Sesuai penjelasan Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum ad-Din, ilmu terbagi dua, yakni ilmu syar’i (yang bersifat agama) dan ilmu non syar’i.
Maksud ilmu syar’i adalah ilmu yang diperoleh dari para Nabi, yang tidak ditunjukkan oleh akal seperti dalam ilmu perhitungan, tidak ditunjukkan oleh eksperimen seperti dalam ilmu kedokteran, dan tidak ditunjukkan dari oleh pewarisan budaya (sima’) seperti dalam ilmu bahasa. Adapun ilmu non syar’i adalah sebaliknya.
Ilmu non syar’i ini terbagi dalam tiga bagian:
- Ilmu yang terpuji, yaitu ilmu yang berkaitan dengan kemaslahatan urusan dunia seperti ilmu kedokteran dan ilmu eksak (perhitungan/matematika).
- Ilmu yang tercela, seperti ilmu sihir dan semisalnya
- Ilmu yang mubah (dibolehkan), seperti ilmu syair (sastra), sejarah, dan semisalnya.
Lalu ilmu apa yang memiliki keistimewaan sebagaimana disinggung oleh al-Qur’an, al-Hadits dan Ulama?
Setidaknya ilmu yang dimaksud tidak terlepas dari ilmu yang bersifat fardhu ‘ain, dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu farhu ‘ain meliputi ilmu syar’i dan non syar’i yang menjadi kebutuhan pokok dan harus dipelajari seperti ilmu tentang akidah, mu’amalah, akhlak, dan ilmu tentang ketrampilan untuk bertahan hidup sehingga tidak merepotkan dan menjadi beban orang lain. Sedangkan ilmu yang fardhu kifayah (wajib kolektif) adalah ilmu syar’i maupun non syar’i yang andaikan tidak dikuasai maka masyarakat sekitar akan terjerumus dalam kebinasaan, baik kebinasaan fisik maupun kebinasaan ruhani seperti ilmu kedokteran dan ilmu agama sampai tingkatan mampu berfatwa.
Referensi :
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din (Semarang: Toha Putra, tth.), juz 1, h. 17-18.
Sumber:
Grup Whatsapp, Kajian Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Divisi KISWAH Aswaja NU Center Jatim
Ilustrasi:
Freepik