Hukum Mengamalkan Hadits Dhoif

0
8261
mengamalkan hadits dhoif

Oleh: M Luqmanul Hakim SPd.I

Mengamalkan perintah Nabi SAW adalah sebuah keharusan atau kewajiban bagi kaum muslimin karena hal ini adalah perintah Allah SAW, karenanya barang siapa yang mentaati Rosul SAW berarti ia telah mentaati Allah SWT begitu pula sebaliknya, jika ia durhaka kepada rosul Allah maka ia telah berbuat durhaka pada Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا [النساء : 80]

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (QS: An Nisa’: 80)

Akan tetapi dalam perspektif hadits terkadang perintah atau anjuran Nabi SAW itu terkemas dalam sebuah hadits yang shohih, hasan atau dhoif, karena memang klasifikasi hadits terbagi menjadi tiga bagian tersebut sebagaimana hal ini terbahas dalam ilmu mushtholahah.

Ketika hadits tersebut terkemas dalam hadits shohih maupun hasan maka hal ini sudah tidak diragukan lagi dan menjadi maklum atas kewajiban untuk mengamalanya, dan hal ini adalah kesepakatan para Ulama’ ahli hadits sebagaimana yang dikutip oleh Al munawiy dalam kitabnya sbb:

وَحَاصِلُ الْجَوَابِ أَنَ لِلشَّيْخَيْنِ مَزِيَةً فِيْمَا خَرَّجَاهُ ، وَمَا حَسُنَ أَوْ صَحَّ وَجَبَ الْعَمَلُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ مَرْوِيِّهِمَا فَيَلْزَمُ أَنَّ مَا أَخْرَجَاهُ أَعْلَى اْلحَسَنِ وَأَعْلَى الصَّحِيْحِ ، فَيَلْزَمُ مِنَ الْاِتِّفَاقِ عَلَى وُجُوْبِ الْعَمَلِ بِمَا فِيْهِمَا مَعَ مَزِيَّتِهِمَا الْاِتِّفَاقَ عَلَى صِحَّتِهِ ، (اليواقيت والدرر في شرح نخبة ابن حجر عبد الرؤوف المناوي – (1 / 308) (سنة الولادة 952هـ/ سنة الوفاة 1031هـ)

Artinya : kesimpulan jawabannya adalah sesungguhnya bagi kedua syeh bukhori dan muslim memiliki keistimewaan dalam takhrijnya, dan hadits hasan dan shohih adalah wajib untuk mengamalkanya meskipun tidak diriwayatkan keduanya maka sudah pasti apa yang di takhrij oleh keduanya adalah menduduki derajat hasan dan shohih yang tertinggi, maka wajib menurut kesepakatan ulama’ untuk mengamalkan hadits yang diriwayatkan keduanya disertai keunggulanya yaitu kesepakatan ulama’ atas kesahihanya.

Hadits Dhoif Boleh Diamalkan

Sedangkan untuk hadits dhoif para ulama’ sepakat boleh untuk di amalkan selama bukan hadits maudhu’, sebagian ulama’ mensyaratkan beberapa syarat dan sebagian membolehkan dengan tanpa syarat sebagaimana ulasan Sayyid Abdullah Mahfuzh al-Haddad dalam kitabnya al-Sunnah wa al-Bid’ah, hal. 93. inilah redaksi :

وَهَا أَنَا أُكَرِّرُ أَنَّ عُلَمَاءَ الْحَدِيْثِ وَالْأُصُوْلِ وَالْفِقْهِ كُلَّهُمْ يُجَوِّزُوْنَ الْعَمَلَ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ بَعْضُهُمْ بإطْلَاقٍ وَبَعْضُهُمْ بِشُرُوْطٍ وَمَنْ نَقَلَ عَنْهُ خِلَافَ ذَلِكَ فُقِدَ عَنْهُ مَا يُوَافِقُ الْجُمْهُوْرَ وَاِنَّمَا اْلخِلَافُ فِي الْأِحْتِجَاجِ بِهِ وَهَذِهِ كُتُبُهُمْ تَشْهَدُ بِذَلِكَ قَوْلًا وَعَمَلًا.(السنة و البدعة ص : 93 )

Dan ingatlah aku mengulanginya bahwasanya para ulama’ hadits, ushul dan fiqih semuanya membolehkan mengamalkan hadits dhoif, sebagian membolehkanya secara mutlak dan sebagian dengan syarat, dan barangsiapa yang menukil selain dari hal tersebut maka ia telah kehilangan kesepakatan mayoritas Ulama’, dan sesungguhnya perbedaan itu terletak pada penggunaan hadits dhoif itu sebagai hujjah, dan inilah kitab –kitab mereka menjadi saksi atas hal tersebut secara ucapan dan perbuatan.(aas sunnah wa al bid’ah : 93).

