Jauh hari sebelum Indonesia merdeka, roh perjuangan telah menggelora di hati Hadhratussyekh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari. Sebagai sosok Wadhi’ Labinah Istiqlal Indunisiya, Peletak Dasar Kemerdekaan Indonesia, KH Hasyim Asy’ari dan jaringan internasionalnya meneguhkan tekad. Mereka berikrar untuk membebaskan umat Islam dari kungkungan penjajah di berbagai belahan dunia.
Muhammad Isham Hadziq, pengantar dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim, [Jombang, Maktabah At-Turats Al-Islami: 1415 H], menyebutkan, sebelum pergi belajar ke Makkah, KH. Hasyim Asy’ari telah belajar agama di berbagai pesantren Nusantara, seperti Pesantren Sono dan Pesantren Siwalan Panji, yang terletak di Kota Sidoarjo. Demikian pula ia telah belajar di Pesantren Bangkalan Madura dan Pesantren Langitan Tuban. (Hadziq, 1415 H: 3-4).
Oleh karenanya, sebelum keberangkatan pertama ke Makkah pada 1303 H/1892 M dan yang kedua pada 1304 H/1893 M, K.H. Hasyim Asy’ari muda telah menjadi sosok santri yang sangat alim berkat belajarnya di berbagai pesantren Nusantara.
Karena kematangan ilmunya, sampai di Makkah K.H. Hasyim Asy’ari relatif mudah berkomunikasi dan membangun jejaring internasional di antara kawan seangkatannya. Di sana ia tidak melulu menjalankan aktivitas belajar-mengajar. Ia bahkan menggalakkan diskusi bersama teman-temannya seusai aktivitas belajar-mengajar tentang nasib dunia Islam yang sedang tertindas oleh bangsa asing pun.
Teman Kiai Hasyim saat itu adalah Sayyid Shaleh Syattha, Syekh At-Thayyib As-Sasi, Syekh Bakr Shabbagh, Sayyid Shaleh bin Alawi bin Aqil, Syekh Abdul Hamid Quddus, Syekh Muhammad Nur Pattani, Syekh Muhammad Sa’id Abul Khair, Syekh Abdullah Hamduh, Sayyid ‘Aidrus Al-Barr, Sayyid Muhammad Ali Al-Maliki, dan Sayyid Muhammad Thahir Ad-Dabbagh yang dikemudian hari berkunjung ke Indonesia menemui K.H. Hasyim Asy’ari. Sementara dengan sahabat lainnya, K.H. Hasyim Asy’ari terus membangun korespondensi meski terbentang jarak lintas batas negeri yang sangat jauh.
Pada waktu itu kaum muslimin di India, Malaysia, Burma (Myanmar sekarang), sisi utara Borneo (Kalimantan sekarang), tunduk dalam jajahan Inggris. Bagian Indonesia barat tunduk pada penjajahan Belanda. Bagian timur dijajah Portugis. Benua Afrika terbagi-bagi dalam jajahan negara-negara barat. Asia Tengah semisal Bukhara (Uzbekistan sekarang), Turkistan dan Kawasan Kaukasus di bawah tekanan kekaisaran Rusia. Kekhalifahan Turki Utsmani berada dalam kondisi sangat lemah dan di ambang kehancurannya, serta tidak mampu lagi mempertahankan negeri-negeri di bawah kekuasaannya untuk lepas satu per satu darinya.
Kondisi dunia Islam yang memprihatinkan seperti inilah kemudian mendorong KH Hasyim Asy’ari dan jaringan Internasionalnya untuk bersama-sama membulatkan tekad, berjanji memperjuangkan kemerdekaan dunia Islam di masa-masa mendatang. (Syahab, 1971 M: 25-27).
Akhirnya, tepat dalam salah satu malam Ramadhan, mereka yang berasal dari berbagai negeri Afrika, Asia Selatan, Asia Tengah dan berbagai negeri Arab—yang salah satunya adalah KH Hasyim Asy’ari—berkumpul dan berdiri di depan Multazam di Ka’bah Al-Musyarrafah. Mereka meneguhkan janji kepada Allah dan bersumpah melaksanakan jihad fi sabilillah li i’lai kalimatil Islam, atau yang dapat kita sebut sebagai mu’ahadah jihad di bawah kesaksian Ka’bah, titik awal jihad K.H. Hasyim Asy’ari dan jaringan internasionalnya.
