Hukum Menghadiri Undangan Perayaan Natal

0
1791

Oleh: Ahmad Muntaha AM

URGENSI FIKIH LINTAS AGAMA

Di penghujung tahun seiring hari natal ini, diskusi di media sosial, seperti di group-group aktivis bahtsul masail NU dan pesantren, masih diramaikan dengan isu boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat natal kepada teman, saudara, mitra atau koleganya.

Bagi saya, hal itu (demikian pula isu jaga gereja), sudah sangat clear, bahkan sangat usang. Masih banyak kasus-kasus fiqhiyyah lain seputar relasi muslim-non muslim yang perlu dikaji dan dicarikan solusinya.

Sebagai amsal, (1) bagaimana hukum seorang pejabat muslim menyelenggarakan perayaan natal di ruang-ruang publik seperti dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, (2) mengajak seluruh masyarakat untuk ikut meramaikannya, (3) bagaimana hukum berjualan berbagai keperluan natal, dan kasus-kasus lainnya.

Dalam konteks ini, sangat urgen kiranya NU mempunyai rumusan yang saya sebut sebagai Fikih Lintas Agama, yang komprehensif dan ramah Nusantara. Ini merupakan hajat besar kita sebagai bangsa yang sangat majemuk demi merawat keberagaman dalam persatuan. Tentu, tanpa mengurangi sedikitpun konsistensi memegang teguh Islam Ahlussunah wal Jamaah sebagaimana telah diteladankan para Kiai kita.

Apakah bisa? Bisa. Sebab, kekayaan khazanah fikih empat mazhab memungkinkan untuk itu, sebagaimana dalam tulisan ‘Hukum Buka Bazar Saat Natalan di Gereja’. Meskipun ini bukan upaya mudah, terlebih ketika mempertimbangkan prinsip kehati-hatian, ihtiyath, yang sangat ‘diugemi’ para kiai NU.

BOLEHKAH MENGHADIRI UNDANGAN PERAYAAN NATAL YANG BERNUANSA KEBAKTIAN?

Sudah maklum dan kita lihat bersama, di beberapa kota para pejabat, tokoh masyarakat dan juga muslim lainnya ikut menghadiri undangan perayaan natal yang bernuansa kebaktian. Lalu bagaimana hukum fikihnya?

Diskusi pun menjadi seru, ada yang mengatakan haram karena dianggap rela dengan kekafiran dan alasan lainnya; ada yang membuka kemungkinan diperbolehkan karena kemaslahatan menjaga keharmonisan dan pertimbangan lainnya.

Dalam isu ini, menarik sekali ide dari korespondensi Dr Mahmud Muhammad Ali Amin az Zamnakuyi, seorang Kurdi bermazhab Syafi’i yang tinggal di kota Irbil Irak. Dalam kitabnya, al ‘Alaqat al Ijtima’iyah baina al Muslimin wa Ghair Muslimin fi as Syari’ah al Islamiyyah atau Relasi Sosial antara Muslim dan Non-Muslim Perspektif Syariat Islam halaman 141, ketika menyoroti kehadiran seorang muslim dalam perayaan non muslim yang bernuansa kebaktian, dzat as shibghah ad diniyyah, ia menyatakan:

أما بالنسبة لحضور المسلم في شعائرهم وطقوسهم أو أعيادهم ذات الصبغة الدينية التي يتقرب فيها غير المسلم إلى الله ببعض الأعمال والطقوس، فهذا مما اتفق العلماء على منعه سواء كان ذلك في الكنيسة أو خارجها كما حكاه الإمام ابن القيم، إلا إذا تعارضت مفسدة الحضور مع مفسدة أشد أو مع مصلحة أكبر، بناء على جواز ارتكاب أخف الضررين لدفع أعلاهما. لكن هذا أمر نادر الوقوع، فلا ينبغي التوسع فيه.

“Adapun hukum kehadiran seorang muslim dalam syiar, ritual dan hari raya yang bernuansa keagamaan yang di dalamnya non muslim melakukan ibadah kepada Tuhan dengan berbagai aktivitas dan ritualnya, maka ini merupakan kasus yang hukumnya disepakati tidak diperbolehkan oleh para ulama, baik yang diselenggarakan di gereja atau tempat lainnya, sebagaimana dihikayatkan oleh Imam Ibn al Qayyim. Kecuali dalam kondisi terjadi pertentangan antara resiko menghadirinya dan resiko tidak menghadirinya yang lebih besar, atau bertentangan dengan kemaslahatan menghadirinya yang lebih besar. Hal ini berdasarkan kaidah, irtikabu akhaf ad dhararain li daf’i a’lahuma, kebolehan mengambil resiko terkecil untuk menghindari resiko yang lebih besar. Namun demikian kondisi seperti ini jarang terjadi, sehingga tidak boleh dipraktekkan secara luas.”

Dalam diskusi-diskusi informal, bukan bahtsul masail resmi, ide Kurdi muda lulusan Universitas Baghdad ini disetujui. Selain dinilai kontekstual, juga karena rujukan manhajnya sangat jelas dapat ditelusuri dalam kitab-kitab mazhab.

Namun demikian, bagaimana pun ini baru diskusi informal, bukan bahtsul masail resmi. Ide yang melarang atau membolehkan pun masih dapat diutarakan ‘seekstrim-ekstrimnya’, sebelum nanti menjadi rumusan final.

Meski demikian setidaknya dapat dimengerti, kehati-hatian dalam hal ini harus diprioritaskan, sebagaimana ketegasan Dr. Az Zamnakuyi di akhir tulisannya: “Ini jarang terjadi, sehingga tidak boleh dipraktikkan secara luas.” Apalagi kita bukan pejabat, tokoh masyarakat, tidak punya teman non muslim, tidak pula dapat undangannya.Ti-hati ta’ iye. Wallahu a’lam.

Ilustrasi: shutterstock