Sedangkan para Ulama’ yang membolehkan mengamalkan haits dhoif dengan bersyarat adalah sebagaimana penjelasan Al Hafiz An Nawawi dalam Al Adzkar juz 1 hal 8, sebagai berikut :

[ فَصْلٌ ] : اِعْلَمْ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ بَلَغَهُ شَيْئٌ فِي فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَة لِيَكُوْنَ مِنْ أَهْلِهِ ، وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَتْرُكَهُ مُطْلَقًا بَلْ يَأْتِي بِمَا تَيَسَّر مِنْهُ ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي الْحَدِيْثِ الْمُتَّفَقِ عَلَى صِحَّتِهِ : ” إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْئٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ “.

[ فَصْلٌ ] : قَالَ الْعُلَمَاءُ مِنَ الْمُحَدِّثِيْنَ وَاْلفُقَهَاءِ وَغَيْرِهِمْ : يَجُوْزُ وَيُسْتَحَبُّ الْعَمَلُ فِي الْفَضَائِلِ وَالتَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ مَا لَمْ يَكُنْ مَوْضُوْعًا .

وَأَمَّا الْأَحْكَامُ كَالْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَالْبَيْعِ وَالنِّكَاحِ وَالطَّلاَقِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَلاَ يُعْمَلُ فِيْهَا إِلَّا بِالْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ أَوِ الْحَسَنِ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِي احْتِيَاطٍ فِي شَيْئٍ مِنْ ذَلِكَ ، كَماَ إِذَا وَرَدَ حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ بِكَرَاهَةِ بَعْضِ الْبُيُوْعِ أَوِ الْأَنْكِحَةِ ، فَإِنَّ الْمُسْتَحَبَّ أَنْ يَتَنَزَّهَ عَنْهُ وَلَكِنْ لاَ يَجِبُ. (الأذكار – (ج 1 / ص 8)

(Pasal) ketahuilah bahwasanya seyogyanya bagi seseorang yang telah sampai kepadanya hadits tentang keutamaan amal untuk mengamalkanya meskipun hanya sekali agar ia tergolong sebagai ahlinya, dan tidak selayaknya ia meninggalkanya sama sekali akan tetapi ia mengamalkan yang mudah untuknya. Karena sabda Nabi SAW dalam sebuah hadits yang disepakati keshahihanya ” jika aku memerintahkan kamu sesuatu maka kerjakanlah darinta semampumu”

Mengamalkan Hadits Dhoif Boleh Dalam Hal Keutamaan Amal

(Pasal) para Ulama’ ahli hadits dan ahli fiqih dan selain mereka : boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhoif dalam hal keutamaan amal, memotifasi dan memberi peringatan selama bukan hadits maudhu’.

Sedangkan dalam masalah hukum seperti halal, haram, jual beli, nikah, talaq, dan selainya, maka tidak boleh mengamalkanya kecuali berdasarkan hadits shohih dan hasan kecuali sebagai langkah hati – hati dari hal tersebut. Seperti halnya terdapat hadits dhoif tentang di makruhkanya sebagian jual beli atau pernikahan maka yang disunnahkan adalah menghindarinya namun hal itu tidak wajib (Al Adzkar juz 1 hal 8).

Al Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi, juz 1, hal. 350-351, juga menjelaskan bahwa ahli hadits dan lainnya membolehkan mengamalkan hadits-hadits dha’if selain dalam masalah hukum dan akidah, sebagai berikut.

(وَيَجُوْزُ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَغَيْرِهِمْ التَّسَاهُلُ فِي الْأَسَانِيْدِ ) الضَّعِيْفَةِ (وَرِوَايَةِ مَا سِوَى الْمَوْضُوْعِ مِنَ الضَّعِيْفِ وَالْعَمَلُ بِهِ مِنْ غَيْرِ بَيَانِ ضُعْفِهِ فِي غَيْرِ صِفَاتِ اللهِ تَعَالَى) وَمَا يَجُوْزُ وَيَسْتَحِيْلُ عَلَيْهِ وَتَفْسِيْرِ كَلاَمِهِ (وَالْأَحْكَامِ كَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ وَ) غَيْرِهِمَا وَذَلِكَ كَالْقِصَصِ وَفَضَائِلِ الْأَعْمَالِ وَالْمَوَاعِظِ وَغَيْرِهَا (مِمَّا لاَ يَتَعَلَّق بِالْعَقَائِدِ وَالْأَحْكَامِ.وَمِمَّا نَقَلَ عَنْهُ ذَلِكَ : اِبْنُ حَنْبَلٍ وَابْنُ مَهْدِيٍّ وَابْنُ الْمُبَارَكِ قَالُوْا إِذَا رَوَيْنَا فِي الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ شَدَدْنَا وَاِذَارَوَيْنَا فِي اْلفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا تَسَاهَلْنَا (تدريب الراوي ج 1 ص 350 – 351 )