Berjihad di jalan Allah untuk meninggikan Islam, menyatukan kaum muslimin, dengan menyebarkan ilmu, memperluas dan memperdalam agama Islam, karena mengharap ridha Allah Swt, bukan lainnya. Dalam konteks ini Muhammad Asad Syahab (1910-2001 M) menulisnya secara rapi dalam Buku Al-‘Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Wadhi’ Labinah Istiqlal Indunisiya, [Beirut, Dar Shadiq: 1391 H/1971 M]):
“Dalam malam panjang yang gelap gulita dari salah satu malam bulan Ramadhan yang agung, para pelajar di situ, yaitu yang berasal dari berbagai bangsa dari Benua Afrika, negeri-negeri Asia Selatan, Asia Tengah dan negeri-negeri Arab—dan Haji Muhammad Hasyim Asy’ari salah satunya—, mereka semua berkumpul dan berdiri di depan Multazam di Ka’bah Musyarrafah; berjanji kepada Allah; dan menyatakan sumpah akan konsisten meneguhkan diri dalam perjuangan di jalan Allah untuk menegakkan Islam dan menyatukan kaum muslimin; dengan cara menyebarkan ilmu, memahami dan memperdalam agama secara tepat, karena mencari Ridha Allah Ta’ala, tidak mengharapkan harta, pangkat, dan derajat bagi mereka sendiri.” (Syahab, 1971 M: 26-27).
Mu’ahadah atau ikrar bersama jihad di bawah kesaksian Ka’bah ini sudah sesuai dengan semangat sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman RA:
Man la yahtammu bi amril muslimina fa laysa minhum.
Artinya, “Orang yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia tidak termasuk bagian dari mereka …” (HR At-Thabarani dalam Al-Mu’jam ul Aushath dan Al-Mu’jam us Shaghir. Di dalamnya terdapat perawi bernama Abdullah bin Abi Ja’far Ar-Razi yang dianggap lemah oleh Muhammad bin Hamid , namun dinilai tsiqah oleh Abu Hatim, Abu Zur’ah ,dan Ibn Hibban). (Nuruddin Abul Hasan Ali bin Abi Bakr Al-Haitsami, Majma’ Uz Zawaid wa Manba’ul Fawaid, [Beirut, Dar al-Fikr: 1412 H], juz I, halaman 264).
Dari sini diketahui, bahwa kepulangan K.H. Hasyim Asy’ari dari Makkah sekitar tahun 1313 H/1899 M membawa misi yang sangat jelas, yaitu perjuangan untuk memerdekakan bangsanya dari penindasan kaum penjajah dengan berdasarkan fondasi keilmuan Islam yang kokoh, selaras dengan prinsipnya dalam memajukan bangsa:
La khaira fi ummatin idza kana abnauha juhala, wa la tashluhu ummatun illa bil ilmi.
Artinya, “Tiada kebaikan sedikit pun bagi suatu bangsa bila generasinya bodoh-bodoh; dan suatu bangsa tidak akan menjadi baik kecuali dengan ilmu.” (Syahab, 1971: 12).
Oleh karenanya, perjuangan, sepak terjang dan kiprah jihad ilmiyah maupun jihad fisik yang di kemudian hari diperankan K.H. Hasyim Asy’ari hingga berhasil memerdekakkan bangsa Indonesia dari penindasan kaum penjajah diawali dengan mu’ahadah jihad di bawah kesaksian Ka’bah dan selalu didasari dengan ilmu keislaman yang kokoh.
Demikian pula perjuangan teman-teman seangkatannya di berbagai belahan dunia lainnya. Semuanya dilakukan bukan untuk mencari polularitas, mengejar derajat dan pangkat. Semua itu dilakukan tiada lain demi meraih ridha Allah SWT. Bila demikian teladan para pendahulu, bagaimana dengan kita sekarang? Semoga mampu meneladani dan menapaki jejak-jejaknya. Amin.
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jatim.
Tulisan pernah dimuat di NU online.