Pada dua artikel sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi jilbab dan bagian-bagian tubuh perempuan yang termasuk aurat beserta perbedaan pendapat ulama di dalamnya. Adapun bagian yang terakhir ini, akan menjelaskan tentang hal-hal selain jilbab dan aurat, namun erat kaitannya dengan ihwal pakaian perempuan dan tidak bisa diabaikan.
Baca juga: Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan (1): Definisi Jilbab dan Substansinya
Baca juga: Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan (2): Anggota Tubuh yang Wajib Ditutup
Anjuran Berhati-Hati (Ihtiyath)
Kendati para ulama berbeda pendapat dalam menentukan beberapa anggota tubuh yang tergolong aurat—sebagaimana telah dijelaskan pada dua tulisan sebelumnya, perempuan muslimah yang baik hendaknya tidak mengikuti pendapat yang ringan, kecuali dalam kondisi yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan untuk menghindari tasahul (ceroboh/meremehkan) akan urusan agama. Lebih-lebih berkaitan dengan interaksi lawan jenis yang rawan menimbulkan dampak kerusakan yang berbahaya. Imam An-Nawawi berkata:
وَمِنْ التَّسَاهُلِ أَنْ تَحْمِلَهُ الْأَغْرَاضُ الْفَاسِدَةُ عَلَى تَتَبُّعِ الْحِيَلِ الْمُحَرَّمَةِ أَوْ الْمَكْرُوهَةِ—إلى أن قال—وَأَمَّا مَنْ صَحَّ قَصْدُهُ فَاحْتَسَبَ فِي طَلَبِ حِيلَةٍ لَا شُبْهَةَ فِيهَا لِتَخْلِيصٍ مِنْ وَرْطَةِ يَمِينٍ وَنَحْوِهَا فَذَلِكَ حَسَنٌ جَمِيلٌ
“Termasuk tasahul adalah mencari-cari keringanan/muslihat dengan cara yang haram atau makruh (agar dapat melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan) dengan didorong oleh tujuan-tujuan yang tidak benar. Namun jika ada seseorang yang mencari dan melakukan keringanan/muslihat dengan tujuan yang dapat dibenarkan, semisal untuk membebaskan diri dari posisi sulit yang disebabkan sumpahnya sendiri, maka perbuatannya adalah perbuatan yang baik.” (Al-Majmu’, vol. 1, hlm. 79-80).
Demikian pula tidak boleh ceroboh dalam menilai perilaku orang lain dalam persoalan menutup aurat. Tidak gegabah menyalahkan pihak lain yang tidak sepaham, sepanjang masih ditemukan rujukannya dalam al-madzahib al-arba’ah. Hal ini didasarkan pada sebuah kaidah fikih:
لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
“Tidak boleh mengingkari perkara yang masih dipertentangkan hukumnya. Hanya perkara yang sudah disepakati yang boleh diingkari/ditolak.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazhair, hlm. 158).
Baca juga: Jilbab “Punuk Onta” Ahli Neraka?
Baca juga: Keputusan Bahtsul Masail Syuriah Pengurus PWNU Jatim 2020 Terkait Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan
Kesimpulan
Dari semua keterangan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pun ulama empat mazhab yang memperbolehkan membuka kepala, leher dan rambut yang masih dalam batas kepala. Perbedaan pendapat terjadi dalam beberapa anggota tubuh tertentu meliputi wajah, telapak tangan, lengan, telapak kaki dan rambut kepala yang terurai ke bawah (keluar dari area kepala). Untuk beberapa anggota tubuh tersebut, status auratnya masih diperdebatkan para ulama. Pendapat yang menyimpang dari batasan aurat versi al-madzahib al-arba’ah sebagaimana uraian di atas, tidak dapat dibenarkan dan tidak boleh diikuti.
Walhasil, dalam kewajiban menutup aurat, perempuan diperbolehkan memakai model busana apapun. Hal ini bisa berbeda-beda sesuai tradisi yang berlaku. Memakai busana apapun, selama menutup aurat dengan benar, sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban menutup aurat.
Namun, selain kewajiban menutup aurat, perempuan juga wajib menjauhi setiap pakaian atau aksesoris lain yang diduga dapat menimbulkan hasrat (fitnah) bagi lawan jenis, seperti pakaian ketat yang memikat perhatian laki-laki, parfum yang semerbak dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, bahkan bagian tubuh yang bukan aurat pun wajib ditutupi juga bila khawatir menimbulkan fitnah/syahwat kepada laki-laki nonmahram yang memandangnya.
Wallahu a’lam
Sumber: Keputusan Bahtsul Masail Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur tentang Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan di PP Matholi’ul Anwar, Jalan Raya Simo, Sungelebak, Karanggeneng, Lamongan pada Sabtu-Ahad, pada 5-6 Rajab 1441 H/29 Februari-1 Maret 2020.