Dan boleh menurut ahli Hadits dan lainya bersikap longgar dalam sanad – sanad yang dhoif dan riwayat selama tidak maudhu’ dan mengamalkanya tanpa menjelaskan sisi kedhoifanya jika tidak terkait dengan sifat – sifat Allah, sifat –sifat yang mustahil bagi Allah, penafsiran atas kalamulloh seperti halal dan haram dan lainya. Dan hal itu (Hadits dhoif itu) seperti tentang cerita, keutamaan amal, nasihat, dan selainya dari hal –hal yang tidak berhubungan dengan akidah dan hukum.

Dan sebagian Ulama’ yang menukil hal tersebut adalah : Ibnu Hambal (imam hambali), ibnu mahdi, ibnu mubarok mereka berkata : tatkala kami meriwayatkan tentang halal dan harom kami bersikap ketat dan tatkala kami meriwayatkan tentang keutamaan amal dan semisalnya kami bersikap longgar (Al Hafidz Jalaluddin As Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi, juz 1, hal. 350-351) .

Bahkan Berdasarkan penelitian al-Hafizh Ahmad al-Ghumari 1320 – 1380 H, hampir semua ulama memakai hadits dha’if dalam menetapkan hukum-hukum fiqih. Lihat kitab beliau al-Mutsnawna wa al-Battar, hal 174, 180, inilah redaksi originalnya :

ثُمَّ إِنَّ مَالِكًا وَأَتْبَاعَهُ قَدِ احْتَجُّوْا بِاْلأَحَادِيْثِ الْوَاهِيَةِ وَالْمُنْكَرَةِ فَضْلًا عَنِ الضَّعِيْفَةِ فِيْمَا هُوَ مِنْ بَابِ الْوَاجِبِ وَالْمَحْظُوْرِ فَضْلًا عَنِ السُّنَنِ وَالْفَضَائِلِ.

اَلضَّعِيْفُ فِي اْلأَحْكَامِ لَيْسَ هُوَ خَاصًّا بِالْمَالِكِيَّةِ بَلْ كُلُّ الْأَئِمَّةِ يَحْتَجُّوْنَ بِهِ وَلِذَلِكَ كَانَ قَوْلُهُمْ ” اَلضَّعِيْفُ لاَ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْأَحْكَامِ” قَوْلاً لَيْسَ عَلَى اِطْلاَقِهِ كَمَا يَفْهَمُهُ جُلُّ النَّاسِ أَوْ كُلُّهُمْ لِأَنَّكَ إِذَا نَظَرْتَ فِي أَحَادِيْثِ الْأَحْكَامِ الْآخِذِ بِهَا الْأَئِمَّةُ عَلَى الْأِجْتِمَاعِ وَالْأِنْفِرَادِ تَجِدُ فِيْهَا مِنَ الضَّعِيْفِ مَا لَعَلَّهُ يَبْلُغُ نِصْفَهَا أَوْ يَزِيْدُ.

Kemudian sesungguhnya Imam malik dan para pengikutnya telah berhujjah dengan menggunakan hadits – hadits yang lemah dan munkar apalagi sekedar hadits dhoif dalam hal yang yang termasuk perkara wajib dan yang terlarang apalagi dalam hal sunnah dan fadhilah.

Baca Juga: Semua yang Tidak Ada di Masa Nabi, Bid’ah Sesat ?

Hukum Mengamalkan Hadits Dhoif

Hadits dhoif dalam masalah hukum tidaklah khusus sebagai hujjah Ulama’ malikiyyah saja akan tetapi seluruh Ulama’ berhujjah denganya, oleh karenanya perkataan mereka bahwa “ Hadits dhoif tidak dapat diamalkan dalam hal hukum – hukum tidaklah perkataan yang mutlak sebagaimana yang di pahami banyak orang atau bahkan seluruhnya, karena sesungguhnya jika engkau melihat dalam hadits – hadits yang dijadikan landasan dalam masalah hukum oleh para Ulama’ secara konsensus maupun secara individu niscaya engkau akan menemukan hadits dhoif mencapai separonya atau bahkan lebih.
Semoga bermanfaat amin.


Ilustrasi: Edit Businessinsider