Sebenarnya hanya ada beberapa ilmu yang wajib dipelajari seorang muslim. Tidak perlu semuanya dikuasai, untuk bisa disebut sebagai orang yang berilmu. Seperti ayat berikut
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلۡعِلۡمِ قَآئِمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
”Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia (demikian pula ) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain dia, Yang maha perkasa, Maha-Bijaksana.” (QS. Ali Imran:18)
Dari ayat ini jelas orang yang berilmu memiliki derajat kemuliaan, karena Allah memulai dengan penyebutan dirinya sendiri kemudian malaikat dan selanjutnya adalah orang yang berilmu, bukan seluruh hamba-hambanya yang beriman. Dalam pandangan agama, fan keilmuan terbagi menjadi empat: Syar’iyyah, Adabiyyah, Riyadhah dan ‘Aqliyyah. Berikut perincian dari empat fan itu.
Syar’iyyah
Fikih, Tafsir, dan Hadis.
Adabiyah
Bahasa, Isytiqaq, Tashrif, Nahwu, Ma’ani, Badi’, ‘Arudl, Qawafi, Sya’ir, Insya’, Imla’, dan Qiraat.
Riyadhah
Tasawuf, Geometri, Astronomi, Pendidikan, Hisab (Matematika), Aljabar, Musik, Politik, Akhlak, dan Ekonomi Rumah Tangga.
Aqliyah
Logika, Berdebat, Ushul Fikih, Ushuluddin, Teologi, Psikologi, Waktu, Kenabian, Filsafat, dan Kimia.
Sedangkan dari sisi hukum, mempelajari sebuah ilmu memilki hukum yang variatif. Adakalanya wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Namun yang terpenting, adalah bagaimana ilmu yang wajib dipelajari telah terpenuhi terlebih dahulu. Seperti ilmu yang berbicara tentang keimanan (akidah) dan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah sehari-hari seperti salat, zakat, puasa haji serta hal-hal yang berhubungan dengan halal-haram (fikih).[1]
Baca juga: “al Ghazali Kecil” di Nusantara
Nabi Muhammad Saw bersabda :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لِاْبنِ مَسْعُوْد : يَا ابْنَ مَسْعُوْد! جُلُوْسُكَ سَاعَةً فِي مَجْلِسِ العِلْمِ لَا تَمُسُّ قَلَمًا وَ لَا تَكْتُبُ حَرْفَا خَيْرٌ لَكَ مِنْ عِتْقِ أَلْفِ رَقَبَةٍ وَ نَظْرُكَ إِلَى وَجْهِ العَالِمِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَلْفِ فَرَسٍ تَصَدَّقْتَ بِهَا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ سَلَامُكَ عَلَى العَالِمِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ عِبَادَةِ أَلْفِ سَنَةٍ.
“Nabi berkata kepada Ibnu Mas’ud: Wahai Ibnu Mas’ud ! dudukmu di dalam majelis ilmu sesaat meski engkau tanpa memgang pena dan tanpa mencatat satu huruf pun, itu lebih baik daripada memerdekakan 1000 budak. Memandang wajah orang alim lebih baik dari pada memiliki 1000 kuda yang engkau sedekahkan di jalan Allah. Dan ucapan salammu kepada orang alim lebih baik daripada ibadah 1000 tahun.”
وَ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقِيهٌ وَاحِدٌ مُتَوَرِّعٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ مُجْتَهِدٍ جَاهِلٍ وَرَعٍ
“ Nabi bersabda : Satu orang yang mengerti tentang ilmu agama yang wira’i (meninggalkan perkara haram) lebih ditakuti oleh syaitan daripada 1000 orang ahli ibadah yang tidak mengetahui ilmu tentang ibadah yang bersifat wirai”
Syaitan membuka pintu hawa nafsu yang ada pada diri manusia, yang bertujuan menghiasi hati manusia dengan jeratan hawa nafsu. Maka beruntung bagi orang yang mengerti ilmu agama telah mengetahui terhadap segala tipu daya syaitan. Pintu di dalam hatinya akan langsung tertutup, manakala syaitan berusaha membukanya. Hal ini membuat usaha syaitan sia-sia.
Simak video-video kajian islam kami di fanpage aswajamuda.com
Berbeda halnya dengan orang yang hanya ahli ibadah. Tatkala ia tersibukkan dengan ibadah (yang tanpa ilmu), ia akan dengan mudahnya teperdaya oleh tipu daya syaitan.
وَ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَضْلُ العَاِلِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِعَلَى سَائِرِ الكَوَاكِبِ
“ Nabi Bersabda: keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan rembulan atas seluruh bintang.”
Pada hadis di atas, yang dikehendaki dari maksud “fadhlu” (keutamaan) adalah banyaknya pahala yang mencakup terhadap apapun yang akan diberikan Allah kepada seorang hamba di akhirat, yaitu berupa derajat surga dan kenikmatannya. Imam al-Ghazali menyatakan, “Maka lihatlah bagaimana ilmu bisa sampai selaras dengan derajat kenabian. Dan lihatlah, bagaimana turunnya derajat amal ibadah tanpa ilmu, meskipun orang yang beribadah mengerti ilmu suatu ibadah. Seandainya ibadah tanpa ilmu sama sekali, maka hal itu bukan lagi disebut dengan ibadah. “[2]
Penulis: M. Yusuf Nuruddin. Alumni Ma’had Aly Lirboyo (2019). Bersama teman-temannya menyusun buku rumusan fikih sistematis-kasuistik, “Gerbang Fikih”. Sekarang menetap di Karangploso, Malang, Jawa Timur.
[1] Sayid Alwi bin Ahmad As-Saqaf, Sab’ah Kutub Mufidah, (Surabaya: Haromain), hlm. 14
[2] Syaikh Nawawi al Bantani, Tanqih al-Qaul, (Jakarta: Dar kutub al Islamiyah), hlm. 20.