain rukyah tanpa dipandu prediksi hisab falaki sangat berpotensi terjadi kekeliruan dalam mendapatkan hilal.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga berkenan dan mohon ma’af.

 

oleh :
KH. Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I
Pengasuh PP Al Fatih Osowilangun Surabaya
Ketua PW Lembaga Bahtsul Masail NU Jawa Timur


[1] Muhammad bin Abdillah bin Muhammad al-Baari al-‘Alawi al-Hadhrami al-Syafi’i, Tawdhih al-Adillah fi Itsbat al-Ahillah, cet. 1, 1387 H – 1967 M, h. 4

[2] Ibid, 7

[3] Al-Nawawi, al-Majmu’ vol. 6, hal. 245

[4] Ibid, 7 : al-Diibaaj ala Shahih Muslim, vol. 3, hal. 183

[5] Ibid, 4. Nafi’ mengatakan, bahwa Abdullah bin Umar apabila bulan Sya’ban telah melampaui 29 hari, beliau mengutus seseorang agar melihat hilal. Apabila hilal dapat terlihat maka tibalah tanggal 1 Ramadhan, dan jika hilal tidak terlihat sedangkan di tempat rukyah tidak terdapat mendung atau lainya, maka besok paginya ia berbuka (tidak berpuasa), dan jika terhalang oleh mendung atau yang lain, maka besok paginya ia berpuasa. Musnad al-Imam Ahmad,vol. 2, hal. 64 ; Sunan Abi Dawud,vol. 6, hal. 435

[6] Ibid, 3

[7] Ibid, 7 ; Bidayah al-Mujtahid, vol. 1, hal. 374 ; al-Tamhid, vol. 14, hal. 337

[8] Suatu persoalan hukum  apabila dikaitkan dengan syahr (bulan), maka yang dimaksud juga syahr (bulan) qamariyyah, kecuali tiga persoalan maka penghitungannya menggunakan bilangan/hitungan tiga puluh harian (30 harian), yaitu persoalan mustahadhah mumayyizah yang tidak terpenuhi salah satu syaratnya, mustahadhah mutahayyirah  dan masa usia kandungan. Tuhfah al-Habib, vol. 1, hal. 130

[9] Muhammad Manshur bin Abdil Hamid Betawi, Sullam al-Nayyirain Risalah Ula, hal. 12-13 ; Abu Hamdan Abdul Jalil bin AbdulHamid Kudus, Fath al-Rauf al-Mannan, hal. 15-16

[10] Al-Syaukani, Bidayah al-Mujtahid, vol. 1, hal. 228

Sumber Ilustrasi : maduraview.blogpost